Menuju Adonara Baru (Bagian Pertama)

Kearifan Lokal
Sebarkan Artikel Ini:

Sejarah Hindia Belanda sebuah paradox

Eposdigi.com – Saat ini saya  bekerja di St Maarten, kepulauan Karibia. Pulau ini memiliki luas 1/3 dari Pulau solor. Walaupun begitu ia masih terbagi dua. Di bagian Timur adalah wilayah Belanda. Sementara di bagian barat merupakan daerah administrative Prancis.

Ada kegembiraan dan kesadaran Belanda-isme di satu sisi.  Di sisi lain ada savoir-faire dari Prancis. Kombinasi keduanya meghasilkan warisan Eropa yang eksotis dan cosmopolitan. Kita bisa mendegar seseorang berbicara multy bahasa hanya dalam satu kesempatan saja.

Anak-anak mereka setidaknya menguasai 4 bahasa: Inggris, Prancis, Belanda dan Spanyol. Kitapun menjadi terpacu untuk berbicara multi bahasa. Umumnya orang orang selalu bergembira.

Mereka sungguh menikmati  hidup dengan satu slogan khas : St Maarten the friendly Island.

Tambahan pula lusinan pantai dan laguna yang menebar pesona. Hotel-hotel mewah, villa-villa elegan, dan lebih dari 300 restoran berseliweran di pulau sekecil ini. Semua koki hebat dari  Eropa, Amerika, atau Asia bersaing memanjakan lidah para pencinta kuliner. Mereka menyediakan kuliner  yang setara dengan kuliner terbaik dari Paris atau New York.

Baca Juga: Perang Historis Adonara : Future without War, but Warriorship

 Jet-jet jumbo dari berbagai belahan  dunia mendarat di sini.  Orang-orang berbelanja sepuasnya tanpa  pajak. Ini adalah kombinasi hebat dari Belanda dan Perancis. Mereka  telah mengubah pulau ini menjadi tempat liburan yang sangat menarik.

Dunia luar akhirnya mengerti mengapa St. Maarten selalu mejadi salah satu tujuan wisatawan mancanegara.

Mungkin orang akan bertanya. Ada apa dibalik deskripisi ini? Saya memang sengaja menulisnya, karena saya merasa sedang berada di kampung sendiri. Saya merasa dekat dan sepertinya ada perasaan ikatan bathin  dengan mereka. Bahkan orang-orang St Maarten  selalu bercanda, bahwa kita masih memiliki  DNA yang sama.

Bahwa  kita pernah belajar sejarah yang sama. Dalam buku sejarah yang sama pula, kita menemukan adanya sebutan Hindia Timur Belanda  dan Hindia Barat Belanda. Indonesia adalah Hindia Timur Belanda. Sedangkan St Maarten adalah Hindia Barat Belanda. Tidak mengherankan, mereka masih sangat menyukai kuliner Indonesia.

Mereka  suka makan nasi goreng dan soto. Bahkan mereka menyebutnya “nasi goreng dan soto sama seperti kita. Kalau saya berkujung ke rumah mereka, pasti di sana ada Sambal ulek, kerupuk dan kecap manis.

Akan tetapi  semuanya ini tentu tidak membiarkan saya  tinggal dalam kenyamanan.   Bagaimanapun juga St Maarten  hanyalah sebuah tempat persinggahan sementara.

Saya tidak mungkin menetap selamanya  di sini . Apalagi saya hanyalah seorang misionaris.  Kapan dan dimana saja saya selalu siap pergi.  Maka kini saatnya saya harus kembali ke rumah. Rumah di mana saya dilahirkan. Di sini saya merasa, bahwa cinta akan rumahku telah menghanguskan daku. Entalah, Adonara sedang memangil pulang.

Pada tataran ini saya harus berkata jujur. Kadang kala saya merasa marah pada ketidakadilan hidup ini. Saya selalu bertanya dalam hati. Kapan kita, Nusa Todon Adonara bisa seperti St Maarten. Padahal kita sama-sama yang nota bene memiliki sejarah yang sama.

Apalagi ketika kita kembali ke tanah Nusa Tadon.  Tanah kita adalah tanah yang kaya. Alam kita adalah alam yang indah. Laut-laut kita menghasilkan ikan yang  berlimpah ruah. Pantai-pantai kita juga tidak kalah indah dengan keindahan pantai-pantai Karibia.

Baca Juga: Perang Historis Adonara : Kopong Medan dan Adonara yang Terus Berperang

Warisan  budaya serta adat istiadat   juga tidak kalah memperkaya identitas diri kita. Lebih dari itu tanah kita telah melahirkan putra-putri yang berkualitas. Mereka bahkan bersaing dalam segala segi kehidupan baik dalam skala local, nasional maupun internasional. Lantas mengapa perubahan kita masih stagnant?  Saya belum melihat suatu perubahan yang significan.

