Eposdigi.com – Apa yang Anda rasakan ketika mengikuti pelajaran ataupun perkuliahan di tengah covid-19? Tentunya akan ada banyak masalah bukan? Lalu kapan seseorang itu dikatakan bermasalah?
Orang bisa bermasalah ketika mengalami perasaan negatif seperti marah, benci, sedih, dendam, iri hati, kecewa dan lain sebagainya.
Akan menjadi wajar jika perasaan yang muncul itu hanya bersifat temporary, dan akan menjadi tidak wajar ketika perasaan itu menetap, dekat hingga lekat dan menjadi sulit untuk dikendalikan dalam bentuk perilaku yang lebih adaptif.
Lalu, apakah perasaan negatif yang muncul itu salah? Tentu tidak. Perasan negatif yang muncul adalah sesuatu yang alamiah, yang terjadi pada setiap orang. Hanya saja bagaimana cara mengekspresikan perasaan negatif tersebut, itulah yang terpenting.
Intensitas perasaan negatif biasanya dipengaruhi oleh pengalaman yang menurut tafsir si korban adalah pengalaman yang negatif, baik itu yang terjadi di masa lampau ataupun di masa sekarang.
Baca Juga :Efek Nosebo; Presepsi Negatif Tentang Diri Adalah Sumber Penyakit
Tidak bisa dipungkiri, banyak yang berpikiran bahwa belajar atau kuliah di tengah covid-19 adalah pengalaman belajar yang begitu pahit dan sulit diterima. Sehingga perasaan negatif itu sering muncul dan menjadi sulit untuk dikendalikan.
Perasaan negatif dengan intensitas yang tinggi akan membuat orang tidak sadar kalau sebenarnya ia sedang menyakiti dirinya. Lalu munculah pertanyaan paling mendasar sebagai salah bentuk self defense, dan pertanyaan itu adalah “mengapa”.
Mengapa sih KKN-nya harus online? Mengapa sih wisudanya harus online? Mengapa sih sekolahnya harus online? Mengapa sih ngajarnya harus online? Kan ribet!
Selalu saja pertanyaan “mengapa” itu muncul tanpa mengetahui alasan di balik peristiwa yang menyakitinya.
Untuk bisa sampai pada tahap solusi, orang perlu sampai pada kalimat “Ow ya” dan berikut akan diberikan tiga tahap hingga bisa mengantarkan pembaca dari kata “mengapa” menuju “Ow ya”
Pertama; Mengenali masalah
Pada tahap ini orang perlu memahami dirinya, yakni memahami penyebab luka yang ada. Banyak orang yang marah dan kecewanya tidak jelas. Mengapa marah? Mengapa kecewa?
Ketika ditanyai dengan pertanyaan seperti itu, orang terkadang hanya menjawab “engga, tadi ada temen yang marah-marah ngga jelas kepada saya di WA, akhirnya saya juga ikut-ikutan marah-marah, naruh story di WA, biar WA saya ngga ikutan sepi aja”.
Alasan seperti ini adalah pernyataan yang tidak jelas. Cobalah untuk menggali, marah, sedih, kecewa dan perasaan negatif lainnya itu karena apa?
Anda tidak menyukai perkuliahan, bahkan KKN online itu karena apa? Apakah itu merugikanmu? Merugikan dalam hal apa?
Coba dibongkar, Anda menjadi kecewa karena apa? Karena perkuliahannya menjadi tidak menarik. Kalau seperti itu, masuklah lebih dalam dengan pertanyaan, tidak menariknya dalam hal apa? Adakah yang dicederai dalam dirimu?
Baca Juga : Dunia Maya vs Dunia Nyata
Apakah pikiranmu, apakah karena teman-teman Anda mengatakan tidak menarik sehingga Anda juga ikut-ikutan mengatakan demikian? Itu salahnya dia atau lemahnya pikiranmu? Rasa jengkelmu itu posisinya di mana? Untuk apa? Targetnya apa? Dan alasannya cocok tidak rasa jengkel dan marahmu itu?
Kalau sudah menemukan alasan yang tepat, Anda berhak untuk kecewa, sedih, marah, dan lain-lain.
“Saya merasa dirugikan karena saya menjadi sulit untuk menemui teman-teman saya, saya menjadi pusing karena banyaknya tugas kelompok yang perlu dikerjakan online, dan menurut saya itu tidak efektif”.
“Saya menjadi jengkel karena saya harus menyiapkan lebih banyak kuota internet agar bisa mengikuti pembelajaran/perkuliahan.” Kalau memang seperti itu, Anda berhak untuk marah, kecewa ataupun sedih. Tahap selanjutnya yang perlu dilewati adalah adalah tahap penerimaan.
Kedua; Penerimaan
Pada tahap ini orang perlu menerima keadaan dengan berpikir rasional dalam membuat keputusan. Keadaan seperti ini perlu dipeluk erat-erat atau berdamai, diterima tanpa syarat sebagai suatu bagian dalam perjalanan hidup.
Setelah itu, buatlah keputusan dengan diawali penggalian lebih dalam “kalau saya menolak untuk mengikuti sekolah atau perkuliahan secara online, lalu apa keuntungan dan kerugiannya bagi saya?
Begitupun sebaliknya, keuntungan dan kerugian apa yang saya peroleh ketika saya memilih untuk tidak mengikuti sekolah atau perkuliahan secara online?
Dalam hal ini, orang perlu berpikir lebih realistis. “Toh semua siswa dan mahasiswa di Indonesia yang berada pada zona merah juga mengalami hal ini” Anda tidak sendirian.
Setelah berdamai dan mengarahkah diri dengan pertanyaan yang ada, orang perlu untuk membuat keputusan yang kiranya lebih banyak menguntungkan, tidak hanya untuk hari ini, tapi untuk ke depannya.
Baca Juga : HARDIKNAS; diantara Kejujuran Pasien dan COVID-19
Ketiga; Pemahaman
Ketika Anda sudah sampai pada tahap ini, biasanya tingkat spiritualitasnya akan naik. Ada kepasrahan dan muncul sebuah pemahaman yang ditandai dengan kalimat “Oww ya”. “Oww ya terkadang peristiwa yang ada di bumi ini terjadi di luar kendali kita”.
“Oww ya segala sesuatu yang terjadi di hari esok adalah sebuah secret”; “Oww ya memang keadaanya seperti ini dan akan lebih baik jika perkuliahan dilangsungkan secara online demi menjaga keselamatan bersama.”
Pada tahap ini, biasanya muncul rasa bangga karena bisa menjalani kehidupan yang ada walaupun terasa sangat berat.
Hal yang perlu dilakukan adalah menjalani dengan ikhlas dan berpasrah pada Sang Ilahi. Seperti kata pepatah dari seorang filsuf Heinrich Heine yang mengatakan bahwa “Hidup adalah penyakit, seluruh dunia adalah rumah sakit dan kematian adalah dokter bagi kita”. Maka nikmatilah.
Tidak ada yang bener-bener benar dan tidak ada yang bener-bener salah, jawaban yang paling bijaksana untuk setiap pertanyaan adalah tergantung, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. (Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto : rencanamu.id)
Baca juga tulisan Simon Nama Samon lainnya : Untung Rugi vs Nilai Hidup – Untuk Para Perempuan Adonara yang Perkasa
[…] Baca juga: Seni Mencintai Diri Di Tengah Pandemi Covid-19 […]