Menjawab Tantangan Pertanian NTT dengan Sinergi

Ketahanan Pangan
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com– Penggunaan Herbisida; zat kimia untuk mematikan gula atau rumput penggangu tanaman sudah menjadi kebiasaan banyak petani di NTT. Hal ini bukan lagi rahasia umum, bahwa herbisida tidak ramah lingkungan. Juga berbagahaya bagi manusia.

Dalam tulisan kemarin, sudah saya kemukakan bahwa selama belum ada alternatif pengganti herbisida, yang sama efektifnya untuk untuk mematikan gulma atau rumput pengganti tanaman.

Petani lahan kering di NTT pun harus mencari cara terbaik. Tentu saja yang ramah lingkungan. Untuk membuat tanah pertanian NTT yang kering kerontang itu, sedikit lembab. Sebab kelembapan tanahlah kondidi utama proses kimiawi unsur hara terserap oleh tumbuhan.

Untuk menjaga kelembapa itu, apakah kita akan memanfaatkan air hujan, air dari mata air, atau mengambil air bawah tanah dari sumbur bor.

Ayo Baca Juga: Apa Saja Infrastruktur Vital Bidang Pertanian dalam Era Industri 4.0?

Ari, dari manapun sumbernya, kita juga harus memastikan sumber itu lestari. Mata air tetap terjaga hingga mengalir setiap saat tanpa penurunan debit. Atau memastikan air hujan tinggal lebih lama di tanah tidaj segera mengalir kelaut. Entah ditampung secara besar-besaran pada embung-embung, atau sekedar lewat lubang-lubang biopori.

Sumur-sumur bor kita harus menyediakan air sepanjang tahun. Tanpa meninggalkan rongga kosong di perut bumi. Rongga-rongga kosong ini jika tidak lagi disanggah air tanah akan mudah ambelas.

Kitapun harus memastikan ketersediaan benih-benih lokal, yang dalam setiap pengukuran, tidak kalah dari benih pasokan korporasi besar.

Lalu kemudian kita pun haru belajar dan memastikan kalau apapun yang kita tanam, pada lahan pertanian di NTT harus menghasilkan dengan baik. Dalam kualitas maupun kuantitasnya.

Setelah itu kitapun harus memastikan setiap apa yang kita panen mendapat perlakukan paska panen yang tepat. Untuk menjamin bahwa setiap produk pertanian kita dapat bertahan lebih lama sebelum sampai ke konsumen akhir.

Namun paska panen bukanlah mata rantai terakhir. Kita harus bisa memastikan agar bahan makanan  hasil pertanian telah melewati proses memberi nilai tambah.

Ayo Baca Juga: Menanam Hujan, Menuai Air

Mengolah berbagai bahan makanan dari sumber-sumber lokal, kemudian memastikan bahwa hasil olahan itu di terima selera pasar. Masuk dalam pasar yang sudah ada tentu bukan perkara mudah. Sama tidak mudahnya seperti menciptakan pasar atas komoditi pertanian kita.

Dan pada ujung mata rantai ini, kita harus bisa memastikan kalau hasil pertanian kita, apapun itu dapat kita ambil sebagian untuk pembibitan. Demi kemandirian pada musim tanam berikutnya.

Menjawab tantangan-tantangan ini tentu tidaklah mudah. Namun saya percaya bahwa “Yang terpikirkan berarti bisa dijangkau, bisa dilakukan. Bisa diwujudnyatakan.” Ini bukan soal gampang atau sukar. Ini semua soal mau atau tidak mau. Soal membangun niat.

Maka kita butuh rencana-rencana strategis untuk menjawab semua kebutuhan seperti yang saya uraikan diatas. Alternatif  solusi berikut ini bukan hanya dilakukan tahap demi tahap. Ini bisa dilakukan sekaligus. Secara parallel.

Saya selalu menyebut pendidikan sebagi pintu masuk. Kita memang harus mendorng diri untuk belajar lebih banyak hal. Jika hanya meminati satu bidang maka butuh kolaborasi. Butuh sinergi dengan disiplin ilmu yang lain.

Ayo Baca Juga: Kaum Muda dan Masa Depan Pertanian Nasional

Mempelajari tanah, tentang air, Iklim, tumbuhan. Menguasai teknologi pertanian, pupuk, paska panen, pembenihan, manajemen.  Semakin detail. Semakin spesifik, tentu semakin baik.

Jika lembaga-lembaga pendidikan di NTT tidak bisa membantu kita menjawab semua tantangan itu maka kita bisa mengirim orang-orang muda terbaik kita untuk mempelajari hal-hal tersebut di belahan bumi manapun.

Jika tidak, kita bisa memanfaatkan infrastruktur telekomunikasi untuk mengakses sebanyak mungkin pelatihan yang tersedia secara maya.

Membangun sinergi antar berbagai disiplin ilmu atau berbagai keahlian spesifik sekaligus adalah membangun komunitas. Tidak hanya mereka-mereka yang memiliki pengetahuan dan keahlian, membangun komunitas juga harus dimulai dari kalangan para petani.

Ayo Baca Juga: Menerjemahkan Wacana Gubernur NTT soal Calon Sarjana Peternakan Harus Punya 25 ekor Sapi

Saya menyebut komunitas sebagai Gemohing. Gemohing adalah modal social. Namun modal social ini bisa dikapitalisasi menjadi modal ekonomis.

Sama seperti internet of things mengintegrasikan semua system computer canggih, demikian juga dengan gemohing. Ia mengintegrasikan orang-orang, keahlian-keahlian, ide-ide menjadi sebuah gerakan bersama. Apapun tujuan dari gerakan bersama tersebut.

Pendidikan dan membangun komunitas harus dimulai bersamaan. Jika salah satu telah dilakukan, maka yang lainnya harus segera disusulkan. Namun diakhir garis finis, keduanya harus dipastikan menjadi pemenang bersama.

Integrasi keahlian dalam komunitas adalah upaya untuk mendorong kesejahteraan bersama, kepada lebih banyak orang, secara berkeadilan.  Hari ini tidak lagi zaman “one man show”. Semua orang berkolaborasi. Bersinergi.

Jika dua hal ini bisa kita lakukan, saya percaya bahwa wajah NTT pasti berubah lebih berseri.

Foto : cybex.pertanian.go.id

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of