Eposdigi.com – pangan menjadi salah satu isu serius yang dibahas pada Kongres PDIP baru baru ini. Tentang kedaulatan pangan, beberapa kebijakan utama ini yang menjadi poin penting yang diperjuangkan.
Yaitu pemanfaatan keanekaragaman hayati, peningkatan budidaya pertanian, dan konsistensi pelaksanaan perlindungan lahan-lahan pertanian produktif.
Turunannya adalah penelitian dan pengembangan bibit dan benih, peningkatan teknologi, serta pemberlakuan bea masuk pangan impor.
Isu utama kedaulatan pangan hasil kongres ini, tentu menjadi rekomendasi dan tuntutan untuk diperjuangkan dan diwujudkan oleh Ganjar Pranowo, Kandidat Presiden dari PDI Perjuangan, jika nanti dipercaya bangsa untuk mengurus Negara.
Baca juga: Kedaulatan Pangan: Mimpi Yang Tertunda Atau Mimpi Yang Tak Realistis?
Rasa penasaran saya akan isu kedaulatan inilah yang kemudian mendorong saya untuk sekedar merenung, jika dalam posisi sebagai eksekutor kebijakan baik ini, kira-kira tantangan seperti apa yang menjadi halang rintang tercapainya kedaulatan pangan.
Pertama: Tidak ada kedaulatan Pangan tanpa Kedaulatan Petani.
Saya berpikir bahwa kedaulatan pangan yang terpikirkan penyelenggara Negara adalah soal stok aman nasional. Karena cakupannya adalah nasional maka dalam segi kuantitas harus maha besar.
Volume yang besar ini kemudian diturunkan pada seberapa luas lahan yang dibutuhkan untuk mencapai titik stok aman nasional ini. Luas lahan ini kemudian melahirkan proyek-proyek ambisius food estate (lumbung pangan).
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan petani-petani ‘marhaen’ yang mengandalkan sepetak sawah yang bahkan tidak cukup menyediakan pangan bagi sebuah keluarga sampai musim panen berikutnya?
Baca juga: Ketahanan Pangan Dan Mitigasi Bencana
Bagaimana kehadiran Negara ‘ala PDIP’ yang ingin mewujudkan kedaulatan pangan itu pada mereka-mereka yang seperti ini?
Mereka berhadapan dengan benih, dengan pupuk, dengan irigasi, dengan musim panas panjang, dan rupa lain hal yang semuanya jauh di luar apa yang bias mereka tangani.
Benih harus bersertifikat : ini milik perusahaan besar penyedia benih. Pupuk subsidi yang kadang jauh dari jangkauan mereka. Apalagi jika sudah menyangkut kemarau panjang?
Belum lagi ketika mereka ingin menjual sedikit dari hasil panen mereka yang tidak seberapa itu, lagi-lagi mereka kalah oleh pangan impor yang harganya di luar imajinasi mereka. Harga pangan impor yang terlalu rendah membuat hasil panen mereka tidak laku. Jikapun laku, harganya bahkan tidak menutupi biaya produksi mereka yang tinggi.
Karena benih dan pupuk yang kadang tidak ramah dengan kantung mereka maka sekali lagi mereka tidak menjadi bagian dari yang mengendalikan dua hal dasar ini. Atas benih pun banyak petani kita tidak memiliki cukup kedaulatan.
Baca juga: Apa Saja Infrastruktur Vital Bidang Pertanian dalam Era Industri 4.0?
Kedua : Lahan Pertanian Produktif vs Kebutuhan lahan untuk Industri dan Pemukiman.
Masih banyak cerita jika kehadiran industri tertentu baik langsung maupun tidak langsung bergesekan dengan kepentingan petani atas lahan. Industri yang merusak ketersediaan air bagi lahan pertanian, bahkan industri atau pemukiman baru yang berdiri diatas lahan-lahan pertanian produktif.
Untuk yang terakhir, siapa yang salah? Jika hasil sawah tidak cukup untuk bertahan hidup satu keluarga, bukankah baik jika dijual saja? Apalagi jika dalam proses jual beli ini ada intrik dan intimidasi dari ‘penguasa’ baik formal maupun penguasa informal yang mempengaruhi keputusan mereka.
Akibatnya lahan pertanian menyusut sementara kebutuhan akan pangan meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Bisakah pemerintah menahan godaan pertumbuhan ekonomi demi stabilitas pangan?
Ketiga: Perubahan Iklim.
Kini petani-petani kita sudah cukup akrab dengan iklim yang ‘ganjil’. Dulu kita mengenal hanya dua musim. Musim Hujan dan Musim Kemarau.
Baca juga: Membangun Kedaulatan Pangan: Tak Ada Kedaulatan Pangan Tanpa Kedaulatan Petani
Sekarang tidak lagi. Ada Musim Hujan, Ada Musim Hujan yang Terlalu Basah (Musim Hujan dengan Curah Hujan terlalu Tinggi), Ada Musim Hujan yang Kering ( Musim Hujan namun curah hujan terlalu sedikit), ada Musim Kemarau, Musim Kemarau Basah ( Musim Kemarau dengan intensitas hujan tinggi), dan Musim Kemarau Panjang. Ada enam musim sekarang.
Keenam musim ini tentu berada di luar imajinasi para petani. Pilihan kata “imajinasi’ ini hanya untuk menggambarkan bahwa perubahan musim yang luar biasa dan yang global mendunia ini jauh berada di jangkauan kendali para petani. Karena itu dibutuhkan sikap dan cara respon yang tepat untuk keluar dari persoalan seperti ini.
Keempat: Teknologi lokal namun tepat guna.
Kebutuhan akan pangan yang meningkat sementara ketersediaan lahan pertanian yang semakin menyusut memerlukan respon dengan cara-cara baru, menghadirkan teknologi-teknologi yang paling tepat guna tanpa mengabaikan kearifan local.
Mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga panen dan pasca panen, memerlukan sentuhan teknologi paling tepat guna untuk menjaga ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup saat dibutuhkan.
Baca juga: Kaum Muda dan Masa Depan Pertanian Nasional
Kenapa harus teknologi local? Sebab mendorong peningkatan kualitas bertani, untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil panen memerlukan sinergi dengan bidang industri diluar pertanian.
Sinergi ini bias menjadi pintu masuk mendorong industri-industri kecil menengah di dalam negeri untuk ikut tumbuh bersama.
Karena itu kita membutuhkan juga institusi pendidikan baik menengah maupun tinggi agar serius meneliti dan mengembangkan teknologi tepat guna bidang pertanian dengan sebesar mungkin melepaskan ketergantungan dari sumber daya luar.
Hal ini semata-mata agar semua mata rantai industri pertanian dan industri lain yang terlibat di dalamnya, dari hulu hingga hilir berada dalam kendali kemandirian lokal.
Mendorong kedaulatan pangan berarti mendorong juga kedaulatan semua industri yang berkaitan dengan pangan dan pertanian.
Baca juga: Politik dan Peradaban
Tatanan global hari ini ditentukan oleh pangan dan energy. Jika kita berdaulat di bidang pangan, minimal kita telah ‘menguasai’ minimal 50 % tatanan global, dengan demikian cita-cita luhur pendiri negeri ini dapat terwujud.
Bahwa kita terpanggil untuk “mewujudkan ketertiban dunia” dimulai dengan dan dari “berdaulat di bidang pangan.”
Foto dari: tiktak.id
Leave a Reply