Toxic Femininity Juga Bisa “Membunuh”

Budaya
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Sama seperti Toxic Masculinity, tuntutan yang berlebihan dari  masayarakat terhadap perempuan juga bisa “membunuh” banyak orang.

Jika maskulinitas yang beracun adalah anggapan umum di dalam masyarakat akan sifat dan peran yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki.  Tanpa sifat atau peran itu ‘kelaki-lakiannya’ dipertanyakan.

Pun demikian dengan Toxic Femininity. Ketika seorang perempuan didikte oleh anggapan di dalam masyarakat agar ia hidup menurut ukuran-ukuran masyarakat itu. Jika menyimpang darinya maka ia bukan seorang perempuan yang baik.

Toxic Masculinity, Bias Gender dan Konstruksi Sosial Masayarakat Patriarkis

Ciri-ciri yang didiktekan oleh masyarakat, baik untuk perempuan maupun laki-laki, ketika dipaksakan agar melekat pada masing-masing orang maka ia bisa menjadi racun (toxic). Padahal standar-standar masyarakat tersebut barangkali sudah jauh ketinggalan di zaman ini.

Berikut ini, kami rangkum dari berbagai sumber, anggapan-anggapan masyarakat akan peran dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang perempuan, yang saat ini sudah seharusnya ditinggalkan.

Satu: Perempuan tinggal di ‘dapur’.

Dapur adalah kata ganti paling umum untuk menggambarkan wilayah privat. Perempuan harus(nya) tinggal di dapur, sama saja berarti bahwa perempuan-perempuan tidak boleh memasuki ‘wilayah’ publik.

Baca Juga : Toxic Masculinity Tumbuh Subur Pada Lingkungan Keluarga Seperti Ini

Urusan-urusan yang menyangkut hajat hidup masyarakat seharusnya menjadi urusan laki-laki, bukan urusan perempuan. Karena pembagian wilayah ini sudah jelas, maka konsekuensinya adalah perempuan tidak harus mengakses pendidikan lebih tinggi.

Ungkapan bahwa “Buat apa sekolah tinggi-tinggi, toh nantinya pulang ke dapur juga” sudah menjadi hal wajar di dalam masyarakat. Bahwa percuma sekolah tinggi karena setinggi apapun pendidikan yang telah ditamatkan, pada akhirnya ijazah itu tidak berguna.

Anggapan masyarakat bahwa perempuan harusnya hanya tinggal di area publik, harus dipatahkan saat ini. Sudah begitu banyak cerita sukses dari perempuan-perempuan ketika mereka mengabdi di ruang publik.

Menerobos Stigma Terhadap Perempuan : Menjadi Saras dalam Film Salawaku

Profesi apapaun saat ini bisa ditangani sama baiknya ketika berada di tangan para perempuan. Ini berarti bahwa, terkait peran, batasan antara wilayah privat dan publik sudah semakin kabur.

Dua : Perempuan harus tampil cantik.

Oleh masyarakat, setiap perempuan harus ‘berdandan’ cantik. Dandanan yang cantik oleh perempuan ini semata-mata adalah untuk menyenangkan laki-laki – suaminya.

Berdandan cantik berarti bahwa perempuan harus secara tau dan mau berusaha, merias diri sedemikian rupa untuk laki-laki – suaminya.

Tidak hanya soal rupa wajah yang harus cantik jelita, perempuan pun dipaksa oleh masyarakat untuk bersikap lemah gemulai, penurut, setia dan sabar. Intinya perempuan harus bersikap manis, untuk menyenangkan hati sang suami.

Baca Juga: Mengapa Pelaku Pidana Pencabulan Harus Dihukum Berat?

Segala hal ini ia lakukan, bukan untuk menjadi dirinya sendiri, melainkan untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Padahal bukan atas kemauanya, melainkan  hanya karena Tuhan meletakan sebuah organ yang bukan penis pada tubuhnya.

Oleh masyarakat, tubuh perempuan bukan lagi merupakan otoritasnya sendiri. Tubuh perempuan ditarik sedemikian rupa masuk jauh ke dalam ruang-ruang publik dan dijadikan standar mengukur sopan santun keadaban publik.

Ini sungguh ironi. Seorang perempuan dilarang masuk kearea publik namun tubuhnya sudah dipakai sebagai acuan sopan santun di ruang publik. Perempuan kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri.

Publik menentukan cara ia berpakaian. Mendikte potongan rambutnya, mengatur cara ia duduk, berjalan ataupun berdiri. Publik bahkan mengatur seberapa keras ia boleh berbicara. Tertawapun dilarang dengan begitu banyak kaidah.

Baca Juga: Mengapa Perkawinan Anak Usia Dini adalah Bencana Nasional?

Konon ketika seorang laki-laki kedapatan berbuat zinah, yang dihadapkan untuk dilempari batu hingga mati hanyalah perempuan.  Ini mungkin cerita berlatar ribuan tahun lalu, namun suasana batin masyarakat dalam menghakimi ternyata masih saja sama.

Ketika seorang suami main serong, yang didakwa bersalah justru perempuan. Ia tidak pintar merawat diri, tidak bisa tampil cantik sehingga suaminya melirik perempuan lain.

Media sebagai pembentuk makna, begitu naif dan tergesah-gesah, dalam kasus prostitusi misalnya, terutama jika melibatkan pesohor perempuan, maka ia akan dieksploitasi tanpa sisa.

Tidak lagi ada asas praduga tak bersalah. Tidak lagi pakai inisial, nama perempuan dalam kasus seperti ini, akan melambung menembus segala batas adab sopan santun.

Prostitusi Online, Media Massa dan Degradasi Moral

Sementara siapa laiki-laki pasangannya, butuh diselami hingga ke dasar ego chauvinisme laki-laki hanya untuk mencuat sekedar inisial namanya ke ruang publik.

Bukti lain, kata “pelakor” lebih sering muncul ketika ada perselingkuhan. Sedangkan “pebinor” menjadi istilah asing yang harus disingkap terlebih dahulu lewat mesin pencari google.

Racun Fimininitas model ini, harus segera dicarikan penawarnya. Tidak boleh lagi ditunda. Bersambung….

Tirto.id menulis bahwa foto ilustrasi ini bersumber dari iStockphoto

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of