Teh dan Pengkhianat: Permajasan Hingga Penulisan Hasil Riset

Hobi
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Teh dan Pengkhianat (selanjutnya akan saya singkat menjadi TdP) menjadi buku Iksaka Banu yang pertama saya baca. Bukan buku baru sih, tapi sangat lumayan dinikmati di masa serba di rumah begini.

Buku ini merupakan buku kumpulan cerpen yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada April 2019. Rancangan sampul dan ilustrasi dikerjakan oleh Adi Suta. Buku yang dipersembahkan untuk anak tunggalnya, Demetrius Dyota Tigmakara, ini setebal 164 halaman.

Iksaka Banu meraih penghargaan Kusala Sastra Katulistiwa untuk kategori prosa. Penghargaan itu diterimanya pada tahun 2014 untuk Semua untuk Hindia, dan pada tahun 2019 untuk Teh dan Pengkhianat.

Gaya Bahasa

Di bagian pengantar TdP, Iksaka Banu menuliskan bahwa ada kesulitan khusus dalam menulis cerita berlatar sejarah. Kesulitan khusus yang dimaksud adalah keterbatasan ‘ruang’ pada media yang menyebabkannya tidak bisa mengekplorasi tema dengan lebih leluasa. Dampaknya, fiksi sejarah kemudian rentan menjadi narasi sejarah atau sekedar tempelan dalam sebuah cerita.

Oleh sebab itu, beliau menggunakan cara menggunakan bahasa yang sangat sederhana, nyaris tanpa bumbu diksi sastra yang berat. Hal ini bisa dibuktikan, salah satunya, dengan penggunaan majas.

Permajasan (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan yang maknanya tidak menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah dan makna yang tersirat. Majas merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.

TdP jelas menggunakan beberapa jenis majas. Namun, majas yang digunakan adalah majas-majas singkat misalnya metafora, personifikasi, paradoks dan lain sebagainya.

Majas paradoks menampilkan pertentangan dalam satu kalimat. Misalnya tampak pada kalimat halaman 82 berikut

Seperti katamu, Kapten. Tak ada kata jera bagi para hoofdpachter, maupun penyelundup. Uang opium baunya harum sekaligus busuk.

Kata harum bertentangan dengan kata busuk. Padahal yang yang bertentangan tersebut  ada pada hal yang sama, uang hasil penjualan opium.

Personifikasi merupakan salah satu majas yang banyak digunakan oleh penulis fiksi. Pada TdP, personifikasi juga muncul. Salah satunya tampak pada kalimat yang terdapat pada halaman 45 berikut

Begitu daun jendela kembar itu terbuka, asap pipa tembakau yang semula terperangkap di dalam ruang kerjaku berangsur lenyap, bertukar tempat dengan hawa sejuk yang menampar-nampar wajah.

Kalimat di atas jelas menunjukkan bahwa penulis menggambarkan suasana saat itu dengan cara menyatakan benda mati, tumbuhan, hewan sebagai sesuatu yang hidup dan berperilaku seolah manusia. Kata menampar-nampar hanya bisa dilakukan oleh manusia yang memiliki tangan.

Di sisi lain, kata ulang itu sekaligus paradoks karena mempertentangkan hawa sejuk dengan menampar-nampar (yang biasanya dilakukan oleh sesuatu yang kasar/ beringas dan jauh dari makna sejuk yang mengarah pada tenang).

Pada beberapa bagian TdP, saya menemukan majas sinisme. Bahkan, saya sempat berpikir bahwa ‘nada utama’ yang ada di beberapa cerpen dalam TdP memang berupa sindiran, baik secara halus maupun terang-terangan terhadap masa kolonial.

Sebagai contoh, pada halaman 26, ketika tokoh Van Geloofig yang seorang pendeta akan meninggalkan tempat ia mengatakan: Semoga Tuhan masih besertamu. Hal ini tentunya sebuah sindiran tajam mengingat kalimat yang biasa disampaikan seorang pendeta untuk memberi berkat adalah: Semoga Tuhan besertamu.

