Penutup Tulisan “Virus Tidak Dapat Diajak Berdialog”
Eposdigi.com – Beberapa hari lalu saya ke rumah sakit menyaksikan kepergian salah seorang teman. Ia mati dengan penyakit kista dan komplikasi lambung.
Karena sakitnya, setelah tiba di rumah sakit, dengan berbagai tata kelola yang buruk akibat kebijakan yang buruk, ia sakit dan meninggal dalam kesepian yang panjang setelah dipastikan mengidap covid-19 sesuai dengan prosedur pemeriksaan rumah sakit.
Keadaan itu membuat saya bertanya-tanya, mengapa orang-orang gampang sekali “dicovidkan” ketika ia sudah pasti akan kena covid apabila situasi tubuh tidak stabil, imun tubuh menurun dan alasan-alasan mengapa pertama kali ia sakit.
Dalam ilmu epigenetika, ketika neuron otak melemah, maka seluruh sistem kerja imun tubuh kita melemah. Ketakutan adalah virus kimiawi yang merusak neuron otak.
Baca Juga: Virus Tidak Dapat Diajak Berdialog
Artinya bahwa, ketika anda dan saya dihadapkan pada bunyi ambulans dan informasi tentang kematian yang disampaikan oleh media secara terus-menerus hingga menciptakan ketakutan tertentu.
Bahkan, bukan tidak mungkin Anda dan saya akan mati bukan karena virus melainkan karena informasi yang kita terima.
Itulah mengapa Jim Carrey, seorang komedia asal Amerika pernah menyarankan, “Saya bilang kita tutup media nasional selama 30 hari dan lihat bagaimana 80% masalah di dunia akan menghilang.”
Di masa PPKM serta kebijakan tata kelola hari ini telah menciptakan dilema tidak hanya manusia mati karena virus.
Kita dapat mati karena informasi yang buruk, pengetahuan yang terbatas tentang kesehatan, serta penanda-penanda lain yang dapat kita pastikan sebagai sumber masalah, atau paling buruk adalah mati karena kelaparan.
Respon akhir-akhir ini terlihat sangat mengerikan, ketika aparat gabungan kepolisian, tentara dan Sat Pol PP mulai membubarkan warung makan, melayangkan pukulan pada ibu hamil, pedagang serta meringkus tempat-tempat usaha mereka.
Baca Juga: Corona dan Ujian bagi Pendidikan Kita
Kontrol global melalui tubuh, melalui ekonomi, politik, dilema kesehatan dan model-model kebijakan oleh WHO, Bio Tech, Big Farma, tentakel media dan oligarki trans-nasional serta global.
Membuat bangsa ini bahkan kehilangan selera untuk mencari cara lain seperti yang pernah dilakukan oleh dokter Terawan atau mantan mentri kesehatan, Siti Fadilah.
Artinya, dalam situasi seperti inilah justru nasionalisme kita dipertaruhkan, dikelola dengan basis pengetahuan dan dipastikan dapat memberikan dampak serius bagi kehidupan masyarakat luas. Terlepas bahwa ada relasi internasional yang mesti dijaga.
Tak ada satupun para ahli di negara ini muncul dengan analisis bahwa ketahanan pangan atau sifat dasar air yang selalu ingin diubah dalam penelitian Water Has Memory, merupakan jalan lain kita melawan situasi pandemi yang menyerang tubuh manusia.
Percakapan tentang jaring pengaman dengan model control people ternyata hanya menghasilkan ratusan protes diam-diam.
Baca Juga: Apakah Pembatasan Sosial Berpengaruh Besar?
Dilema di tingkat masyarakat tidak menunjukan bahwa isu wabah ini adalah sejenis kelaparan massal yang kita saksikan tidak hanya di India, Bangladesh, Mozambig dan negara-negara lain di dunia.
Seluruh variabel penertiban, kelaparan, sampai pada kontrol global pada negara dan kontrol total negara pada warga negara, hadir di depan mata kita.
Sampai sejauh ini, apakah benar konsep tata kelola tentang informasi media, tata kelola rumah sakit dan dilema ekonomi serta kesehatan telah menjawab kerentanan 60% warga negara?
Atau kita akan terus-menerus utang guna melanjutkan proyek infratruktur yang mangkrak atau rencana pembangunan ibukota baru?
Herd Imunity, Pangan dan Air
Melihat berbagai dilema tata kelola yang selama ini kita hadapi, bagai buah simalakama antara mati karena virus, mati karena kelaparan, atau mati karena informasi tentang kematian itu sendiri.
Baca Juga: Ketahanan Pangan dan Mitigasi Bencana
Melihat situasi ini, maka tiga strategi ini dapat diajukan sebagai jalan lain untuk menjawab model tata kelola lama yang ternyata jauh dari kata menyelamatkan warga negara dari wabah ini.
Pertama, Herd Imunity
Dalam ilmu epidemologi dunia, sekurang-kurangnya ada dua strategi kunci dalam mengatasi wabah semacam ini. Pertama dengan mengunci wilayah tertentu, membatasi perjumpaan dan menciptakan jaga jarak tertentu, atau yang kedua dengan menerapkan Herd Imunity.
