Pemerintah Desa dan Penerimaan Palsu 

Daerah
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com- Ruangan itu semakin memanas. Terlihat orang-orang mulai gaduh. Terdengar dari belakang barisan, seorang lelaki yang hendak memasuki masa lansia. Mulai mengeluarkan suaranya. Suara itu kemudian menutup rapat pembicaraan. “Pak, saya siap membantu, gratis tidak perlu dibayar!

Dari pojok kanan barisan, terlihat seorang pemuda yang berdiri dengan tegap. Diafragmanya mengembang, suara dari kerongkongannya pun keluar. “Pak bentuk saja BUMDES, kami siap memfasilitasi.”

Pertemuan itu berlangsung di salah satu desa yang ada di tanah kelahiranku. Adonara, Kec. Witihama. Berbagai tanggapan pesimis seolah memberi kesempatan ketidakmungkinan lebih besar terhadap visi yang mau dibangun.

“Pak, banyak sekali usaha yang sudah dilakukan. Tapi nyatanya tidak berhasil sampai sekarang.” Ungkapan-ungkapan pesimis kian menjamur memenuhi isi ruangan tersebut. 

Baca juga: Ruh Gemohing Dan Sosialisme Marx

Lagi dan lagi, suara dari barisan belakang itu memecahkan kegaduhan yang ada. “Pak, itu mungkin terjadi karena kurang adanya skill atau bekal pengetahuan yang memadai. Pemberdayaan SDM perlu dilakukan. Perlu ada fungsi kontrol dan evaluasi. Saya siap membantu mengatasi permasalahan ini.”

Suara yang berbeda pun terdengar dari sudut kanan depan barisan. Sudah samar-samar dalam ingatan saya, tapi sepertinya ia mengambil peran sebagai bagian dari Badan Pengawas Desa (BPD).

“Pak, sudah banyak sekali usaha yang dilakukan, salah satunya adalah pemberdayaan pengadaan jagung titi. Akan tetapi, usaha itu mangkrak di tengah jalan.”

“Ya, saya siap untuk membantu. Bentuklah BUMDES. Ada harta karun yang dibiarkan terlantar selama ini. Banyak batu-batu yang ada Selatan Desa. Saya pikir, ini bisa menjadi potensi yang sangat besar untuk membangun desa ini.”

“Saya sudah menghubungi berbagai pihak, mereka sudah melakukan perhitungan, dan berbagai keuntungan yang bisa diraih oleh Desa ini. Saya siap mendampingi.”

Baca juga: “Marin Oneket” Dalam Prespektif Psikologi Positif

“Batu dan pasir yang ada di kali tidak boleh dibiarkan begitu saja. Ini adalah potensi yang sangat besar. Setiap tahun, mengalir deras batu dan pasir dari puncak gunung Boleng. Ia melewati kali-kali dan hampir memenuhinya.” Lagi dan lagi, suara dari lelaki yang hendak memasuki masa lansia itu mengkontra, sekaligus memberikan tawaran bantuan.

Jika teman-teman jeli, maka tentu akan bertanya-tanya. Di manakah pemimpin Desanya? Pertemuan seperti ini sungguh sangat disayangkan, kalau ia melewatkannya.

“Ya, kami pikir masukkan ini sangat baik Pak….Kami terima masukkannya. Akan kami pertimbangkan dan kami tindaklanjuti.” 

Sumber suara dari barisan paling depan seolah memberi harapan bagi lelaki yang hendak memasuki usia lanjut tersebut. Ia adalah pemimpin Desa. Mendengar tanggapan tersebut, ekspresi puas terlihat jelas dari raut wajah lelaki tersebut.

“Baik, terima kasih atas tanggapannya Pak, jangan lama-lama. Hubungi saya. Saya siap mendampingi” lanjut lelaki tersebut.”

Berbulan-bulan berlalu. Saya sebagai peserta dalam pertemuan terus menunggu. Apakah betul, pemerintah Desa benar-benar akan menindaklanjuti masukkan dari lelaki tersebut?

Saya sudah mengimajinasikan, bagaimana wajah desa ketika didandani dengan persepsi dari lelaki tersebut. Mungkin masyarakatnya akan terbantu, karena dilihat potensi yang ada, desa ini sungguh menyimpan harta karun yang sangat besar. Sayang kalau dibiarkan berkarat hingga kedaluwarsa. 

Baca juga: Totem Dan Tabbo Dalam Konteks Adonara

Kurang lebih 8 bulan berlalu hingga sampai saat ini. Akan tetapi, Desa nyatanya telah mati kesadarannya. Kesadaran akan tanggapan dan visi untuk menjadi lebih baik ke depannya, serta miskin kepercayaannya. Lelaki yang hendak memasuki usia lanjut tak pernah dikabari hingga sampai saat ini. Pemerintah Desa telah memberikan harapan palsu.

Saya kemudian berefleksi. Salah satu cara terbaik sebagai seorang pemimpin untuk menghindari kritikkan dan masukkan adalah melakukan penerimaan dengan memberikan pujian “Bagus sekali masukannya, akan kami tampung dan kami pertimbangakan.”

Ini adalah bentuk penerimaan palsu yang dibalut dengan pujian. Terima saja dulu, dari pada terus diperdebatkan. Urusan direalisasikan atau tidak, itu tidak menjadi yang utama. Yang terpenting adalah menghindari sekaligus menutup diskusi lebih lanjut.

Dalam psikologi, pernyataan ini merupakan bentuk mekanisme pertahanan ego  atau perilaku resisten. Ego kelompok dari pemimpin Desa terancam dan untuk mengatasinya, pemimpin kemudian memberikan penerimaan palsu yang dibalut dengan pujian-pujian yang ada. Ini adalah teknik pertahanan yang sangat mudah dilakukan oleh siapa saja. 

Baca juga: Seni Mencintai Diri Di Tengah Pandemi Covid-19

Kenyataan ini menunjukkan bahwa desa sangat tertutup dengan berbagai masukkan. Atau bisa jadi kehilangan kepercayaan serta semangat untuk tumbuh menjadi lebih baik.

Desa perlu keluar dari zona nyaman. Perangkatnya perlu diberdayakan untuk menerima masukkan sekaligus mengkritisi dengan jelih masukan-masukan yang ada. Bukan mengiyakan lalu kemudian mengabaikan.

Jika saya sebagai pemimpin Desa, maka saya tentu tidak akan berhenti dengan menerima begitu saja masukkan dari lelaki itu. Saya akan menelusuri bagaimana prosesnya, bagaimana langkah-langkah yang akan ditempuh dan kapan kesediaan waktu dari lelaki tersebut untuk mendiskusikan lebih lanjut. 

Nyatanya, Pemimpin desa beserta perangkatnya lebih memilih bekerja dalam zona nyaman dan enggan untuk melakukan perubahan. Jika tidak mampu, tanggalkan saja. Jika tidak tidak sanggup, katakan saja. Penerimaan akan keterbatasan diri lebih baik ketimbang penerimaan palsu, hingga kemudian memberi harapan-harapan yang tak kunjung tercapai.

Sumber foto: infopublik.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of