Eposdigi.com – Lingkungan keluarga adalah sekolah pertama dan utama seseorang anak mengenal dunia. Anak mengenali dunia di luar dirinya pertama dari interaksi dengan setiap orang terdekat dalam kehidupannya.
Benar pepata mengatakan bahwa anak seperti lembaran kertas kosong. Setiap anak lahir seperti kertas putih. Ia mewarisi semua hal baik dari Sang Pencipta sejak ia ditenun dalam rahim ibunya.
Ketika ia telah hadir di dunia, ‘kertas kosong’ ini kemudian dilukis, digambar dan ditulis oleh lingkungan di mana ia tinggal. Mulai dari yang paling dekat dengan dirinya.
Sayangnya tidak semua kertas itu berisi tulisan, gambar dan lukisan atau tulisan yang bagus. Ada juga coretan-coretan yang mengganggu. Anak yang lahir seperti kertas kosong tadi, akan terbaca siapa dirinya dari karakternya, cara ia menanggapi berbagai kondisi dari luar dirinya.
Toxic Masculinity, Bias Gender dan Konstruksi Sosial Masayarakat Patriarkis
Beberapa waktu lalu setelah menulis pertama tentang toxic masculinity saya menemukan sebuah postingan di laman facebook yang mengingatkan saya mengenai betapa beracunnya sifat maskulinity yang berlebihan.
Postingan itu tenyata sudah ditulis sehari sebelum tulisan tentang toxic masculinity tayang di media ini.
Sebagai sifat, masculinity jika diterapkan secara pas, entah oleh perempuan maupun oleh laki-laki, tentu tidak jadi masalah. Masculinity yang berlebihannya hingga tidak dapat dikendalikan bisa meracuni siapa saja.
Pertama tentu meracuni pemilik sifat sendiri dan pasti dapat menjangkiti siapa saja yang berada didekatnya.
Baca Juga: Seperti Maudy Ayunda, Mengapa Perempuan Harus Berpendidikan Tinggi?
Maria Goreti Peni, seorang guru, membagi sebuah tulisan yang sama-sama diposting di facebook yang menarik buat saya. Pada postingannya Maria Goreti Peni menulis demikian :
“Salah satu pemicu kekerasan dalam rumah tangga ialah persoalan masak-memasak yang dibebankan hanya kepada perempuan. Bahakan dalam beberapa rumah tangga yang istri juga bekerja tetap saja dia harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan makanan untuk keluarganya.
Begitupun ketika ia pulang kerja. Tidak peduli seberapa letih ia bekerja hari itu, dia tetap (dipaksa) bertanggung jawab atas rasa lapar yang dirasakan suami dan anak-anaknya. Karena itu, dia punya kewajiban untuk memastikan ketersediaan makanan di atas meja makan.
Padahal, itu persoalan yang sebenarnya bisa didiskusikan secara baik-baik dan peran itupun bisa dipertukarkan.
Ketika dia mengalami kekerasan oleh suaminya, mertua dan bahkan orang tuanya yang patriarkis akan bilang ‘makanya..jadi perempuan jangan hanya urus kerja perhatikan suami anak pung makan minum juga.
Padahal gajinya juga dipakai untuk menopang ekonomi keluarga tetapi pada beberapa momen, itu dianggap sebagai keegosan semata.
Bapak-bapak yang begini kemudian mendidik anak perempuan untuk menjadi istri yang bisa merangkap sebagai hamba bagi suaminya di kemudian hari. Sedih!”
Di akhirtulisannya mengungkapkan bahwa asal tulisan itu dari Linda Tagie. Postingan Maria Goreti Peni ini rupanya sebagai tanggapan atas sebuah foto dan narasi dari akun Lowewini.
Baca Juga: “Marina Ungu”, Sex Education dan Penghormatan pada Perempuan
Postingan Lowewini yang dibagikan oleh Maria Goreti Peni ini juga menarik. Lowewini menulis :
“Masak itu kemampuan hidup paling dasar yang harus dimiliki semua orang. Kalau pun sonde, minimal bisa beli pakai doi sendiri….Masak sonde kenal jenis kelamin.
