Toxic Femininity : Masayarakat Menuntut Perempuan

Budaya
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Standar-standar yang diciptakan oleh masyarakat yang masih menempatkan perempuan pada posisi selalu di belakang laki-laki. Dan sungguh bermasalah ketika standar-standar seperti ini dianggap normal oleh kita.

Anggapan bahwa perempuan adalah sub ordinatnya laki-laki, justru membuktikan bahwa kita masih menjadi bagian dari toxic femininity.

Tidak berhenti pada menuntut perempuan untuk hanya boleh berada di ruang domestik; di dapur dan memaksa perempuan harus tampil cantik dengan segudang kriteria yang menyertainya, nyatanya masih banyak tuntutan pada perempuan.

Toxic Femininity Juga Bisa “Membunuh”

Tiga: perempuan harus bisa masak

Memenjara perempuan dalam ruang-ruang domestik sepertinya tidak lah cukup. Selain kerjaannya mengurus rumah, ‘harus’ lainnya yang dipaksakan oleh masyarakat kepada perempun adalah memasak.

Tidak peduli, bahkan jika perempuan adalah pencari nafkah utama keluarga pun, ia masih dituntut untuk bisa menyajikan makanan lezat nan halal. Padahal menjadi kenyang adalah persoalan setiap orang- laki-laki maupun perempuan.

Pada tulsan di media ini, tentang toxic maskulinity, sudah saya uraikan cukup panjang mengenai standar-standar yang dituntut dari seseorang laki-laki.

Baca Juga: Perawan Itu Penting Nggak Sih?

Bahwa perempuan yang berada di area domestik harus bisa memasak. Memasak adalah tugas perempuan, seolah para laki-laki tidak boleh melakukannya. Tidak hanya itu, melayani, hingga mencuci piring pun (hanya?) dilakukan oleh perempuan.

Secape-capenya seorang perempuan, misalnya dari habis bekerja pun , ia masih dituntut masayarakat agar bertanggungjawab atas rasa lapar seluruh penghuni rumah.

Padahal bisa jadi perempuan tersebut adalah pencari nafkah utama. Bisa jadi dengan berbagai alasan seorang perempuan memiliki penghasilan lebih banyak dari pasangannya.

Toxic Masculinity, Bias Gender dan Konstruksi Sosial Masayarakat Patriarkis

Kerapkali, domesifikasi model ini, dalam tingkatan tertentu berpotensi menyebabkan gelombang kekerasan kepada perempuan. Perempuan mendapat masalah ketika ia belum memasak. Ia dihina dina jika masakannya tidak sesuai selera.

Bukankah urusan perut kenyang adalah urusan semua orang? Apakah hanya tanggung jawab perempuan  semata?

Empat: Perempuan harus menikah dan harus punya anak.

Jika seorang laki-laki terlambat menikah, tuntutan masyarakat kepadanya tidak seheboh jika yang yang belum menikah adalah perempuan. Istilah ‘perawan tua’ syang lebih populer di tengah masyarakat dari istilah perjaka tua.

Baca Juga: Waspadai Stress pada Anak Kecil, Ini Gejala dan Cara Mengatasinya

Setelah menikah, jika terlambat punya anak, maka yang cendrung dihakimi justru perempuan. Padahal bisa jadi yang mandul adalah laki-laki.

Bahkan setelah melahirkan, sedikit banyaknya asi yang seorang ibu miliki untuk bayinya pun tidak luput dari standarisasi oleh masyarakat.

Lima: Perempuan harus perawan.

Standar masyarakat tentang keperawanan adalah gambaran paling terang benerang perlakuan tidak adil kepada perempuan. Apalagi mendefinisikan keperawanan sebagai selaput dara (hymen).

Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan?

Media ini pernah menulis demikian (01/12/2019):

Yang penting diketahui tidak semua perempuan memiliki selaput darah. Ada yang terlahir tanpa hymen. Ada yang memilikinya namun sangat rapuh. Aktivitas fisik ringan seperti berlari, bersepeda atau senam bisa dengan mudah membuatnya robek.

Ada juga yang memiliki selaput dara yang tebal dan elastis. Penetrasi berulang-ulangpun, bentuknya tetap utuh.

Tes keperawanan yang kerap dilakukan dengan memasukan jari tentu saja melecehkan perempuan yang menjalaninya. Menyakitinya secara fisik dan psikologis. Sementara tes-tes tersebut itu tidak menggambarkan dan menentukan moralitas seorang perempuan.

Sulit mendefinisikan alasan rasional dibalik tes keperawanan untuk mengakses profesi tertentu. Seolah-olah selaput dara yang dimiliki perempuan menentukan berhasil atau tidaknya sebuah profesi.

Tentu hal ini sangat dipaksakan, seolah hanya perempuan bertanggung jawab atas keperawanann itu. Sementara laik-laki tidak memiliki beban moril sedikitpun karena tidak ada selaput dara pada penisnya.

Baca Juga: Mengapa Korban Kekerasan Seksual (lebih) Memilih Bungkam?

Semua tentu sepakat bahwa untuk banyak alasan baik, banyak tradisi melarang berhubungan badan di luar nikah. Lebih pada pertimbangan terkait komitmen pasangan tentang konsekuensi dari hubungan badan itu.

Bahwa potensi kelahiran anak dari sebuah hubungan badan itu memiliki konsekuensi psikologis, ekonomi, dan sosial yang tidak boleh di anggap remeh. Untuk alasan inilah hubungan badan sebelum nikah dilarang.

Lebih aneh lagi, jika perawan atau tidak, dijadikan sebagai standar untuk mengukur moralitas. Dan konyolnya hanya berlaku pada tubuh perempuan. Masyarakat kita, sekali lagi, menjadikan tubuh perempuan sebagai tolak ukur moralitas.

Tes keperawanan dan mengaitkannya dengan moralitas adalah bentuk eksploitasi tubuh perempuan. Stigmatisasi selaput hymen sebagai ukuran moralitas menandakan bahwa masyarakat sedang sakit parah diracuni femininitas.

Apakah penyakit ini dibiarkan saja? Bagaimana menyembuhkan keracunan model ini? Bersambung..

Foto diambil dari oibnews.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of