Eposdigi.com – Sebuah Rangkuman Tanggapan Dari Diskusi Pendidikan di Flores Timur dan Lembata:
Pengantar.
Dalam konteks pemberdayaan perempuan ada pertanyaan: apakah anak-anak perempuan dan seluruh konteks kehidupan sosial ekonomi Flores Timur dan Lembata sudah mendapat perhatian dalam rancang bangun praksis pembelajaran di sekolah-sekolah kita?
Bagaimana mengelola isu pemberdayaan perempuan di Flores Timur dan Lembata sebagai sebuah isu kunci untuk membangun kesadaran menuju gerakan kolektif bagi upaya pemberdayaan perempuan?
Oleh karena saya bukan ahli dalam bidang studi dan gerakan feminisme atau studi gender – juga pemahaman saya yang sangat terbatas tentang perempuan Lamaholot yang, menurut saya, amat kompleks itu –.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)
Maka saya memilih memakai perspektif outsiders dengan segala kekurangan dan kelebihan yang menyertai pilihan sebuah sudut pandang dalam membahas topik ‘berat’ ini.
Saya meminjam sudut pandang filosof perempuan asal India, Gayatri Chakravorty Spivak dan sastrawan Afro-America Toni Morrison.
Kedua tokoh ini melakukan proses dekonstruksi ala filosof Perancis Jacques Derrida, sebagaimana juga dilakukan oleh Vivian Idris dalam karya film “Ola Sita Inawae” untuk mendekosntruksi posisi dan peran perempuan kepala keluarga di Adonara dan Lembata.
Bayang-bayang post-strukturalisme Lyotard maupun “framing” Hannah Arendt amat menggoda dalam membedah tema pemberdayaan perempuan Lamaholot.
Baca Juga: Mahar Gading Gajah lambang “Harga Diri” Perempuan Lamaholot?
Namun kita harus berhemat dengan tema dan topik agar bisa menjadi santapan lezat membedah relasi oposisi biner dalam tuntutan kesetaraan, keadilan, identitas, masalah hegemoni dan politik identitas dan isu-isu masyaralat post-kolonial, di dalam “perjamuan” berikut.
Pemberdayaan perempuan belum menjadi focal point konteks pendidikan fomal kita. Sejak pendidikan dasar anak perempuan masih diperlakukan seperti anak didik pada umumnya.
Kurikulum pendidikan belum memberi perhatian secara memadai pada dimensi-dimensi khas perkembangan dan kebutuhan anak perempuan, baik itu aspek bio-fisiologis, psikologis, maupun sosial budaya dan ekonomi. Saya tidak akan membahas masalah ini di sini.
Konteks Pemberdayaan Perempuan (di) Flores Timur dan Lembata
Frasa “pemberdayaan” mengusung makna denotatif adanya ketidak-berdayaan, ketertindasan, ketidak-setaraan, hegemoni dan subordinasi serta tuntutan pembebasan melalui tindakan dan gerakan pemberdayaan.
Baca Juga: PEKKA Hadir di Tengah Dunia Lamaholot yang Patriarkis
Benarkah perempuan Lamaholot (masih) tersubordinasi oleh budaya dan struktur patriarki dan karena itu juga tertindas secara sosial dan ekonomi? Tidak mudah memperoleh jawaban atas pertanyaan ini.
Mengintip dan menelisik beberapa pendapat yang berseliweran di media sosial, kita bisa menemukan aneka posisi yang saling berhadapan dan berseberangan (sebagai oposisi biner) yang, dalam konteks tertentu, bersifat self-refuting (menggugurkan kebenaran yang diusung sendiri).
Sebagian laki-laki Lamaholot terpelajar dengan argumentasi yang meyakinkan menolak persepsi adanya subordinasi laki-laki dalam masyarakat patriarki Lamaholot terhadap perempuan secara sosial dan budaya.
Mereka menyodorkan bukti-bukti peran sosial yang amat menentukan yang dimainkan perempuan, antara lain, dalam berbagai urusan adat.
Baca Juga: Pekka Lodan Doe; “Berjalan sambil Merintis Jalan”
Pada saat yang sama juga mindset patriarki pada sebagian masyarakat tradisional dalam alam bawah sadar mereka masih memberi label kepada perempuan sebagai pihak yang tidak kompeten untuk semua urusan – “ina we moi aku” (perempuan tau apa) – perempuan sebagai tidak bernilai – ‘kwae medhong’.
Perlu ada studi untuk menelisik lebih jauh konteks dan dampak stigma sosial ini.
Kedua cara pandang di atas tentu saja adalah cara pandang laki-laki sebagai suatu kaum yang terbelah karena perbedaan pola pikir yang dibentuk oleh pengaruh pendidikan dan tingkat ekspose terhadap keterbukaan dan modernitas.
Bagaimana perempuan Lamaholot di Adonara dan Lembata melihat diri mereka sendiri? Apakah mereka menyadari diri mereka sudah diperlakukan secara setara dengan laki-laki? Atau mereka merasakan adanya praksis diskriminasi dan subordinasi sistemik?
Baca Juga: Jejak Peradaban Perempuan Adonara Dulu dan Sekarang
Apa yang dilakukan oleh Vivian Idris melalui film “Ola Sita Inawae” adalah proses dekonstruksi sosial untuk membuka mata dan memetakan sebuah realitas posisi dan peran perempuan seperti halnya juga dilakukan oleh berbagai pekerja seni teater rakyat untuk pemberdayaan di negeri ini.