Selama masak masih dianggap sebagai kewajiban perempuan, selama itu pula kekerasan berlapis pada perempuan akan terus meningkat karena kelaparan laki-laki yang tidak bertanggungjawab pada perutnya sendiri akan menjadi alasan untuk memvalidasi kekerasan uang ia lakukan pada perempuan-perempuan di sekitarnya.”
Kenyataan sosial yang dipotret dengan baik oleh dua kutipan yang sedikit panjang di atas adalah kenyataan yang kita hadapi sehari-hari di lingkungan kita.
Pada tulisan terakhir mengenai taoxic masculinity sebelum tulisan ini, saya mengutip Popmama.com, merangkum lima (5) kebiasan di rumah ini yang membuat seorang anak remaja tumbuh dalam situasi toxic maskulinity.
Pada poin kelima, popmama mengungkapkan bahwa masculinity yang berlebihan tumbuh subur dari rumah yang melarang anak laki-laki melakukan “tugas” perempuan.
Padahal kita tahu bersama bahwa tugas perempuan yang benar-benar terlarang bagi seorang laki-laki adalah : mensturasi, hamil, melahirkan dan menyususi. Keempat tugas ini tanpa dilarangpun tidak akan sanggup dilakukan oleh seorang laki-laki, betapapun perkasanya dia.
Selama bukan mensturasi, hamil, melahirkan dan menyusui: sesuatu yang kodrati pada tubuh perempuan, maka tugas apapun itu bisa dilakukan oleh semua orang, laki-laki maupun perempuan.
Baca Juga: Mengapa Korban Kekerasan Seksual (lebih) Memilih Bungkam?
Tidak mengajari seorang anak laki-laki memasak, mencuci pakaian, merapikan tempat tidurnya, mencuci piring, menjahit pakaian, menjaga dan mengasuh adik-adiknya, apalagi melarang melakukannya, bisa saja berarti memupuk tumbuh subur masculinity bercun pada anak itu.
Seorang ayah di rumah yang tidak memberi teladan, tidak terlibat dalam semua tanggung jawab di rumah: memasak, mencuci piring, dan/atau melakukan pekerjaan lain untuk membuat rumahnya aman dan nyaman sama seperti sedang membiarkan anak-anaknya meminum racun masculinity.
Apalagi larangan itu disertai alasan bahwa karena itu tugas seorang perempuan, bukan pekerjaan seorang laki-laki, karenanya tidak boleh dilakukan oleh seseorang laki-laki.
Larangan itu, sama seperti mencoret dengan serampangan kertas putih karakter seorang anak laki-laki oleh orang-orang dilingkungan terdekatnya, bahkan bisa saja dilakukan oleh ibunya sendiri.
Mengurai benang kusut konstruksi sosial masyarakat yang demikian ini tentu bukan perkara mudah. Namun karena konstruksi sosial masyarakat berawal dari unit-unit terkecil masyarakat yang kita sebut sebagai rumah tangga, maka memulai membebasakan seseorang dari masculinity beracunpun harus dimulai dari lingkungan terkecil juga, yaitu dari rumah.
Tidak ada yang mustahil. Jika saat ini Anda dan saya memilih untuk memulai, kemudian menjadi gerakan bersama, maka kita sudah berhasil mencegah masculinity menjadi racun.
Ini sama seperti membuat bangunan sosial baru yang lebih nyaman dan aman bagi semua orang; perempuan maupun laki-laki.
Foto ini kami ambil dari laman Facebook : Lowewini. Foto yang sama yang dibagikan postingannya oleh Ina Maria Goreti Peni
Terima kasih Kakak Ama untuk tulisan menggunggah ini. Tulisan pada postingan saya sebenarnya murni saya copy dari tulisan Kak Linda Tagie. Saya memang sengaja mengutip seluruh isi tulisan beliau dengan alasan yang sama, ‘menggugah’ para pembaca. Sekali lagi terima kasih Kak atas tanggapannya. Bersama kita mulai dari pola didik dalam keluarga, sebagai lembaga pendidikan perdana. Salam perubahan! 🌻