Pilihan pertama itulah yang selama ini kita lakukan guna mengatasi pandemi di Indonesia.
Padahal jika ingin berkaca, justru pilihan kedua dengan menerapkan Herd Imunity, aktivitas dapat berjalan sebagaimana biasa, sekelompok dokter disiapkan di berbagai wilayah di Indonesia dengan strategi siaga tanggap laporan.
Kemudian setiap orang yang merasa terpapar virus, dapat langsung ditangani dengan berbagai mekanisme yang lengkap, pemeriksaan menyeluruh dan dengan strategi tata kelola satu pintu.
Baca juga: Ekonomi Neoliberal Dan Lumpuhnya “System Saraf” Ketahanan Dan Kedaulatan Pangan
Strategi gugus tugas yang memakan anggaran terlalu banyak sejauh ini tidak efektif mengatasi pandemi sesuai pilihan pemerintah pusat yang selama ini diterapkan.
Konsep tata kelola wilayah seluas Indonesia seperti sekarang memang tidak bisa dilakukan dengan model pertama, karena akan sangat rentan dengan korupsi, apalagi kita mengetahui fakta bahwa dana bantuan sosial yang jumlahnya ratusan miliyar itu telah dikorup oleh pejabat negara.
Itu artinya, penerapan Herd Imunity, menjadikan anak muda sebagai benteng pertahanan, adalah solusi paling cepat yang bisa kita terapkan.
Strategi ini tidak hanya mengatasi virus. Ia juga bisa mengatasi dilema ekonomi, dilema sosial dan dilema kebangsaan yang lain.
Kedua, Ketahanan Pangan
Pada bagian ini, strategi ketahanan pangan selama ini sudah sering dibicarakan namun selalu mendapati hambatannya. Proyek infrastruktur yang sudah berlangsung kurang lebih tujuh tahun belakangan nyaris tidak pernah menyentuh konsep ketahanan pangan dalam negeri.
Baca Juga: Pangan Lokal menjadi ‘New Normal’ di tengah Pandemi
Padahal, jika diuraikan lebih jauh, dalam situasi inilah ketahanan pangan dibutuhkan.
Berkaca dari virus yang menyerang imun tubuh manusia, maka makanan bergizi diperlukan untuk model ketahanan tubuh. Asupan informasi pun tidak layak lagi kita konsumsi mengenai data statistik kematian, atau tentang berapa jumlah manusia yang terpapar.
Pengarahan media nasional dalam memberikan informasi terkait dengan pangan apa yang perlu dikonsumsi menjadi penting.
Selain itu, ketahanan nasional dari virus dengan jumlah utang yang membengkak belakangan ini sebaiknya dialihkan untuk upaya ketahanan pangan.
Sudah hampir dapat dipastikan, dengan strategi ketahanan pangan, perbaikan imun tubuh dan pola konsumsi yang baik, dapat memberikan angka harapan hidup bagi warga negara.
Baca Juga: Krisis Pangan Mengintai di balik Punggung Corona
Sehingga kesannya, kematian karena Covid-19 tidak diberikan harga 75-100 juta begitu saja, dan setelah itu, kita tidak tahu bagaimana selanjutnya pendanaan itu dikelola untuk masyarakat.
Ketiga, Air.
Sebuah penelitian tentang air dengan tajuk Water Has Memory dapat memungkinkan kita mengenal bahwa sifat dasar air adalah siap untuk diubah.
Dengan basis yang sama, kita memahami bahwa, ketika orang sakit, kita selalu menyarankan mereka mengkonsumsi air yang cukup untuk kebutuhan tubuh.
Dalam penelitian ilmu epigenetika dan biologi molekular, tubuh manusia tak lain hanyalah sebuah viber raksasa yang terdiri dari air.
Itulah mengapa ketika kekurangan air, Anda dan saya sering mengalami sakit kepala dan kekurangan semangat dalam menghadapi segala situasi.
Baca Juga: COVID-19 dan Jalan Menuju Kedaulatan Pangan di Desa
Konsumsi air bisa menjadi salah satu strategi yang bahkan tidak membutuhkan dana besar. Kita dapat menemukan air di mana saja. Selama air bisa diberikan dimensi kekuatan pada bahasa, maka air akan ikut mengubah dirinya sendiri sesuai dengan apa yang diinginkan oleh peminumnya.
Tiga stategi kunci ini tentu bukan untuk menghabiskan anggaran nasional agar menghasilkan tata kelola yang buruk seperti sekarang.
Tiga strategi kunci ini tentu dimaksudkan untuk melihat bahwa apakah kita akan terus-menerus membiarkan masyarakat kita mati kelaparan, atau kita akan berhenti menghasilkan kebijakan yang buruk dan beralih pada kebijakan yang memberikan harapan bagi masa depan anak bangsa.
Dengan cara lain pula kita kemudian berhenti bernegosiasi dengan oligarki trans-nasional dan global soal virus ini, serta berhenti bernegosiasi dengan virus sebab virus tidak dapat diajak berdialog.
Foto : kompas.com
Leave a Reply