Eposdigi.com – Gelembung Terakhir Rahwana (GTR) menjadi buku pertama Hendra Purnama yang saya baca. Alumnus Academy for South Asian Filmmakers ini sudah menerbitkan Masihkah Senyum Itu Untukku (2016), Senyum Sunyi Airin (2016), dan Meja Bundar (2017).
Buku setebal 111 halaman ini merupakan kumpulan cerita pendek. GTR berisi 28 cerita pendek yang ditulisnya pada rentang Februari hingga Juni 2020. Buku ini diterbitkan penerbit Lingkaran pada Juli 2020.
GTR dimulai dengan cerpen berjudul Gelembung Terakhir Rahwana (GTR) dan diakhiri dengan Secangkir Teh Menuju Kesunyian. Ketika saya menanyakan alasan kedua cerpen ini dipilih sebagai pembuka dan penutup, mas Hendra mengatakan bahwa GTR menjadi satu-satunya cerita dengan tokoh wayang.
Sedangkan Secangkir Teh Menuju Kesunyian merupakan cerita yang berkisah tentang kematian yang menjadi akhir dari kehidupan selain karena alasan teknis bahwa tulisan ini merupakan tulisan terakhir di event FF NAD 2019.
Membaca GTR membuat saya berada dalam perjalanan menuju akhir. Akhir yang nisbi. Cerita yang ditulis mas Hendra begitu kuat mengarah pada sebuah akhir yang seolah-olah muaranya adalah kematian. Padahal akhir yang menjadi tema (hampir semua) cerita ini menjadi sebuah awal dari perjalanan yang baru.
Tulisan surealis milik mas Hendra menurut saya terbangun dengan kokoh di cerpen Pada Sebuah Subuh yang Terburu-buru (PSSyT). Cerpen ini berkisah tentang seseorang yang berjalan menuju suatu tempat dengan membawa puisi di dadanya. Di tengah cerita, saya mengira bahwa puisi ini semacam jantung atau mungkin paru-paru mengingat tulisan mas Hendra kuat penggambaran tentang organ tubuh.
Dugaan itu muncul karena terdapat kalimat: Dia meraba lagi dadanya, pertemuan dengan aspek tadi membuat benda itu serasa mati dan tak berdenyut lagi (p. 68). Namun ternyata benda itu adalah selembar kertas yang penuh dengan tulisan tangan berupa puisi.
Sedikit melipir dulu, kuatnya penggambaran organ tubuh ini saya tangkap di cerpen Aerial Tissues yang berkisah tentang gadis akrobat. Deskripsi tentang ape saja yang rusak ketika gadis itu jatuh dari ketinggian membuat saya merasa nyeri. Nyeri yang sama saya rasakan dalam cerpen Sebuah Perjalanan, Dari Dada ke Kemaluan.
Baca Juga: Teh dan Pengkhianat: Permajasan Hingga Penulisan Hasil Riset
Kembali pada PSSyT, tulisan ini menjadi tulisan yang mampu membuat saya merenungkan tentang apa yang saya (kita) miliki di kehidupan ini. Pada tataran yang lebih jauh, saya melihat hal ini sebagai sebuah kritik tentang roh dalam tulisan dan pertanggungjawabannya di akhir kehidupan. Perjalanan si tokoh menuju tempat yang digambarkan sebagai bangunan dengan menara yang tinggi, rumput hijau membentang dan cahaya terang dari jendela yang artistik menjadi permenungan tentang perjalanan menuju akhir (yang bukan akhir).
Tema ini tidak hanya ada di PSSyT. Di GTR sendiri, kisah berakhir dengan keluarnya tiga gelembung berwarna biru pucat dengan aroma menjijikkan. Masalahnya, gelembung itu bukan penanda akhir Rahwana yang kembali terpejam saja. Gelembung itu justru menjadi pemula bagi kegelisahan Hanoman sebab ketiganya berisi bencana. Gelembung pertama menyebabkan perang dua benua, gelembung kedua menyebabkan sebuah benua terbakar, dan gelembung ketiga menyebabkan wabah kematian.
