Mencegah Konflik Antar Warga di Adonara Sebelum Terjadi (Lagi)

Daerah
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Ada yang menarik dalam diskusi menanggapi konflik yang terjadi di Adoanara siang tadi di WA group Epu Oring Adonara.

Terutama yang datang dari Ama Seli Tupen. Menurutnya konflik apapun yang melibatkan orang muda seharusnya tidak terjadi. Orang muda dalam rentang usia 20 – 30 tahun itu seharusnya sekolah atau kerja.

Ketika anak-anak muda ini sibuk memikirkan sekolah atau kerja, barangkali konflik seperti ini tidak akan terjadi.

Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship

Seli Tupen selanjutnya mengajukan usul untuk didiskusikan. Ia menawarkan bahwa harus ada upaya serius untuk meningkatkan kualitas SDM di Adonara. SDM berkualitas inilah yang nati akan menjadi pemimpin di desa. Tidak hanya dalam membangun desa, terutama juga sebagai agen yang mendorong perdamaian di desa.

Diantaranya ia mengusulkan agar setiap desa mengirim 2-4 pemuda ke tempat-tempat pelatihan di manapun sesuai dengan potensi di desanya. Pada saat yang sama kelompok-kelompok gemohing dibentuk.

Setelah selesai pelatihan, mereka kembali untuk membimbing komunitas di desanya untuk menjalankan usaha bersama. Usaha produktif sesuai dengan potensi di desa mereka.

Seluruh kegiatan ini didanai oleh desa. Mulai dari pemberangkatan, akomodasi selama masa latihan  hingga kepulangan didanai oleh desa. Entah melalui BUM Desa atau lainnya.

Baca Juga: Dana Desa, BUM Desa dan Gemohing

Komunitas orang muda lainnya, tidak hanya melakukan berbagai usaha produktif tapi juga mendapatkan les tambahan pada malam hari misalnya dari para guru pensiunan.

Seperti Ama Seli Tupen, menurut saya, pemberdayaan bisa jadi pintu masuk untuk mencegah konflik seperti ini terjadi  (lagi).

Selain Ama Seli Tupen, usulan juga datang dari Ama Tuan Kopong, MSF. Menurut Tuan Kopong orang muda di Adonara perlu berperan dalam mencegah konflik seperti ini terjadi (lagi). Dan institusi agama harus bisa mendorong para orang muda ini untuk menjadi agen-agen perdamaian.

Menanggapi tulisan Ama Tuan Kopong MSF, Boro Beda Darius kembali menegaskan tentang peran orang muda menjadi bagian dalam mencegah konflik seperti ini terjadi (lagi).

Baca Juga: “ketjilbergerak” dan Eposdigi ‘Dorong’ Komunitas Orang Muda Bangun NTT

Boro Beda Darius menceritakan bagaimana para sarjana di desanya mengorganisir diri, dan ternyata hal ini dapat meredam banyak perilaku negatif seperti mabuk-mabukkan.

Kita harus mulai dari mana?

Sudah terlalu banyak kisah sukses pemberdayaan kaum muda yang efektif mencegah potensi konflik sebelum benar-benar terjadi.

Beberapa waktu lalu saya menulis tentang Komunitas Baca Masdewa. Bagaimana inisiatornya Agustinus Puru Bebe,  menyadari ada banyak hal positif yang bisa didorong oleh orang muda.

Puru Bebe percaya bahwa Komunitas Baca Masdewa yang ia inisiasi bisa membuat fokus para anak muda teralih dari minum mabuk dan berjudi ke kegiatan belajar.

Baca Juga: Mengapa “Komunitas Baca Masdewa” Harus Dimiliki Oleh Semua Desa di Flores Timur?

Komunitas yang ia inisiasi pembentukannya sekarang tidak lagi hanya sebagai komunitas literasi semata, tapi kini mereka membangun kemandirian melalui kegiatan ekonomi produktif. Mereka kini menjual berbagai makanan khas Adonara.

