Toxic Masculinity, Bias Gender dan Konstruksi Sosial Masayarakat Patriarkis

Budaya
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Judulnya berat ya? Sebenarnya tulisan ini berangkat dari sebuah berita di salah satu media mengenai toxic masculinity. Saya begitu penasaran sehingga menyimpan link berita tersebut. Rasa penasaran inilah yang mendorong saya menulis tentang ini.

Saya baru mengenal istilah toxic masculinity dari berita tersebut. Dan menurut saya menjadi menarik ketika istilah ini disandingkan dengan bias gender sebagai buah dari konstruksi sosial masyarakat.

Dan lebih menarik menurut saya adalah ketika toxic masculinity disejajarkan dengan masyarakat patriarkis.

Toxic masculinity dan bias gender, dan sifat patriarki sama-sama adalah hasil konstruksi sosial masyarakat. Tentu kita terlebidahulu harus bisa membedakan sifat  patriarki yang adalah buah dari konstruksi sosial dengan sistem patrilineal sebagai hasil dari konstruksi budaya.

Happy International Women’s Day: Selamat Merdeka PerEMPUan

Peter L. Berger dan Thomas Luckman – yang mendasarkan terori konstruksi sosialnya dari dialektika Hegel- mengatakan bahwa pengalaman interaksi subjektif (intersubjektivitas) individu-individu manusia dalam masyarakat yang berlangsung secara terus menerus, melahirkan kenyataan sosial.

Namun kenyataan sosial yang yang merupakan hasil dari intersubjektivitas individual ini justru kembali lagi mempengaruhi perilaku manusia di dalam interaksinya di masyarakat (objektivitas).

Masyarakat dengan segala macam dinamika di dalamnya adalah kenyataan objektif. Karena kenyataan-kenyataan itu berada di luar diri manusia -yang adalah subjek-, maka fenomena sosial itu dapat kita amati dan pelajari.

Berger dan Luckman melihat interaksi tanpa henti dari intersubjectivitas yang mengkonstruksi objektifitas sistem sosial kemasyarakatan terjadi melalui tiga momen yang saling berinteraksi dan berintegrasi.

Proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi menjadi tiga momen yang mereka kenalkan, menjadi konten dari proses dialketis tanpa henti intersubjektivitas di dalam masyarakat.

Baca Juga: Bias Gender dalam Pendidikan

Eksternalisasi digambarkan sebagai proses penyesuaian diri setiap individu dengan kenyataan sosial kultural dalam masyarakat. Di mana hasil interaksi intersubjektif dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi dan diterima sebagai bagian resmi dalam sistem sosial kemasyarakatan (objektivasi).

Kemudian ketika seseorang mengidentifikasi dirinya bahwa ia menjadi bagian dalam sistem sosial dimana ada lembaga lembaga sosial yang institusional maka individu tersebut sedang mengalami proses internalisasi.

Dengan kata lain, bahwa dalam interaksi yang berlangsung terus menerus antar individu dalam masyarakat dapat melahirkan sebuah kenyataan sosial.

Kemudian kenyataan sosial ini diterima dan dilembagakan sebagai bagian resmi dari sebuah masyarakat, di mana individu-individu ini juga adalah bagian dari masyarakat tersebut yang menerima sekaligus menjalankan menyataan sosial tersebut.

Toxic masculinity, bias gender dan sifat patriarkis adalah sama-sama kenyataan objektif yang kita temui dan “diterima”sebagai bagian dari kenyataan sosial itu, yang masih terus terjadi hingga saat ini.

Baca Juga: Menyisir Keragaman di Pesisir Wuring

Ketika sifat-sifat patriarkis yang menempatkan ego cauvinisme laki-laki sebagai tujuan akhir dari setiap interaksi intersubjecktivitas di dalam masyarakat, maka selama itupula kita akan selalu akrab dengan bias gender dan toxic masculinity.

Interaksi-interaksi dominan dari ego chuavinisme melahirkan sifat-sifat patriarkis yang seolah-olah diterima sebagai konsekuensi logis dari sistem budaya patriliniel, kemudian memunculkan bias gender sekaligus toxic masculinity dalam masyarakat.

Sayangnya masih banyak dari kita masih menerima bias gender sebagai sesuatu fenomena kemasyarakatan yang wajar. Kita masih membatas-piasahkan peran-peran dalam masyarakat berdasarkan kenyataan jenis kelamin.

Padahal dapat diterima tanpa celah sangkalan sekecil apapun bahawa dalam banyak peran, kenyataan jenis kelamin yang berbeda tidak sama sekali menentukan keberhasilan dari sebuah peran.