Infrastruktur kita yang masih sangat minim. Keindahan alam kita yang masih belum tertatah rapi. Produk-produk lokal kita masih berada di level pasaran lokal. Dan seringkali kita masih salah kapra dengan karakter ‘ATA DIKEN ADONARA’ yang keras. Saya terus bertanya tapi belum juga mendapat jawaban yang pasti.

Antara cerita Polandia dan Adonara

Pertanyaan demi pertanyaan mendesak saya untuk berbagi dengan rekan kerja. Kebetulan saya bekerja  dengan seorang misionaris Polandia. Kami selalu  bercerita dan bertukar pikiran tentang latar belakang  sosial budaya dan peradaban kami. Ada rasa senang dan bangga karena terlahir dari keunikan budaya tersendiri.

Temanku bercerita banyak tentang sejarah kelam negrinya. Dari hilangnya nama Polandia sebagai status sebuah negara selama 100-an lebih tahun.  Masa-masa sulit  yang menghimpit kehidupan kedua orang tuanya di saat perang dunia kedua. Etnic cleansing dari  rezim Nazi yang berimbas  ke Polandia. Kebebasan  yang tersandra oleh Rezim Komunist yang dialaminya sendiri. Dan masih  banyak cerita kelam yang membekas dihatinya.

Begitupun sebaliknya saya. Saya  selalu bercerita berapi -api. bahwa dulu negara kami dijajah oleh Belanda selama 3 ½ abad. Penderitaan, tekanan dan kemelaratan datang silih berganti. Bahkan Belanda membaptis negeri kami sebagai Hindia Timur Belanda.

Di sana, di bagian Timur terdapat sebuah pulau kecil. Tempat saya di lahirkan dan dibesarkan.  Pulau itu adalah Adonara.   Di pulau itu  kami terkenal dengan manusia berwatak keras tetapi berhati lembut. Kami masih memegang teguh nilai-nilai luhur tradisi dan kearifan lokal.

Baca Juga: Perang Historis Adonara (Bagian Pertama): Vatter dan Bias Pendekatan

Dan hidup kami selalu berdasarkan pada tiga tungku utama yakni : Adat, Pemerintah dan Agama. Ketiganya harus berjalan selaras. Alasannya  untuk menjaga keharmosnisan hidup secara individu maupun komunitas.  Ada hal yang tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata.

Mungkin bagi orang lain adalah sebuah keanehan diperadaban modern ini . Tetapi hal itu tidak bagi kami. Ia sudah menyatu dengan darah daging kami. Hal ini  membuat kami unik  dan merasa berbeda dari yang lain.

Dan saya selalu yakin ATA DIKEN ADONARA memiliki perasaan yang sama. Begitulah ekspresiku setiap kali  bercerita tentang Adonara. Teman saya selalu mengatakan,”ya.. kamu harus bangga karena itu siapa  dirimu. Kami tidak memilikinya.  Itu  identitasmu yang menjadikan dirimu unik dan berbeda dari orang lain”.

Lalu Sampai suatu ketika saya bercerita kepadanya. Pada tahun 1936 seorang misionaris Belanda bernama Ernest Vater. Ia memperkenalkan  tanah kelahiranku  lewat tulisaanya.  Sayangnya, Ia bukan menulis  keindahan atau kearifan lokanya.  Ia justru menulis tentang kekerasan dan kejahatannya.  Bahwa Adonara seperti bara dalam sekam.

Kapan saja orang akan membunuh secara sadis. Tulisan itu  diberi judul horror: “The Murder Island” Adonara Pulau pembunuh. Sepintas lalu teman saya merasa aneh . Ia lalu  berujar santai,”waktu itu sedang berlangsung perang dunia II. Sangat mungkin  tulisan  Vatter dipengaruhi oleh situasi saat itu.

Ia pasti membangun narasinya lewat konteks  kejahatan perang, dimana ada begitu banyak pembunuhan dan korban nyawa.  Vatter sebenarnya sedang berada dalam suatu sejarah  kelam. Itu berarti sudah tidak relevan lagi dengan  generasi sekarang.

Orang Indonesia tidak pernah lagi menyebut bangsa Belanda sebagai bangsa yang buruk. Atau ketika kita berburu fakta tentang Hitler dan kaumnya Natzi.  Mereka membunuh 6 juta kaum Yahudi. Sekarang dunia tidak pernah lagi mengatakan Jerman sebagai bangsa pembunuh.

Orang Jerman sekalipun  tidak pernah lagi menoleh kembali ke kejahatan masa lampaunya. Tapi entalah waktu itu Ernest Vatter sebagai orang Eropa mengambil kesimpulan secara sepihak, kata temanku. Bersambung….

April 2020. St Maarten, kepulauan Karibia. *Penulis Adalah Misisonaris yang berasal dari Adonara.

(Tulisan ini sebelumnya tayang di tokanilejadi.blogspot.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis./ Foto: tokanilejadi.blogspot.com.)

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of