Untuk alasan inilah saya menulis bahwa  harus ada komunitas seperti Komunitas Baca Masdewa di setiap desa di Flores Timur.

Dalam sebuah diskusi yang kami selenggarakan untuk anggota komunitas orang muda se NTT belum lama ini, Greg Sindana dari “ketjilbergerak” mengatakan bahwa perlu ada ekosistim alternatif sebagai ruang orang muda mengekspresikan diri.

Jika ekosistim orang muda kita hanya sebatas minum mabuk, judi dan tawuran maka, hanya itulah yang akan mereka lakukan. Pun sebaliknya, jika ekosistim orang muda kita diisi oleh berbagai kegiatan pemberdayaan maka itu pula yang mereka hidupi.

Untuk itulah maka ekosistem ini harus segera diidentifikasi dan dibangun, tidak boleh lagi ditunda.

Apa Yang Harus Kita Lakukan?

Pertama, Identifikasi “Key Person”. Seperti diusulkan oleh Darius Boro, perlu mengidentifikasi ‘figur kunci’; mereka yang memiliki pengaruh dalam komunitas orang muda untuk mendorong perubahan.

Baca Juga: Pendidikan Kontekstual dan Gerakan Konservasi Lingkungan: Mencari Penggerak Perubahan Kolektif untuk Konservasi Lingkungan

Figur Kunci ini bisa juga berarti 2 – 4 orang anak muda terbaik di desa yang punya pengetahuan dan keterampilan; yang memiliki pengaruh untuk membangun ekositim alternatif tadi.

Kedua, Lumbung Data Desa. Ekosistem harus  dibangun dengan kajian yang berasal dari basis data yang kuat.

Karena itu tugas figur kunci ini adalah selain membentuk komunitas awal, juga untuk mengumpulkan berbagai data tentang potensi di desa masing-masing. Data-data ini, meminjam istilah ‘ketjilbergerak’disimpan dalam lumbung data desa.

Lumbung data desa tidak hanya berarti sekumpulan angka-angka statistika. Lumbung data desa adalah aktifitas yang berisi pengorganisasian petugas pengumpul data, metodelogi pengumpulan dan analisa, hingga manajeman pengambilan keputusan berbasis data yang dikumpulkan.

Ketiga, bergerak bersama dalam komunitas. Era hari ini adalah era NET. Semua hal terkoneksi dalam jaring-an. Tidak ada lagi pemain tunggal. Dalam konteks Adonara segala hal terutama pemberdayaan harus dimulai dari, oleh dan untuk gemohing.

Baca Juga: Boro Beda Darius : Pendidikan Kontekstual Berbasis Gemohing

Gemohing adalah sistem. Maka input dan proses harus dilakukan dalam semangat gemohing. Dan apapun buah dari pemberdayaan itu harus terdistribusikan ke semua kelompok gemohing.

Keempat, komunitas gemohing adalah komunitas yang belajar. Komunitas yang belajar bisa sama dengan belajar tanpa henti bersama dalam komunitas. Di tengah perubahan yang sedemikaian cepat dan tak terduga, komunitas orang muda harus menjadi komunitas yang belajar tiada henti.

Setiap perubahan butuh penyesuaian diri sesegera mungkin. Namun apapun peyesuaian yang di lakukan, tanpa harus kehilangan fokus pada visi organisasi.

Baca Juga: Pekka Lodan Doe; “Berjalan sambil Merintis Jalan”

Penyesuaian inilah yang membuat ekosistem orang muda selalu terbaharui. Apapun bisa berubah dan mereka menyesuaikan diri selaras perubahan itulah yang keluar sebagai pemenang.

Jika kita butuh keluar daerah untuk meningkatkan kualitas SDM kita maka untuk membangun ekosistem tadi, kita bisa belajar dari Ina-Ina PEKKA di Adonara, tidak harus merantau jauh.

Foto ilustrasi dari teddyricky.blogspot.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of