Deskripsi

Pada TdP, Iksaka Banu menuliskan deskripsi yang cukup untuk beberapa bagian, meski di banyak bagian hal ini tidak dipaparkan. Misalnya, pada halaman 17 dituliskan

Setelah mendaki beberapa anak tangga curam, tibalah ia di bagian atas ubu. Sebuah bangsal luas, dengan enam buah jendela yang terbuka lebar. Rambut cokelatnya langsung berkibar diterpa angin laut yang menerobos melalui jendela-jendela itu. ia menghampiri pintu utama, dan berdiri terpaku di sana. Bau laut yang belum begitu akrab di hidungnya kembali menyerbu.

Tetapi aroma amis bercampur pesing itu tak sanggup mengalihkan rasa takjubnya melihat pemandangan yang terhampar di depan mata: sebuah lapangan luas berbentuk segi tiga, dikelilingi tembok setinggi kira-kira dua meter. Di balik tembok itu, ia bisa memilih objek pemandangan. Sebelah kiri, sebatang sungai lurus lebar.

Sementara jauh di utara, lautan luas dengan deretan kapal layar yang tampak seperti miniature hiasan dalam botol.

Satu paragraf ‘gemuk’ di atas memberi gambaran yang sangat lengkap kepada pembaca. Pembaca seolah melihat apa yang dilihat oleh di tokoh. Tak hanya itu, aroma yang menyertainya bisa terasa ikut tercium karena deskripsinya yang lengkap.

Hal yang dipaparkan Iksaka Banu seperti di atas tidak terdapat di semua cerita. Pendeskripsian setting cerita relatif singkat. Hal ini tampaknya terkait dengan tema yang ingin disampaikan.

Tujuan menghindari deskripsi yang terlalu lengkap bisa saja agar tema utamanya mendapatkan porsi yang lebih banyak. Hal ini bukan suatu hal yang sangat mengganggu. Pembaca tetap bisa mengisi ‘ruang kosong’  yang disediakan penulis dengan mengandalkan pengetahuan yang diperolehnya lebih dulu dari referensi yang lain.

Paragraf kutipan di atas, menurut saya, juga sedikit mengganggu karena adanya kalimat penjelas yang berbeda gagasan dengan gagasan utama paragraf tersebut. Kalimat Bau laut yang belum begitu akrab di hidungnya kembali menyerbu sebenarnya tidak koheren dengan kalimat yang lain.

Namun, karena peletakannya di tengah paragraf dan dilanjutkan dengan kalimat majemuk Tetapi aroma amis bercampur pesing itu tak sanggup mengalihkan rasa takjubnya melihat pemandangan yang terhampar di depan mata: sebuah lapangan luas berbentuk segi tiga, dikelilingi tembok setinggi kira-kira dua meter, kalimat tersebut tidak terlalu terlihat ketidakkoherenannya.

Kritik

Dalam TdP, saya menemukan bahwa pendeta yang mengutip Alkitab ini dibenturkan idealismenya dengan tokoh lain yang memiliki basis pengetahuan lain. Pada cerpen Tegak Dunia, tokoh pendeta (Marius van Geloofig) berkonflik dengan Kapten Zwarte van de Vlek yang merupakan seorang pelaut. Keduanya berdebat tentang bumi bulat dan bumi datar.

Kalimat yang mirip dengan perikop Alkitab digunakan penulisnya untuk membahas peradaban. Pada cerpen Sebutir Peluru Saja, tertulis

Teringat lagi ia perkataan kontrolir yang dahulu merekrutnya menjadi polisi: “Kita adalah batu penjuru. Fondasi. Tempat bangunan peradaban Eropa yang megah diletakkan. Kita adalah teladan bagi sekalian orang Timur.”

