Eposdigi.com – Hegemoni orang kaya pada saat Santo Ambrosius menjadi Uskup Milan tahun 374 masih terjadi saat ini. Dalam sebuah homilinya mantan Gubernur Romawi atas wilayah Liguria dan Emilia mengeritik keras orang-orang kaya Milan waktu itu. Keserakahan dalam bisnis menciptakan eksploitasi. Dimana ada eksploitasi disitu ada ketidakadilan.
Orang-orang kaya mengambil alih kepemilikian tanah dan menjadikan pemilik tanah buru upahan. Kemiskinan dianggap masyarakat Milan abad ke 3 itu sebagai kutukan abadi. Sehebat apapun masyarakat yang sebelumnya miskin, berusaha dan memperoleh kekayaan ia tetap tidak diterima menjadi bagian dari orang kaya. Kemiskinan adalah kutukan abadi dari Tuhan menurut mereka.
Hari ini, 2000 tahun kemudian hegemoni orang kaya terhadap petani masih saja terjadi. Mengaku diri sebagai Negara Agraris, namun nasip petani di negeri ini tidak lebih baik dari pada para petani Milan saat Santo Ambrosius hidup.
Di Flores Timur misalnya. Atas nama investasi, sebuah perusahaan menyewa lahan 30 tahun lamanya. Dan pemilik lahan bangga menjadi buruh sewaan diatas lahannya sendiri.
Medium.com, pada 28 November 2018, menulis permasalahan yang sering dihadapi petani. Dengan latar Desa Sukawangi Kabupaten Bogor, medium.com menguraikan bagaimana hegemoni pemilik modal mengeksploitasi habis-habisan para petani. “Petani hanya memiliki tiga pilihan. Menanam di lahan yang kurang daro 0,5 hektar. Menyewa lahan dengan modal dari tengkulak dengan bunga besar atau hasil panen diijon dengan harga alakadarnya. Dan atau bertani dilahan kosong milik orang lain dengan resiko digusur sewaktu-waktu ketika pemiliknya datang,” tulis medium.com.
Petani desa itu tidak memiliki lahan yang luas. Tanah mereka sudah dikapling orang Jakarta dan dibiarkan menjadi lahan tidur.
Ada banyak kasus konflik petani dengan korporasi. Diantaranya kasus petani plasma sawit dengan perusahaan di Tulang Bawang. Kasus lahan petani Telukjambe Karawang. Atau Kasus penolakan petani akan industrialisasi di Kecamatan Wongsorejo – Banyuwangi. Begitu juga dengan kasus penyerobotan sawah oleh perusahaan sawit di Kecamatan Mowila, Kabupaten Konawe Selatan.
Tidak hanya hegemoni atas lahan. Pun terjadi atas bibit. Rri.co.id pada 27 July 2019 lalu merilis berita kasus yang menimpa Tgk. Munirwan, seorang kepala desa di Kecamatan Nisam, Aceh Utara yang menjadi pesakitan karena dituduh memproduksi dan mengedarkan serta memperdagangkan benih padi jenis IF8 karena belum di serifikasi. Padahal benih padi IF8 yang dikembangkannya adalah bantuan pemerintah pada tahun 2017. Pada saat yang sama untuk sertivikasi benih hasil pemuliaan petani membutuhkan waktu yang lama dengan mengorbankan biaya yang tidak sedikit.
Kabar lain seperti yang dilansir repoblika.co.id tanggal 26 Juli 2019 soal UPOV. Konvensi ini membuat petani harus tergantung puluhan tahun kepada pemasok benih. Mereka harus membeli setiap musim tanam. Bahkan petani pun dilarang menyimpan, melakukan pertukaran, penjualan serta penggunaan ulang benih yang telah diprivatisasi. Ada denda dan kriminalisasi bagi petani yang melakukannya.
Selain hegemoni pemilik modal terhadap lahan dan benih, hal lainnya yang juga mengganggu adalah impor hasi pertanian. Dengan harga lebh murah produk pertanian impor pasti lebih laku dipasaran. Persaingan seperti ini membuat para petani local harus menurunkan harga. Penurunan harga mengakibatkan marjin keuntungan mereka menjadi lebih kecil. Bahkan merugi.
Merayakan Hari Tani Nasional setiap tanggal 24 September harus menjadi momentum mengembalikan kedaulatan petani atas lahan dan benih. (Foto : Tempo.co)
[…] Baca Juga: Hari Tani Nasional; Apakah Petani berdaulat atas lahan dan benih? […]
[…] Baca Juga: Hari Tani Nasional; Apakah Petani berdaulat atas lahan dan benih? […]
[…] Ayo Baca: Hari Tani Nasional; Apakah Petani berdaulat atas lahan dan benih? […]
[…] Baca Juga: Hari Tani Nasional; Apakah Petani berdaulat atas lahan dan benih? […]
[…] Baca Juga: Hari Tani Nasional; Apakah Petani berdaulat atas lahan dan benih? […]