PEKKA Hadir di Tengah Dunia Lamaholot yang Patriarkis

Saat ini seorang individu berjenis kelamin pria dapat melakukan banyak hal sama baiknya dengan seorang individu berjenis kelamin wanita. Pun sebaliknya.

Membedakan siapa yang seharusnya mengambil peran domestik privat dengan peran pada area publik berdasarkan kenyataan jenis kelamin adalah sama seperti menolak kenyataan bahwa tubuh perempuan dan laki-laki secara kodrat berbeda. Hanya tubuh ragawinya saja yang berbeda. Bukan perannya.

Tubuh laki-laki membuahi karena ia memiliki sel sperma. Sementara tubuh perempuan dibuahi dan hasil pembuahan itu, hingga hari kelahiran, diam di dalam rahim seorang perempuan.

Kemudian setelah melahirkan perempuan itu, yang memiliki “air susu ibu”, harus menyusui bayinya, adalah kenyataan kodrati. Tidak dapat ditukar.

Baca Juga: Media dan Penghormatan Pada Perempuan

Tapi menjalankan peran sebagai ibu yang lembut dan ayah yang hangat dapat dilakukan oleh siapapun, apapun jenis kelaminnya.

Mengambil peran kepala keluarga, menjadi pemimpin organisasi bisnis, sosial kemasyarakatan, politik pemerintahan, bekerja mencari nafkah, mengurus rumah tangga, menjaga dan mengasuh anak, adalah peran yang dapat diambil oleh siapapun, apapun jenis kelaminnya. Dan kenyataan ini tidak dapat disangkal.

Toxic maskulinity adalah istilah untuk menggambarkan sebuah fenomena ketika seorang laki-laki dituntut oleh masyarakat untuk mengambil peran dominan dalam terutama untuk urusan publik.

Seorang pria, oleh masyarakat dituntut harus kuat mencari nafkah di luar sana, tidak boleh melakukan kegiatan mengurus rumah tangga yang adalah ranah domestik privat.

Baca Juga: Pendidikan Kontekstual dan Gerakan Pemberdayaan Perempuan

Bukan soal bekerja dari rumah. Toh pekerjaan apaun tentu sama baiknya dilakukan oleh baik pria dan wanita yang memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menyelesaikan pekerjaan itu.

Pada saat yang sama tuntutan bahwa tidak boleh ada bias gender sebagai bagian dari “work-live balance” dapat memperkuat tekanan masyarakat pada seorang pria.

Maskulinity menjadi toxic karena pada kenyataannya tidak ada perbedaan dalam mengambil peran. Tuntutan masyarakat terhadap laki-laki ini justru menjadi bumerang ketika pandemi mengharuskan seorang laki-laki tinggal di rumah. Tinggal diarea domestik privat.

Racun ini bisa membunuh para lelaki yang karena segala keterbatasannya, tidak tampil lebih baik, lebih unggul (maskulin) dalam menjalankan sebuah peran.

Benarkah Masyarakat Adonara Murni Patrilineal?

Maskulinity menjadi toxic ketika seorang laki-laki dituntut masyarakat menjadi pencari nafkah utama, sementara kenyataannya ia menjadi pengasuh anak dan pengurus rumah sementara istrinya mencari nafkah.

Menjadi persoalan besar hari ini adalah bagaimana menghilangkan hingga tanpa jejak, toxic masculinity, bias gender dan sifat patriarkis itu? Bersambung…

Foto ilustrasi : newsmedia.co.id

Sebarkan Artikel Ini:

5
Leave a Reply

avatar
2 Discussion threads
3 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
3 Comment authors
Bosco Mawardigi-ersMaria Goreti Peni Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
Maria Goreti Peni
Guest
Maria Goreti Peni

Kakak Ama.. Kami tunggu ulasan berikutnya.

Bosco Mawar
Guest
Bosco Mawar

Sangat sepakat dengan argumennya: laki-laki dan perempuan hanya beda dalam hal kodrat, tetapi tidak untuk peran sosial.

Tapi dalam kenyataan sosial kita; tidak demikian.

Ini memang implikasi dari konstruksi sosial yang berlangsung sedari dulu, bahkan sejak jaman purba ketika manusia masih berburu dan meramu.

Untuk mengembalikan ke situasi yang responsif gender, kita mesti melakukan konstruksi sosial. Tak harus langsung mengubah sistem, tapi mengubah dari satuan terkecil, yakni keluarga kita masing-masing.