Bias Gender dalam Pendidikan

Budaya
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Ada yang spesial setiap tanggal 8 Maret. Dunia memperingati Hari Perempuan Internasional (International Woman’s Day/IWD). Tahun ini, perayaan IWD bernaung di bawah Kampanye IWD bertajuk #breakthebias (mematahkan bias).

Tema ini sengaja dihadirkan ke permukaan mengingat masih maraknya perilaku bias, stereotip, dan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan. Bahkan judul tulisan ini juga mengungkapkan kegelisahan penulis tentang praktek bias gender baik yang dilakukan oleh peserta didik atau pun pendidik itu sendiri dalam lingkungan pendidikan (baca: sekolah).

Wajah pendidikan di Indonesia saat ini masih dihiasi oleh beragam patologi sosial. Deretan litani patologi mulai dari kekerasan seksual, bullying, praktek KKN, hingga perilaku bias gender. Pelakunya pun bervariasi. Mulai dari pimpinan, para pendidik (guru), hingga peserta didik.

Happy International Women’s Day: Selamat Merdeka PerEMPUan

Studi yang dilakukan oleh (Ratnawati et al, 2019) menunjukkan masih adanya ketimpangan peran gender dalam proses pembelajaran. Ketimpangan tersebut muncul pada berbagai aspek, antara lain adalah ketersediaan sarana sekolah yang kurang memperhatikan kebutuhan berimbang antara siswa laki-laki dan perempuan, sikap bias gender antar guru atau guru terhadap siswa, materi ajar yang tidak responsif, dan lingkungan belajar yang belum responsif.

Praktik bias gender dalam faktanya masih terus dipelihara dalam lingkungan belajar (baca: sekolah). Kondisi ini ditandai dengan perilaku yang diperankan baik oleh pendidik maupun peserta didik. Tak sedikit pendidik dengan sadar dan sengaja membuat oposisi biner dan dikotomi antara pendidik perempuan dan pendidik laki-laki.

Sikap eksklusif yang ditampilkan ke permukaan membuat lingkungan belajar menjadi kotak-kotak dan terkesan sangat eksklusif serta bias gender.

Guru yang seharusnya menjadi role of model dalam memainkan perannya sebagai penyuplai asupan materi multikulturalisme, nyatanya tidak mampu menjalankannya dengan maksimal. Sikap diskriminasi terhadap perempuan dan mengumandangkan semangat eksklusif menjadi sesuatu yang buruk tetapi seringkali dipertontonkan dalam lingkungan belajar.

Baca juga : Pendidikan Kontekstual dan Gerakan Pemberdayaan Perempuan

Praktik bias gender tak hanya cukup pada dikotomi antara laki-laki dan perempuan saja. Toh dalam faktanya, praktik tersebut ditunjukkan melalui mekanisme jauh dekat dengan lingkungan kekuasaan. Superioritas laki-laki seringkali mengabaikan proses dan kerja kolektif dalam menyelenggarakan suatu kegiatan.

Tak jarang pimpinan menilai bawahannya hanya dari hasil, tanpa melihat proses yang dilaluinya. Di sini, kelompok yang pandai memainkan peran MPO (Menarik Perhatian Orang) akan mendapatkan pengakuan yang maksimal, dibandingkan kelompok yang bekerja dengan semangat totalitas tetapi tak punya kemampuan untuk berperilaku MPO.

Refleksi Bersama

IWD menjadi momentum penting bagi semua komponen pendidikan utamanya pendidik untuk senantiasa merefleksikan diri dan perannya sebagai pendidik. Jangan sampai status seseorang sebagai pendidik tak mampu mendidik para peserta didik khususnya dalam hal menciptakan kesetaraan gender.

Baca juga : Mengenal Beberapa Anak Genius di Dunia, Salah Satunya dari Indonesia

Jadilah pendidik yang mampu mengumandangkan semangat kesetaraan, multikulturalisme, bukan pendidik yang hanya tampil menciptakan eksklusivisme dan pengkotak-kotakan. Jika demikian adanya, pilihan terbaik adalah janganlah menjadi pendidik, tetapi jadilah peserta didik yang siap untuk dididik kembali.

Epin Solanta – Penulis Buku Dialektika Ruang Publik : Pertarungan Gagasan

Refleksi bersama akan status dan peran yang harus dan semestinya dimainkan sangat mendesak untuk dilaksanakan. Studi yang dilakukan oleh (Abraha et al, 2019) menyatakan untuk menciptakan kesadaran kepala sekolah dan guru tentang bagaimana memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara adil dalam proses pembelajaran di sekolah merupakan hal yang mendesak.

Refleksi bersama ini juga penting terutama dalam membangun sikap dan pandangan yang lebih universal. Setiap kebijakan atau keputusan yang diambil bukan karena alasan like and dislike, tetapi didasarkan pada hati nurani.

Tak sedikit hadir cerita tentang ketidaknyamanan peserta didik pada sebuah lingkungan belajar. Bukan karena peserta didik tersebut tidak mampu, tetapi merasa kecewa karena pendidiknya sudah lebih awal memvonis bahwa peserta didik tersebut tidak baik dan tidak suka di matanya.

Mengapa Korban Kekerasan Seksual (lebih) Memilih Bungkam?

Efek psikologis pun dirasakan oleh peserta didik dan membuatnya menjadi tidak nyaman. Pilihannya adalah pindah sekolah, mencari lingkungan yang lebih aman dan nyaman khususnya secara psikologis.

Kiranya IWD menjadi kesempatan baik dan berharga bagi kita untuk selalu mengumandangkan semangat persaudaraan dan kesetaraan. Bukan perbedaan dan diskriminasi. Baik perempuan dan laki-laki adalah setara. Dalam dunia kerja pun, kehadiran perempuan dan laki-laki berada dalam satu titik keseimbangan yang sama.

Tak perlu lagi membuat oposisi biner. Jika engkau selalu mendendangkan keangkuhan dan keegoisanmu, janganlah engkau menjadi pendidik yang selalu berteriak dan menuntut peserta didikmu berlaku adil dan setara, sementara dirimu sendiri masih jauh panggang dari api mewujudkan kerja kesetaraan dan pengakuan akan perbedaan.

Artikel ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto ilustrasi: detik.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of