Meminjam konsep post-structuralism dari Lyotard, pendapat para pihak di atas berpeluang menjadi benar atau salah, akurat atau tidak akurat – tergantung pada metodologi dekonstrksi itu sendiri.
Bukan pada klaim pengalaman dan/atau klaim berdasarkan otoritas subyektif seseorang atau pada anggapan umum yang seolah harus diterima sebagai rujukan universal dan final, kiblat semua upaya dekonstruksi atas makna dan nilai.
Bagaimana para perempuan memilih cara dekonstruksi atas realitas subordinasi dan ketertindasan?
Gayatri Chakravorty Spivak menolak menggunakan pendekatan oposisi biner yang mempertentangkan (politik) identitas, patriarki, subordinasi dan ketertindasan terhadap kaum perempuan.
Baca Juga: Benarkah Masyarakat Adonara Murni Patrilineal?
Ada yang harus dipahami dari cara Gayatri Spivak memilih metode dekonstruksi sebagai cara perjuangan. Gayatri Spivak lahir dan besar dalam masyarakat India post-colonial Inggris.
Berbagai ajaran Hindu mengisnpirasi cara ia melihat realitas dan menangkap celah perjuangan: menghindari konfrontasi, benturan dan konflik terbuka sambil mencari ruang dan peluang untuk melakukan eksternalisasi perasaan, gagasan, dan kegelisahan dalam rangka menemukan metode dan proses transformasi yang tepat.
Bagi Gayatri Spivak, kejelian menemukan ruang dan peluang dekostruksi sebagai cara berpendapat dan berkarya (baca: berjuang) untuk proses transformasi itu sama pentingnya dengan tampil di depan publik untuk berteriak sekeras-kerasnya menentang kolonialisme, hegemoni dan subordinasi terhadap perempuan. Muara dan hasilnya sama.
Baca Juga: Dari Pembelajaran Tematik di Kelas Menjadi Metode Pendidikan Alternatif Bersama Komunitas
Toni Morrison, sebaliknya, memilih cara-cara konfrontatif, vulgar, dan tanpa tedeng aling-aling ‘menendang’ siapapun dalam struktur masyarakat Amerika yang masih rasistis dan diskriminatif, terutama, terhadap diskriminasi kaum kulit hitam.
Banyak kritikus bahkan merasa risih dengan pilihan diksi Toni Morrison dalam mendekonstruksi realitas sosial Amerika yang diskrimantif itu.
Tetapi bagi Morisson, inilah cara ia berjuang, cara memilih diksi sesuai dengan kerasnya realitas sosial dalam masyarakat Amerika.
Bagaimana Vivian Idris memilih diksi dalam mendekonstruksi realitas perempuan kepala keluaga di Flores Timur dan Lembata?
Saya sendiri menjadi sahabat dari kegiatan pemberdayaan perempuan melalui teater rakyat bersama sutradara Lema Simanjunak yang saat ini menetap di Köln (Jerman).
Ia melatih dan mendampingi para PSK di kompleks pelacuran Dolly Surabaya untuk bermain teater hingga ke Jakarta dalam rangka memperjuangkan masa depan mereka.
Para pekerja rumah tangga (PRT) di Yogyakarta memperjuangkan pengakuan atas profesi mereka dan menuntut adanya Perda hingga UU untuk perlindungan profesi dan hak-hak PRT, juga melalui teater.
Para petani transmigran di lereng Gunung Leuser Aceh juga melalui teater pemberdayaan, berjuang hingga ke Jakarta untuk menyadarkan para pengambil kebijakan untuk buka mata dan melek terhadap ketidak-adilan yang menimpa mereka.
Ada banyak isu pemberdayaan perempuan Lamaholot, terutama terkait dengan kecenderungan meningkatnya arus buruh migran perempuan dari Flores Timur dan Lembata ke Malaysia dan Jawa-Bali.
Baca Juga: Soal Pendidikan, Mengapa Harus Kontekstual?
Ada banyak hal yang perlu dilakukan dalam rangka mempersiapkan mereka untuk berangkat sebagai buruh migran perempuan, maupun pendampingan tatakelola hasil usaha selama di perantauan untuk membangun eksistensi dan kemandirian ekonomi di negeri sendiri saat mereka kembali dari perantauan.
Catatan akhir:
Dari percakapan pribadi dengan seorang sahabat terkait tema diskusi serial kita, terungkap bahwa ada orang yang, melalui teman tersebut, berharap ada tindakan konkret dari kelompok diskusi ini untuk mengatasi berbagai masalah di Flores Timur dan Lembata yang didiskusikan di sini.
Dalam konteks tema konservasi lingkunan hidup dan sumber air, misalnya, orang tersebut memberi ide briliant yang jika dirumuskan kembali kira-kira begini:
Baca Juga: Boro Beda Darius : Pendidikan Kontekstual Berbasis Gemohing
“Yang dibutuhkan Flores Timur dan Lembata sekarang adalah usaha ekonom real. Jika ekonomi real tak dikembangkan tetap saja orang potong pohon yang bisa berakibat banjir, dsb.”
Kita hormati pendapat seperti itu. Dan kita juga bertanya untuk diri kita sendiri (dan untuk orang itu), wilayah ekonomi real itu domain siapa?
Sesederhana itukah substansi masalah lingkungan hidup dan jarak antara “ekonomi real” dengan “potong pohon”?
Edukasi dan pencerahan tidak lagi perlu? Mungkinkah gerakan bersama untuk perubahan dihasilkan dari tindakan pragmatis tanpa perlu berpikir secara mendalam dan sistematis terkait konsep dan strategi? – Tanjung (Kalsel), 11.10.2021.
Leave a Reply