Menakar Upaya READSI Daulatkan Petani NTT

Ketahanan Pangan
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Pertanian selalu menjadi isu yang menarik bagi bagi saya, dalam kaitan dengan kesejahteraan di NTT. Ketertarikan itu dilatari oleh beberapa alasan. Pertama; kenyataan bahwa NTT masih menjadi tiga besar rovinsi termiskin di Indonesia.

Alasan kedua: Sektor pertanian adalah pekerjaan mayoritas masyarakat NTT. Ada yang menyebut bahwa 95,3 % masyarakat NTT bekerja di sector pertanian (ntthits.com/03.01.2023).

Alasan ketiga; Tidak hanya kemiskinan, angka prevalensi stunting dan kekurusan di NTT juga menjadi yang terbesar di Indonesia. Data dari databoks.katadata.co.id seperti yang disajikan dalam laman djkn.kemenkeu.go.id (30.06.2023) menyebutkan bahwa prevalensi stunting di NTT adalah 35,3 %. Terdekat setelah itu adalah Provinsi Papua dengan angka prevalensi stunting sebesar 34,6 %.

Alasan berikutnya : dari NTT, Indonesia akhirnya mengenal dua komoditi sumber nutrisi terbaik, kelor dan sorgum. Keduanya, oleh banyak ahli gizi, disebut sebagai sumber pakan super bagi semua makhluk hidup.

Dalam tulisan sebelumnya yang linknya kami sertakan dalam tulisan ini, fakta mengejutkan lainnya adalah, kita di NTT adalah penghasil ikan, sapi dan babi pada peringkat atas di Indonesia.

Baca Juga:

Gizi Buruk di NTT itu Ibarat “Tikus Mati di Lumbung Padi”

Maka pertanyaan besarnya adalah Apa yang salah dengan kita di NTT sehingga tidak bisa keluar dari rekor-rekor buruk tersebut; tingkat kemiskinan serta prevalensi stunting dan kekurusan?

Saya mengenal, lebih tepat mencoba mengenal READSI justru pada saat tulisan ini dibuat. Awalnya saya tertarik untuk menelusuri siapa itu READSI ketika membaca sebuah berita dengan judul “READSI Jadi Upaya Meningkatkan Kualitas Petani di NTT” di pos-kupang (04.10.2023).

Setelah membaca berita tersebut saya kemudian menelusuri lebih jauh tentang READSI. Terlepas apapun latar belakang dan jangkauannya, saya tetap saja selalu menaruh harapan besar terhadap apapun bentuk niat baik bagi masyarakat NTT.

Termasuk niat baik yang sedang dilakukan oleh Kementerian Pertanian tepatnya Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) dengan menggunakan dana pinjaman dan hibah dari International Fund for Agricultural Development (IFAD) ini.

Sebelum menjadi READSI, program bantuan ini dikemas dalam nama Rural Empowerment and Agricultural Development (READ) yang kemudian dikembangkan menjadi READ Scaling up Initiative (READSI).

Baca Juga:

Tantangan Kedaulatan Pangan di Tangan Ganjar Pranowo

Membaca salah satu dokumen tentang program ini, saya menemukan banyak harapan baik yang dapat disemai oleh Kementerian Pertanian demi peningkatan kualitas hidup para petani sasaran program ini, termasuk dua kabupaten di NTT yaitu Kabupaten Belu dan Kabupaten Kupang.

Kata kunci dari tujuan program ini yang menurut saya menarik adalah “upaya berkelanjutan” untuk memberdayakan baik individu maupun kelompok untuk meningkatkan pendapatan. Sumber pendapatan ini adalah baik pertanian maupun nonpertanian.

Komponen dari program ini pun tak kalah menarik. Ada empat komponen dari proyek ini, namun ada dua yang menarik untuk dibahas.

Komponen Pertama : Pengembangan Pertanian dan Mata Pencaharian di Pedesaan. Komponen pertama memiliki 4 sub komponen : pengorganisasian masyarakat, pengembangan pertanian dan mata pencaharian, simpan pinjam dan pengelolaan keuangan serta promosi perbaikan gizi keluarga.

Komponen Kedua: pelayanan, Penyediaan Sarana Produksi (saprodi) dan Pasar dengan sub komponen layanan penyuluhan pertanian, layanan jasa keuangan, sistem pasar dan sistem pasokan benih.

Baca Juga:

Kedaulatan Pangan: Mimpi yang Tertunda atau Mimpi yang Tak Realistis?