Frasa batu penjuru mengingatkan saya pada perumpamaan yang disampaikan Yesus tentang batu yang dibuang tukang bangunan akan menjadi batu penjuru.

Ternyata, pada saat dikonfirmasi, hal ini dimaksudkan Iksaka Banu untuk [saya kutipkan sama persis dengan kalimat yang disampaikan beliau] menggambarkan peradaban Eropa yang katanya dilandasi kasih Kristus, tetapi diam saja melihat orang dicambuki dan dieksploitir.

Pada tataran ini tampaklah bahwa TdP menjadi media bagi penulisnya untuk menyampaikan kritik pada situasi sosial yang dihadapinya. Penulis menyampaikan ketidaksukaannya akan suatu hal melalui pemikiran dan dialog tokoh dalam ceritanya.

Hasil Riset

Lalu bagaimana Iksaka Banu membawa hasil risetnya dalam TdP? Saya melihat bahwa apa yang dicari melalui risetnya tampak dalam paparan gagasan antar tokoh. Pada saat para tokoh berinteraksi, menjadi semacam pelajaran sejarah terselubung, membuat pembaca menyerap informasi dari percakapan tersebut.

Sebagai contoh, pada cerpen Kutukan Lara Ireng, saya mendapatkan gambaran mengenai hasil membaca literatur yang dilakukan penulisnya. Di halaman 81, misalnya, Iksaka Banu memaparkan hasil risetnya terkait bidang ekonomi yang dimunculkan dalam bentuk dialog tokoh Kapten Zwarteboom.

Saya sedikit mencari tahu terkait topik yang dibahas tersebut. Pada abad ke-17, pemerintah Kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan yang penting untuk dimonopoli dan dijadikan objek pajak. Hal itu sejalan apa yang disampaikan tokoh Kapten Zwarteboom dan Agen Polisi Bernard Eigensteen.

Jika saya membuka Wikipedia (saja), di sana dituliskan data bahwa satu dari 20 orang Jawa menghisap candu. Hal itu dikutip dari buku Opium to Java karya James R. Rush.

Hasil membaca Wikipedia itu sejalan dengan kutipan dari halaman 86 berikut

… yang paling paling menderita dalam mata rantai perdagangan opium adalah orang Jawa. Mereka penikmat terbanyak. Baik para buruh, maupun bangsawan.

Saya tidak tahu apakah beliau membaca buku James R. Rush itu atau mencari sumber yang lain yang lebih lengkap. Namun, yang ingin saya sampaikan adalah, apa yang dipaparkan tokoh bisa pembaca telusuri datanya (meski yang paling males, misalnya, melalui Wikipedia).

Pada TdP, saya mempelajari bahwa bahasa yang sangat sederhana dan penggunaan majasnya memang tidak akan membuat pembaca sulit mencermati dan justru akan menikmati ke-14 cerita pendek tersebut.

Tak hanya itu, TdP menjadi bukti bahwa sastra menjadi reaksi penulis terhadap persoalan sosial. Melalui TdP penulis menyampaikan kegelisahannya, pandangan hidupnya, dan juga bahkan ketidaksukaannya pada suatu hal.

Membaca TdP juga membuat saya paham bahwa hasil riset bisa diolah menjadi fiksi sejarah yang apik. Tentu saja kekuatan pilihan kata dan kehati-hatian dalam mengeksekusi tema juga menjadi faktor pendukung apakah suatu cerita bisa dinikmati atau tidak.

Selamat membaca, menyelami gagasan dan keelokan bercerita Iksaka Banu dalam Teh dan Pengkhianat. Tentu saja juga pada buku-bukunya yang lain.

*Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Musi Charitas Palembang.

Sebarkan Artikel Ini:

2
Leave a Reply

avatar
2 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga: Teh dan Pengkhianat: Permajasan Hingga Penulisan Hasil Riset […]

trackback

[…] Baca Juga: Teh dan Pengkhianat: Permajasan Hingga Penulisan Hasil Riset […]