Eposdigi.com – Menonton sebuah film seolah membawa kita menelusuri perjalanan kehidupan yang penuh penuh lika-liku. Setiap film dengan atraksinya tersendiri mampu memikat kita.
Tak ayal, menyimak alur cerita yang diangkat dengan apik dalam bentuk karya audio visual bertajuk “film” membuat para pecinta film banyak memotret nilai yang terkandung di dalamnya, baik yang tersurat, maupun yang tersirat.
Film “Salawaku” menyajikan kisah yang tak biasa. Perjuangan Salawaku, seorang anak di bumi Kepulauan Maluku untuk mencari kakak perempuannya, Binaiya.
Kisah ini seolah menerobos ke kedalaman relung hati kita untuk mengunjungi ratapan Binaiya, yang mesti meninggalkan rumah dan kampung halamannya, meski ia sama sekali tak menginginkannya.
Secara garis besar, film berdurasi 82 menit yang digarap oleh sutradara Pritagita Arianegara tersebut membentangkan riwayat pengembaraan Salawaku demi menemukan kembali Bianiya.
Tak disangka, kepergian Binaiya rupanya menyimpan kepedihan. Atas nama “menyelamatkan” muka sang adik, Binaiya rela angkat kaki dari tanah tumpah darahnya.
Sebagai seorang gadis, menjaga keperawanan sebagai simbol kehormatan adalah suatu keharusan. Ya, setidaknya itu yang selalu dielu-elukan di tengah masyarakat kita.
Tubuh perempan dianggap sebagai parameter moralitasnya. Setiap perempuan bahkan didikte secara sosial untuk tidak menyangkal norma perkara keutuhan dan kehormatannya.
Baca Juga: Toxic Masculinity Tumbuh Subur Pada Lingkungan Keluarga Seperti Ini
Binaiya hamil di luar nikah. Ia mengandung anak Kawanua, seorang putra dari orang paling terpandang di desa mereka.
Kawanua yang enggan menandangi kehamilan Binaiya, membiarkan perempuan itu “lari” dari desa. Tak ada yang tahu bahwa Binaiya mengandung buah hati Kawanua.
Yang pasti, tak butuh waktu lama bagi Binaiya untuk menggugurkan “kemustahilan” bahwa ia akan selamat dari jeratan penghakiman sosial. Dengan terpaksa, ia lari, meninggalkan Salawaku seorang diri.
Binaiya adalah simbol penderitaan perempuan, yang kerap menjadi oknum tunggal dalam penyimpangan sosial versi masyarakat.
Sederet hukuman publik menyeretnya, sedang sang lelaki bebas melalang buana, seakan tak ada beban.
Dalam skandal tertentu yang melibatkan urusan seksualitas misalnya, perempuan (sekali lagi) sering dilontari beragam tudingan.
Bagai sebuah pemakluman, sebagaimana isu seksualitas sendiri masih menjadi hal yang tabu di negeri ini.
Stigmatisasi terhadap perempuan yang hamil di luar ikatan pernikahan memang masih kental terasa. Masyarakat belum sepenuhnya memberikan diri untuk menerima keadaan tersebut.
Baca Juga: 16 Hari Tanpa Kekerasan Pada Perempuan
Diskriminasi dan intimidasi ramai-ramai menghujani para perempuan yang mengalaminya.
Sosok Saras, seorang asing yang datang jauh dari kesesakan ibu kota, menjadi lambang empati, yang dewasa ini, kian jarang kita jumpai.
Saras sama sekali tidak mengenal Binaiya, akan tetapi ia tak segan memberikan diri untuk berdiri bersama Binaiya di tengah keterpurukannya.
Saras ialah wujud perlawanan akan stigmatisasi masyarakat yang mencekik kaum perempuan.
Seperti Maudy Ayunda, Mengapa Perempuan Harus Berpendidikan Tinggi?
Saras juga tampil sebagai seseorang yang berani membongkar ketakutan Kawanua, kalau-kalau ayahnya tidak memberikan restu akan hubungannya dengan Binaiya.
Kita tentu merindukan kehadiran Saras-Saras lain yang tiada gentar melucuti stigma terhadap perempuan. Karena semua perempuan tak harus menanggung luka seorang diri.
Dibarengi panorama alam yang menakjubkan, kelana Salawaku dan Saras tiba di gerbang yang mempertemukan Binaiya dengan jawaban atas kesukarannya sendiri, yakni kesediaan Kawanua untuk menerimanya.
Baca Juga: Media dan Penghormatan Pada Perempuan
Dari perjalanan panjang itu, kita belajar meruntuhkan segala sekat demi satu perjuangan bersama, yaitu kemerdekaan bagi semua orang, termasuk kemerdekaan para perempuan dari beraneka rupa stigma yang mengikatnya.
Leave a Reply