Tawuran sebagai Representasi dari Krisis Identitas Remaja

Budaya
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.Com  – Pada awal April (3/4) hari pertama Bulan Ramadhan, terjadi penyerangan terhadap sekelompok remaja di Gedong Kuning Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menyebabkan korban tewas beberapa jam kemudian.

Korbannya adalah seorang remaja berusia 17 tahun, murid kelas XI pada sebuah SMA swasta di Yogyakarta. Pelakunya, RS berusia 18 tahun, masih duduk di sekolah menengah, anggota geng M di Yogyakarta.

Berdasarkan keterangan dari polisi, dua kelompok ini tidak saling kenal sebelumnya. Bentrok kedua kelompok ini bermula ketika kelompok korban yang terdiri dari 8 orang, memacu motor mereka dengan kencang, berpapasan dengan kelompok penyerang.

“Bunyi knalpot yang keras menarik perhatian kelompok penyerang. Mereka saling lirik dan menyebabkan ketersinggungan. Kelompok korban memulai dengan kata “Ayo, rene…rene (ayo, sini…sini),” jelas Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY, seperti dilansir Kompas.com.

Paus Fransiskus Minta Maaf Atas Kekerasan Di Sekolah Katolik Pada Masa Lalu Di Kanada

Kelompok penyerang kemudian merespon dengan mengejar. Mereka saling ejek, memaki, dan saling mengancam. RS dengan gir yang diikat dengan sabuk bela diri diayunkan ke motor pertama, mereka dapat mengelak dan lolos.

Ayunan RS berikutnya berhasil dielak oleh pengendara sepeda motor kedua, korban yang berada pada posisi dibonceng, tidak berhasil mengelak. Kepalanya kena sabetan gir. Ketika ditemukan dan ditolong polisi, korban sudah tidak sadarkan diri.

Polisi membawa korban ke RSPAU Harjolukito untuk dirawat. Namun luka yang sangat parah di kepala, menyebabkan nyawa korban tidak dapat diselamatkan. Ia dinyatakan meninggal pukul 09.30

Respon pejabat publik

Merespon peristiwa ini, Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta agar para pelaku kejahatan jalanan yang menewaskan korban tetap diproses secara hukum, meskipun pelakunya masih di bawah umur.

Baca juga : Aspek Hukum Kekerasan dalam Pacaran

“Menurut saya ini sudah berlebihan, ini harus diproses secara hukum, meskipun para pelaku masih di bawah umur, karena telah mengakibatkan korban meninggal,” tegas Sri Sultan.

Peristiwa ini juga memunculkan keprihatinan banyak pihak. Walikota Tangerang Arif R. Wismansyah angkat bicara soal maraknya tawuran remaja pada momen Ramadhan ini.

Pihaknya akan memberikan sanksi kepada Kepala Sekolah, baik negeri maupun swasta di wilayahnya, jika murid di sekolah tersebut terlibat dalam aksi tawuran di Kota Tangerang,

“Kalau ada murid di sekolah negeri yang tawuran, Kepseknya saya copot,” tegas Arif dalam diskusi larangan sahur on the road di Tangcity Mall, seperti dilansir Suara Jakarta,id.

Mengapa Korban Kekerasan Seksual (lebih) Memilih Bungkam?

Sementara itu, bagi sekolah swasta, Walikota Tangerang mengancam akan menunda pencairan biaya operasional pendidikan, jika ada murid di sekolah swasta yang terlibat tawuran.

Ia mengharapkan Kepala Sekolah dan para guru bekerja sama dengan orang tua murid untuk mencegah agar tawuran remaja tidak terjadi di Kota Tangerang

Tawuran sebagai representasi dari krisis identitas

Kita bersyukur atas respon pejabat publik atas maraknya tawuran remaja yang dampaknya sudah sangat menguatirkan. Kita berharap pendekatan penanganan masalah berdampak mencegah munculnya kasus baru, paling tidak untuk sementara.

Kenapa sementara? Karena penanganan sebagaimana yang diusulkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Arif R. Wismansyah hanya menangani gejalanya saja, bukan akar masalahnya.

