“…77 persen dosen dari seluruh universitas mengakui kekerasan seksual pernah terjadi di kampus.”
Eposdigi.com – Kekerasan seksual dapat dialami siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui ciri-ciri orang yang berisiko melakukan kekerasan seksual sebagai salah satu langkah pencegahan dan perlindungan terhadap diri Anda.
Kekerasan seksual adalah aktivitas seksual yang dilakukan seseorang tanpa persetujuan atau kerelaan dari orang yang menjadi korban tindakan tersebut. Pada sebagian besar kasus, pelaku kekerasan seksual merupakan orang yang dikenal oleh korban dan kebanyakan pelaku adalah pria.
Kekerasan seksual sudah ada sejak dahulu sampai sekarang. Dengan adanya pengaruh dari luar, seperti kemajuan teknologi yang semakin meningkat, kekerasan seksual dapat terjadi baik di ranah domestik maupun publik. Tak terkecuali di institusi pendidikan.
Baca Juga: Mengapa Korban Kekerasan Seksual (lebih) Memilih Bungkam?
Lingkungan kampus yang idealnya menjadi tempat untuk belajar kehidupan dan kemanusiaan justru menjadi tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan direnggut dan dilanggar.
Lingkungan kampus yang didominasi oleh kaum ‘intelektual’ dengan panjangnya gelar yang disandang ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku menghargai nilai dan martabat terkhusus perempuan sebagai sesama manusia.
Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan, sebanyak 77 persen dosen dari seluruh universitas mengakui kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Menurut dia, data tersebut diperoleh dari Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek.
“Kita melakukan survei kepada dosen, bukan mahasiswa, kalau mahasiswa mungkin angkanya lebih besar lagi, kita menanyakan dosen-dosen kita, apakah kekerasan seksual pernah terjadi di kampus anda? Dan 77 persen merespons ya, kekerasan seksual pernah terjadi di kampus kita,” kata Nadiem Makarim dalam diskusi ‘kampus merdeka dari kekerasan seksual’, Jumat (12/11/2021).
Baca Juga : Predator Seksual Anak Merajalela, Kita Kudu Apa?
Dari jumlah tersebut, lanjut dia, ada 63 persen kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan. Menurutnya, fenomena kekerasan seksual seperti gunung es. “63 persen dari kasus-kasus tersebut tidak dilaporkan kasusnya, jadi kita dalam fenomena gunung es yang kalau kita garuk-garuk sedikit saja fenomena kekerasan seksual ini sudah di semua kampus sudah ada situasi ini,” jelas Nadiem Makarim.
Dalam konteks pencegahan terjadinya kekerasasan seksual di dunia kampus sepertinya butuh perhatian serius dari para pengambil kebijakan di Perguruan Tinggi. Hal ini didasarkan pada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa kekerasan seksual dapat berdampak besar kepada resiko psikologis korban.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan kekerasan seksual dikaitkan dengan berbagai hasil negatif, termasuk peningkatan penggunaan zat, gejala depresi, perilaku berisiko kesehatan, dan gejala gangguan stres yag mengarah trauma.
Baca Juga: Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan-Anak Tidak Cukup Diselesaikan Secara Adat
Gejala distress korban pelecehan seksual ini pada akhirnya berdampak negatif pada kesuksesan perguruan tinggi dan pribadi korban dalam menjalani kehidupannya.
Secara nyata, langkah preventif yang pertama harus dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada seluruh civitas kampus mengenai informasi bentuk-bentuk pelecehan seksual yang dapat mengarah pada kekerasan seksual di kampus.
Sosialisasi bahkan internalisasi ini penting bagi seluruh civitas kampus, terkhusus mahasiswa agar mereka dapat melakukan pencegahan secara mandiri. Kategori upaya preventif semodel ini bagian dari konseling behavioral. Tujuannya agar tercipta suasana kampus yang kondusif .
Baca Juga: Virginitas Jadi Ukuran Kehormatan Perempuan?
Indikator yang harus menjadi poin-poin penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di dunia kampus ini meliputi upaya pencegahan harus bersifat komprehensif: artinya strategi dan pendekatan yang dlakukan harus bisa saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain yang terlibat di kampus.
Lebih jauh infrastruktur yang kuat: Artinya dibutuhkan sistem organisasi, struktur atau kelembagaan yang legal dan efektif dalam mengembangkan strategi pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi atau kampus. Jika ini dilakukan maka tidak ada lagi kekerasan seksual di kampus.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto:voaindonesia.com
Leave a Reply