Eposdigi.com – Menjauhnya cita-cita kedaulatan pangan dari pandangan kita juga dipicu, antara lain, oleh gencarnya konversi lahan pertanian tanaman pangan menjadi lahan “perkebunan” tanaman perdagangan – walau masih jauh dari konsep ideal sebuah perkebunan.
Dengan tanam dan panen jambu mete, misalnya, petani tidak lagi harus rutin mencangkul dan membersihkan rumput dari pagi hingga petang di sepanjang musim tanam hingga panen.
Baca Juga: Ada Peran Perempuan Dibalik Gagalnya Galian Tambang
Mereka bisa mengantongi cash money, baik dengan menjual kepada tengkulak yang berburu hingga ke kebun atau kepada pedagang perantara lokal. Setelah mengantongi uang hasil jual mete, mereka bisa bermalas-malas sambil menunggu musim panen tahun berikutnya.
Kegiatan produktif apa yang dilakukan di antara dua musim panen terutama dalam konteks membangun dan merawat ketahanan dan kedaulatan pangan?
Di sini kita perlu berbicara tentang pendidikan dan manajemen waktu – suatu hal yang mungkin aneh di telinga petani yang terbiasa menentukan sendiri apa yang ia mau lakukan.
Baca Juga: Besipae dan Imajinasi tentang NTT
Efek tak terpikirkan dan tidak terantisipasi dari konversi fungsi lahan pertanian dan perubahan pola/ritme kerja petani ini amat dasyat dan tidak disadari:
Pertama: Terjadinya streaming-up economy: uang hasil panen jambu mete yang juga tidak banyak itu mengalir rutin dan deras ke atas: ke kios bahan pangan, rokok dan pulsa, ke pemilik pompa bensin dan dealer sepeda motor, ke kebutuhan life style – semuanya untuk mensubsidi pemilik modal besar yang sudah kaya raya di atas sana – di Jakarta, Singapura, Tiongkok, Jepang dan Amerika.
Kedua: Etos kerja dan cinta pertanian, semangat gotong royong mulai menurun, individualisme dan materialism meningkat.
Ketiga: banyak kekayaan budaya kita sebagai high culture yang lahir dari budaya pertanian tanaman pangan hilang dan terlupakan secara perlahan.
Ritual ‘leteng ekang’, ‘bau lolong’, ‘pau ole’ dll yang berkaitan dengan titual pembukaan kebun, menanam, panen dan pasca-panen perlahan mulai kehilangan alasan untuk hidup kembali.
Baca Juga: Petani Kita dan Kerentanan Pola Pertanian Tanaman Pangan
Karena tidak mungkin petani kita menyanyikan lagu gemohing ketika menggempur sebidang tanah yang sedang dicangkul ramai-ramai dengan lagu penyemangat “teti hau, lali haka, bue mala bukuto” sambil ayun dan tancapkan cangkul di atas lantai gudang beras bulog atau kios beras. “Ya ya ya” kata sahabat saya, “masih bisa tapi di atas panggung pentas seni atau sandiwara rakyat.”
Keempat: Karena kita tidak lagi menanam tanaman pangan sebagai prioritas untuk mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan dalam setiap rumah tangga, sementara tuntutan untuk makan dan minum sebagai kebutuhan dasar manusia tetap ada, maka peluang pasar pangan itu diisi oleh berbagai produk pertanian dari luar.
Kita lalu menjual kelapa untuk membeli minyak goreng dari kelapa sawit. Kita jual singkong untuk beli kerupuk. Kita jual tanah untuk beli tiket pergi merantau lalu pulang kampung tanpa tanah pertanian.
Kita jual kedaulatan kita untuk membangun jalan dan memberi tiket masuk gratis bagi kapitalisme yang akan menguasai pasar lokal kita dan menentukan apa yang harus kita makan dan minum setiap hari. Bersambung…
Tulisan ini adaalh kelanjutan dari tulisan tanggal 11-032021 . Pemikiran dalam tulisan ini disampaikan pada diskusi online Epu Oring Adonara, 9 Maret 2021 / Foto: solopos.com
[…] Baca Juga: Jebakan Pasar Bebas: Konversi Lahan Pertanian Pangan Menjadi Lahan Tanaman Perdagangan […]