Kedaulatan Pangan: Mimpi yang Tertunda atau Mimpi yang Tak Realistis?

Ketahanan Pangan
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Menanam kita sudah. Kita berhasil. Pascapanen pun sudah. Kita lumayan berhasil menemukan jalan menuju penggunaan teknologi budidaya dan pascapanen.

Dukungan kebijakan, teknologi sudah menunjukkan titik terang walau masih terbatas. Persoalan kita adalah: motivasi dasar (ikut) menanam sorgum.

Sejak awal disadari bahwa ada perbedaan ekspektasi antara motivator (dan para pendukung) di satu sisi, dan masyarakat petani sorgum di sisi lain.

Proses dialektis antara wacana ketahanan/kedaulatan pangan dan wacana agrobisnis sudah berjalan, sayang belum menemukan sintesis gagasan yang teruji, serta niat dan motivasi untuk bertindak secara rasional dan etis.

Gap semakin lebar antara idealisme ketahanan/kedaulatan pangan di satu sisi dan kehendak untuk produksi hasil pertanian sebanyak mungkin dan menjual hasil pertanian tersebut untuk mendapat fresh money demi memenuhi berbagai kebutuhan nyata rumah tangga petani sehari-hari di sisi lain.

Baca Juga:

Membangun Kedaulatan Pangan: Tak Ada Kedaulatan Pangan Tanpa Kedaulatan Petani

Apa yang salah?

Tak ada pihak yang harus disalahkan. Kita tidak sedang berjalan di atas jalan wacana teoritis tentang strategi jitu membangun sistem ketahanan dan kedaulatan pangan pada masyarakat yang ternyata lebih berorientasi pada menanam komoditi pertanian tanaman pangan sorgum sebanyak mungkin untuk dijual agar mereka punya uang untuk beli beras dan kebutuhan lain di warung.

Perlu kita buka diskusi tentang penataan (kembali) sistem pertanian dan pemasaran sebagai satu kesatuan pembahasan secara holistik, utuh, tidak parsial.

Petani berhenti menanam karena persoalan harga produk pertanian mereka under valued. Dan masalah harga dalam sistem pasar komoditi, sejak zaman VOC, ditentukan oleh pasar, bukan oleh petani.

Menyuruh petani kembali menanam tanpa pembenahan mata rantai produksi dan pasar sebagai persoalan hulu-hilir dan kepastian harga tak akan menghasilkan perubahan sikap petani. Situasi itu menjadi lebih buruk jika para petani terlanjur demotivated dan frustasi.

Belum ada obat mujarab untuk menyembuhkan kekecewaan dan mengembalikan kepercayaan yang hilang.

Investasi perhatian, tenaga, dana dan teknologi sudah banyak. Kita sudah terlanjur berjalan jauh dengan semua modal positif itu.

Baca Juga:

Ketahanan Pangan dan Mitigasi Bencana

Jika hari ini ada kelompok petani berhenti menanam dan tak mau tau dengan semua investasi dan proses susah payah dalam membangun sistem ketahanan dan kedaulatan pangan selama ini … …. Itu namanya tragedi.

Yogyakarta, 17 Mei 2023. 

Catatan Redaksi:

Apa yang disampaikan Ama Robert B Baowollo dalam tulisannya jelas adalah sebuah kegelisahan yang dalam. “Tidak ada pihak yang harus disalahkan”. Namun kalimat selanjutnya jelas tidak boleh dianggap sebagai sebuah kalimat pelengkap saja.

Justru menurut kami, inilah salah satu persoalan utama yang membutuhkan investasi berupa waktu, perhatian, strategi yang sangat serius.

“ternyata lebih berorientasi pada menanam komoditi pertanian tanaman pangan sorgum sebanyak mungkin untuk dijual agar mereka punya uang untuk beli beras dan kebutuhan lain di warung” 

Kalimat di atas ini adalah kebenaran pahit yang harus kita telan hari ini.. Oleh karena itu sebaiknya kita: 

Pertama : Kita membutuhkan energy yang besar untuk merubah pola pikir masyarakat bahwa sorgum adalah pilihan untuk konsumsi. Bukan alternatif untuk dijual untuk mendapatkan “fresh money”.

Baca Juga:

Sorgum : Alternatif Pangan Aman bagi Penderita Diabetes

Apalagi ‘fresh money’ ini justru kemudian dipakai untuk membeli beras. Dan tentunya, perkara merubah pola pikir masyarakat ini bukan sesuatu yang mudah.

Para penggiat sorgum telah meluangkan banyak energy untuk mendampingi kelompok-kelompok kecil petani. Sayangnya petani-petani yang didampingi ini seolah telah kehilangan energy untuk memberi dampak yang lebih besar kepada orang lain. Karena itu..

Kedua: kita butuh dukungan dan kekuatan yang lebih besar. Bahwa harus ada intervensi kultural dan struktural yang kuat agar gerakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil petani menjadi gerakan bersama seluruh masyarakat.

Sasarannya adalah bahwa gerakan besar ini dapat membawa masyarakat memilih sorgum sebagai bahan pangan pokok. Bukan lagi beras. Karena itu..

Ketiga : kita butuh dukungan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk merubah masyarakat banyak. Mereka yang secara ilmu pengetahuan didengar, dan secara kultural maupun struktural dipandang sebagai pemberi pengaruh.

Para Guru, tenaga kesehatan, ASN, pejabat pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, politisi, harus menjadi bagian dari gerakan besar merubah pola pikir bahwa kandungan nutrisi dan gizi sorgum lebih baik dari beras. Kemudian karena alasan inilah maka masyarakat dapat merubah pola konsumsinya dari beras menjadi sorgum.

Baca Juga:

Stunting, ‘SoLor’, dan “Syuting” di Flores Timur, Dari SoLor – Menggempur Stunting menuju Kedaulatan Pangan. (Bagian kedua dari dua tulisan)

Apakah ini mudah dilakukan? Jelas tidak. Apakah bisa dilakukan? Kami dengan sangat optimis menjawab bisa.

Asal mulai dari Anda dan saya, mulai saat ini, menjadi bagian dari gerakan besar itu, tanam apa yang kita makan, makan apa yang kita tanam. Sorgum lebih baik dari beras karena itu Ayo Makan Sorgum.

Foto Sorgum di Kawalelo – Flotim – NTT / Kornelis Kewa Ama – Kompas.id

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of