Sialan! Di paragraf keempat GTR saya membaca tentang sinisnya Rahwana memandang Rama. Begitu kuatnya kesan Rama-Sita-Rahwana akan membuat kita berpikir bahwa kisah ini adalah kisah tentang akhir Rahwana yang mencintai Sita. Oh, semacam kisah cinta menye-menye dengan template cinta segitiga yang wadidaw.
Namun, GTR bicara lebih banyak daripada cinta yang begitu embuh. GTR di pikiran saya menjelma menjadi kritik pedas dan tajam dari seorang Hendra Purnama yang banyak membaca. Kesan bahwa mas Hendra memiliki pengetahuan yang luar biasa ini tidak bisa disangkal jika mencermati keduapuluh delapan cerpen di GTR. Tak bisa tidak, saya harus mengucapkan ini: salim, suhu!
Begitu juga dengan Sekar. Membaca Sekar akan terasa sekali cerpen ini dituliskan dengan penceritaan yang lambat. Kesan buru-buru jauh dari cerpen ini (nanti bisa dibandingkan dengan cerpen Karto Klewang Makan Pentungan/ KKMP). Pergerakan lambat dalam cerpen ini anehnya membuat kisah bercinta di pesawat menjadi sangat hidup, jauh dari membosankan.
Seperti juga GTR, Sekar seolah sekedar bicara tentang perbuatan ‘nakal’ antara pilot dan seorang pramugari. Kisahnya hanya bercinta yang nanggung lalu mati. Masalahnya adalah proses mati yang diceritakan dengan sabar dan hati-hati ini membawa permenungan tentang: apa iya sih kita beneran udah mencapai apa yang kita inginkan? Benarkah kita menjadi orang yang hanya peduli pada apa yang kita mau? Benarkah kita siap dengan sebuah akhir yang tak pernah kita tahu?
Baca Juga: Ilalang Tanah Gersang
Nah di Sekar, mas Hendra menulis tentang senjata yang digunakan. Desert Eagle yang merupakan pistol (buatan?) Israel, dengan berat peluru 325 gram dan hanya memuat tujuh peluru. Pengetahuan mengenai senjata juga tampak di cerpen lain misalnya McMillan TAC-50 pada Membidik Bayang-bayang.
Namun, cerpen yang membuat saya misuh-misuh lebih lama adalah cerpen Rumah Kartu Jenderal Waru. Cerpen ini merupakan salah satu yang diikutkan di NAD writing battle. Temanya tentang cerevirus dan bom yang meledak di Bank Pasar. Cerpen ini menjadi cerpen favorit saya sejak saya membacanya di event battle.
Kisahnya sederhana, begitu siyalan memotret dengan apik fragmen menjijikkan dari politik dan segala intriknya. Kesedihan begitu kental di cerpen ini dan … ironi!
Kesedihan dan ironi itu juga terasa di KKMP. Sesuai dengan peruntukannya, cerpen ini berkisah tentang preman dan korona. Cerpen ini menjadi potret situasi masa pandemi dan ironi dari si kaya dan miskin. Sayangnya, harus saya katakan KKMP menjadi cerpen yang patut disayangkan. Selain permasalahan teknis dimana spasi setelah tanda baca titik bisa bergeser, ada beberapa tanda baca yang kurang tepat menurut saya.
Saya membaca pernyataan tokoh yang ditulis sebenarnya bentuk pertanyaan sehingga seharusnya diakhiri dengan tanda tanya dan bukan tanda seru. Misalnya: “Nggak ada angkot, nggak ada setoran uang keamanan. Mau makan apa kita? Pupuk kandang!” (p. 10). Menurut saya tanda baca di akhir kalimat itu lebih tepat menggunakan tanda tanya (?) sebab kalimat sebelumnya merupakan pertanyaan dan dengan demikian pupuk kandang menjadi alternatif yang masih dipertanyakan.