Dua sub komponen lainnya adalah khusus dan spesifik yaitu layanan dan pasar untuk kakao di Sulawesi serta sub komponen berikutnya yaitu untuk petani di NTT berupa layanan kesehatan hewan dan pasar ternak.

Sub komponen pengorganisasian masyarakat pada komponen pertama sudah sangat jamak dan sering kita jumpai di tengah masyarakat NTT setiap kali ada proyek. “Bentuk kelompok untuk menerima dana Proyek, setelah uang diterima program tidak jalan kemudian kelompok bubar.”

Ini adalah rahasia umum. Bahwa membentuk kelompok atas nama pemberdayaan masyarakat dalam banyak kejadian hanya untuk menerima sejumlah besar uang, bukan pada apa yang mau dilakukan bersama-sama di dalam kelompok tersebut.

Karena itu setelah tujuan penerimaan dana ini selesai, orang menjadi tidak tertarik lagi pada apa yang mau dilakukan oleh kelompok tersebut. Apalagi kebanyakan dana yang disalurkan, habis untuk kegiatan konsumtif bukan produktif.

Barangkali kita boleh menelusuri seberapa banyak kelompok yang diinisiasi, atau inisiatifnya datang dari pemerintah, yang sampai hari ini masih bertahan dan eksis secara komersial, di seluruh Indonesia. Dalam skala NTT semoga saya  bisa mendapatkan banyak nama kelompok yang  bertahan hingga saat ini.

Baca Juga:

Tantangan Kedaulatan Energi, Belajar dari Krisis Rusia – Ukraina

Sementara sub komponen perbaikan gizi keluarga harus menjadi salah satu prioritas. “Makan Apa yang Kita Tanam, Tanam Apa yng Kita Makan” bisa dan saya yakin sangat bisa menjadi pintu masuk bagi pengentasan tingginya angka prevalensi stunting di NTT.

Pendampingan untuk mengolah berbagai sumber pangan lokal secara baik dan benar untuk tetap mempertahankan dan bila perlu meningkatkan nilai nutrisi dan gizinya menjadi kebutuhan mendesak dan tidak bisa lagi ditunda.

Jangan sampai kita adalah “tikus yang mati di lumbung padi.” Kita di NTT memiliki begitu besar potensi pertanian yang cocok dengan lingkungan kita yang panas kering kerontang, yaitu kelor dan sorgum,  yang memiliki nilai nutrisi dan gizi yang mengalahkan sumber pangan lain.

Saya agak sensitif ketika berbicara mengenai benih. Lahan kering di NTT jika tidak segera dicarikan jalan keluar maka keanekaragaman dan kehayatian berbagai tanaman pangan local akan punah.

Tanpa kedaulatan terhadap benih, maka kedaulatan petani tidak akan terwujud. Jangan sampai READSI malah menjadi agen penyalur benih korporasi besar, sekaligus vendor bagi pengusaha pakan ternak.

Baca Juga:

NONA SARI Mau Bilang Apa Untuk Masyarakat Flores Timur?

Yang dibutuhkan petani di NTT untuk mempertahankan keanekaragaman sumber pangan adalah pemuliaan benih lokal. Pemuliaan ini bertujuan agar para petani menjadi berdaulat atas benih yang akan mereka tanam.

Pada saat yang sama ‘pasar’ yang akan didorong melalui READSI adalah pasar untuk pemenuhan kebutuhan lokal. Prinsip pasar komoditas pertanian di NTT seharusnya adalah “makan apa yang kita tanam.”

Kemudian sub komponen mengenai saprodi pertanian harus diupayakan sebagai pintu masuk bagi mereka yang berkecimpung di bidang rekayasa teknologi tepat guna bidang pertanian untuk menjadi satu kesatuan supply chain yang terintegrasi dengan pertanian.

Sekolah-sekolah menengah teknik, perguruan tinggi dan politeknik menjadi bagian terintegrasi dengan sektor pertanian untuk mencari solusi peralatan yang paling ramah terhadap lingkungan pertanian namun efektif digunakan oleh petani.

Kita semua tentu berharap bahwa proyek seperti READSI tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama dari proyek-proyek pemberdayaan masyarakat sebelum-sebelumnya. Jangan sampai READSI hanya menjadi corong untuk menyalurkan dana, melainkan benar-benar dapat mewujudkan mimpi NTT untuk bangkit menjadi sejahtera melalui pertanian.

Foto : tangkapan layar dari postingan facebook ama Kamilus Tupen Jumat

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of