Baca juga : Mencegah Konflik Antar Warga di Adonara Sebelum Terjadi (Lagi)

Oleh karena itu, tawuran bisa berhenti sebentar, namun akan muncul kembali karena akar permasalahannya belum disentuh. Maka perlu ada upaya yang lebih sistematis untuk menangani tawuran remaja dengan mencari akar masalah dan mengupayakan solusi secara menyeluruh.

Psikolog seperti Erik H. Erikson mengaitkan kenakalan remaja dengan krisis identitas yang dialami semua remaja. Tawuran adalah salah satu bentuk representasi dari krisis identitas tersebut, mungkin yang paling ekstrim.

Pada rentang usia tersebut, remaja mengalami perubahan yang luar biasa dalam berbagai aspek. Secara fisik, tampilan remaja sudah sama sepenuhnya dengan fisik orang dewasa. Secara mental, minat dan perhatian remaja pun sudah sama dengan minat dan perhatian orang dewasa.

Menerobos Stigma Terhadap Perempuan : Menjadi Saras dalam Film Salawaku

Secara seksual pun sama. Remaja telah matang pula secara seksual. Perubahan-perubahan ini tidak dengan sendirinya membuat remaja boleh menerima privilege seperti privilege seorang dewasa.

Orang dewasa dalam interaksi dengan remaja tetap menganggap remaja sebagai anak-anak. Bahkan dalam banyak situasi, mereka masih diproteksi seperti pada masa kanak-kanak. Remaja masih belum sepenuhnya dipercaya oleh orang dewasa. Situasi inilah yang disebut krisis identitas remaja.

Bagi remaja, pribadi yang paling tahu dan paling memahami remaja adalah teman sebaya mereka. Dari teman sebaya, para remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan dan siapa mereka.

Remaja belajar tentang apa yang mereka lakukan apakah lebih baik, sama baiknya, atau bahkan lebih buruk daripada apa yang dilakukan oleh remaja lainnya.

Baca juga : Waspada Terhadap Maraknya Kasus Pelecehan Seksual Yang Ada Di Sekitar Kita

Menurut Santrock, remaja sulit mempelajari hal-hal seperti di atas di rumah, karena saudara kandungnya biasanya lebih tua atau lebih muda.

Dalam situasi pencarian identitas mereka, yang mereka perlukan adalah konfirmasi dari orang lain tentang siapa mereka. Dan konfirmasi seperti itu hanya dapat terjadi jika remaja melakukan sesuatu dengan mengandalkan bakat, minat, bahkan apa yang remaja pahami tentang dirinya.

Yang remaja butuhkan adalah ruang ekplorasi. Oleh karena itu, jika orang tua, guru di sekolah, dapat menyediakan ruang bagi remaja untuk melakukan eksplorasi diri untuk memperoleh konfirmasi tentang remaja, maka remaja dapat keluar dari krisis identitasnya dengan baik.

Tetapi jika sekolah, keluarga, atau lembaga lain dalam masyarakat tidak menyediakan ruang untuk eksplorasi tersebut, dan remaja menemukan ruang tersebut pada teman sebayanya, maka apapun bisa ia lakukan untuk mendapatkan konfirmasi, termasuk tawuran.

Benarkah Sekolah Kita Sedang Mengalami Darurat Kekerasan?

Jadi, mencegah remaja untuk tidak terjun dalam tawuran hanya dapat dilakukan dengan menyediakan ruang bagi remaja untuk melakukan eksplorasi diri, memperoleh umpan balik tentang siapa dirinya yang sesungguhnya.

Orang tua harus lebih percaya dan memberi ruang eksplorasi pada remajanya, sekolah harus lebih menyediakan ruang aktif dan merdeka bagi remaja. Gereja, masjid, pura pun diharapkan menyediakan ruang yang sama bagi remaja.

Menurut hemat saya, inilah cara-cara yang paling bisa diandalkan untuk mengakhiri tawuran remaja. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan tersebut perlu berbenah agar dapat menjadi area pertumbuhan remaja.

Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto : today.line.me

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of