Cerpen lain yang tak kalah menarik adalah Sudarmin Tak Mampir ke Louisville (STMkL). Judul ini menjadi bagian dari pernyataan tokoh pada tokoh lainnya di tengah cerita, tepatnya di paragraf ke-17. Bagi pembaca yang tidak mengikuti perkembangan dunia, nyaris tidak bisa menghubungkan Sudarmin ini dengan Floyd yang menjadi topik perdebatan dua tokoh di STMkL.
Kasus George Floyd merupakan salah satu kasus yang menimbulkan banyak demo dengan isu yang diangkat menentang rasisme dan kebrutalan polisi. Data Mapping Police Violence menunjukkan bahwa sepanjang 2013—2019 terjadi 7.663 pembunuhan warga sipil oleh polisi di Amerika Serikat.
Dari jumlah tersebut, urutan jumlah korban terbanyak yaitu warga berkulit putih, berkulit hitam, dan ras hispanik. Masalahnya, jika data tersebut dibandingkan dengan populasi ras di Amerika Serikat, maka korban kulit hitam merupakan korban terbanyak (silakan cek tirto.id/kasus-george-floyd-bukti-masifnya-kasus-kekerasan-polisi-di-as).
Dengan melihat data itu, STMkL tidak lagi tentang dua orang yang membicarakan perpisahan. STMkL menjelma menjadi pemikiran mas Hendra yang dalam tentang kemanusiaan. Tulisan ini membawa kritik sosial yang sangat tajam, sama tajamnya dengan cerpen yang lain.
Kritik tajam itu terlihat pada penggunaan nama tokoh Sudarmin yang tinggal di Louisville. Nama Sudarmin jelas bukan nama khas rang Amrik sana. Ini jelas terlihat endonesiah banget. Artinya, si mas Darmin ini adalah imigran. Dengan demikian si mas Darmin ini adalah perwakilan pemikiran mas Hendra terhadap persoalan sosial ini. Itu udah jelas banget ditulis di halaman 28 dengan: “Di luar sana masih banyak Floyd-Floyd lain, aku akan menjadi salah satunya.”
Aku akan menjadi salah satunya ini menjadi penanda ketidakberdayaan, sebuah pemberontakan yang sia-sia. Pedih? Banget!
Jarak Louisville ke Minneapolis juga ternyata cukup jauh. Ketika saya googling, muncul informasi bahwa Louisville ke Minneapolis ditempuh 10 jam 42 menit dengan berkendara. Namun, bukan itu poinnya. Poinnya adalah kasus Floyd ini juga terkait dengan kasus Breonna Taylor yang memicu demo dan tertembaknya pendemo di Louisville (Saya membaca kumparan.com/kumparannews/trump-tak-ingin-ada-penembakan-dalam-penanganan-ricuh-di-minneapolis).
Soal jarak ini, jika tidak semata-mata di-pas-kan dengan kasus aslinya, menjadi metafor yang begitu ironi dari dua orang yang memutuskan untuk berpisah. Bagaimana tidak ironi jika keputusan berpisah itu semata-mata berhubungan dengan hal lain yang begitu jauh dari aku dan kamu. Eaaaa ….
Baca Juga: Mengenal Nilai Budaya Luhur Dalam Serat Centhini – Jilid I
Terus terang saya tidak mengikuti dan mencermati kasus Floyd yang menjadi topik dan ulasan kasus ini terkait politik. Saya hanya melihat apa yang ditulis mas Hendra melalui STMkL merupakan potret persoalan sosial yang menimbulkan persoalan sosial yang baru. Ini seperti hanya soal aku tidak di sini, kau tidak terikat denganku dan itu akan baik untukmu. Uwuwuw banget sih kalau melihat romannya. Namun, pedihnya terasa juga.
Pada STMkL mas Hendra menuliskan si mas Darmin ini meninggalkan kekasihnya dengan membawa es krimnya. Masih memakannya seraya merenung. Dan si kekasih memandangi hingga tidak bisa membedakan dirinya sedang memandang siluet mas Darmin atau memandang senja. Ini adegan sepele sih. Namun, yang sepele ini saya tangkap sebagai: keputusan seberapa berat pun itu, tetap dibawa manisnya dalam perjalanan selanjutnya.
Dengan demikian, ini sekali lagi bukan sekedar ending sebuah hubungan. Tulisan ini memperkuat pendapat saya bahwa mas Hendra tidak sekedar bicara sebuah akhir, tapi sekaligus berbicara tentang awal dalam tulisan-tulisannya.
Di sisi lain, selain memiliki kesalahan teknis berupa hilangnya spasi setelah tanda baca titik dan koma, juga tanda baca seru yang menurut saya lebih tepat tanda tanya, GTR juga memiliki beberapa hal yang menurut saya kurang tepat. Penggunaan kata maka di awal kalimat mungkin akan lebih baik jika diganti konjungsi antar kalimat yang lain (setahu saya, maka merupakan konjungsi intra kalimat. Jadi posisinya tentu saja harusnya berada di tengah kalimat, bukan di awal kalimat).
Ada juga kalimat yang sebaiknya diperbaiki karena kurang tepat. Misalnya: Selesai mengucapkan itu, sebuah hantaman melanda kepalanya (p. 13). Kata melanda memang sepadan makna dengan mengenai, melanggar, dan menimpa. Namun, pada konteks si Karto Klewang ini mendapat pukulan bertubi-tubi, kata melanda terasa berlebihan. Tidak salah, tapi rasanya beda.
Penggunaan kata aktif yang lebih tepat diganti bentuk pasifnya terdapat pada halaman 25. Tapi sesuatu menahannya. Sesuatu, dia menyebutkan pembiaran. Kalimat ini secara logika menyatakan bahwa sesuatu itu membuat pernyataan. Padahal yang dimaksud adalah sesuatu itu dinamakan sebagai pembiaran.
Penanda ganda atau double marking terdapat pada kalimat: Tadi dia sedikit agak gusar juga karena menyangka azan itu adalah … (p. 65). Kata sedikit dan agak bersifat setara. Sebaiknya digunakan salah satu saja jika tidak dimaksudkan sebagai penyangatan. Kalau pun bermaksud menyangatkan (membuat jadi sangat), baiknya menggunakan kata sangat gusar atau teramat gusar.
Jika saya kemudian ingin merangkum GTR dalam satu kata, maka kata itu adalah nisbi. Kepedihan, ketakutan, kegelapan, ketidakadilan, kejahatan dan bahkan kematian yang menjadi seolah menjadi kisah kuat di dalam GTR mengantar saya pada pemahaman tentang akhir sebuah perjalanan. Kisah cinta menye-menye dua tokoh yang membicarakan perpisahan atau mengalami perpisahan menjadi permenungan baru tentang: benarkah demikian?
Secara keseluruhan, cerpen dalam GTR jelas bukan menawarkan akhir. GTR menawarkan awal baru yang tak kalah gelapnya. Ya, kegelapan yang sangat mencekik. Pada titik tertentu, saya berpikir bahwa inilah pusat ketakutan mas Hendra yang sesungguhnya: quo vadis, Hendra?
Ah, sungguh tak diragukan GTR menjadi salah satu penanda kualitas tulisan mas Hendra. Meski demikian, saya berharap kesalahan teknis penulisan tidak menjadi hal yang mengganggu lagi di cetakan selanjutnya.
Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Musi Charitas Palembang.
[…] Baca Juga: Gelembung Terakhir Rahwana: Quo Vadis, Hendra? […]