Eposdigi.com – Ada banyak hal yang bisa kita bicarakan tentang makhluk bernama sistem ekonomi neoliberal atau neolib ini. Untuk konteks dan kebutuhan forum ini – sesuai topik pembahasan – saya mengangkat beberapa karakter ekonomi neoliberal sebagai sistem yang dasyat melumpuhkan nalar waras ketahanan dan kedaulatanj pangan kita.
Ekonomi neoliberal memandang manusia lebih sebagai homo economicus – lawan dari konsep manusia sebagai makhluk sosial. Manusia bernilai atau tidak dilihat dari tindakan ekonominya, bukan dari tindakan dan kepedulian sosialnya.
Pada level paling pragmatis, nilai manusia diukur dari daya beli (Kaufkraft). Pertanyaan kita: daya beli terhadap produk apa dan hasil kerja siapa?
Contoh yang paling jelas dari cara pandang homo economicus adalah kebijakan rejim ekonomi menyuntik dana dan meluncurkan berbagai kebijakan pembangunan dengan tujuan untuk meningkatkan daya beli masyaralat agar bisa bertahan (secara ekononi) di tengah kiris seperti pandemi Covid-19. Semoga produksi pertanian kita yang dibeli, bukan dari Thailand atau Vietnam.
Baca Juga: Membangun Ketahanan Petani Terhadap Gempuran Neoliberalisme
Salah satu karakter ekonomi neoliberal lain adalah pasar yang menciptakan dan menentukan kebutuhan masyarakat. Hal ini berbanding terbalik dengan prinsip pasar klasik, bahwa pasar diadakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Para pakar dan konsultan marketing neolib melakukan analisis pasar, mengidentifikasi minat dan keinginan masyarakat (wishes) lalu merekayasa keinginan tersebut menjadi kebutuhan (needs).
Seolah-olah kita selalu dan pasti butuh HP seri terbaru. Seolah-olah kita selalu dan pasti butuh jenis sepeda motor dan mobil terbaru – berapa pun harganya.
Manipulasi wish menjadi need ini berlangsung sedemikian masif dan dalam silent operation alias bekerja di bawah alam sadar (sub-conscious) sehingga kita mengaminkan saja semuanya sebagai sesuatu yang niscaya.
Baca Juga: Jebakan Pasar Bebas: Konversi Lahan Pertanian Pangan Menjadi Lahan Tanaman Perdagangan
Tak ada lagi yang bertanya, apalagi mempertanyakan pertanyaan awal kegelisahan kita: untuk apa kita meningkatkan daya beli masyarakat.
Syaraf dan nalar waras menjaga dan merawat ketahanan dan kedaulatan pangan kita dilumpuhkan oleh sistem ekonomi neoliberal persis di titik ini: manipulasi wishes menjadi needs.
Kita lebih suka dan sombong minum kopi bermerek yang dijual di warung dan kafe terkenal ketimbang mengolah dan minum kopi dari kebun kita sendiri. Kita membeli barang yang tidak sepenuhnya kita butuhkan.
Dan kita menikmatinya dengan free will. Semua ini menciptakan ketergantungan yang nyaris sempurna dan permanen.
Adakah kemungkinan melepaskan diri dari cengkeraman sistem ekonomi neoliberal? Seberapa besar peluang itu? Tentu saja bisa dan tetap ada jalan walau sulit, penuh resiko dan dengan proses berdarah-darah.
Cendekiawan (almarhum) Romo Herry B. Priyono memakai ilustrasi yang menarik: ikut dalam sistem ekmomi neoliberal itu ibarat ikut duduk di atas punggung harimau. Harimau sebagai tunggangan, tanpa mengaum menakuti lawan pun orang sudah takut.
Baca Juga: Petani Kita dan Kerentanan Pola Pertanian Tanaman Pangan
Dasyat! Ia terlalu perkasa. Dasyat dan mampu menundukan dan menguasai apa saja. Namun ketika sambil duduk di atas punggung harimau tiba-tiba anda memperoleh kesadaran moral bahwa ada yang salah dengan sepak terjang harimau sistem ekonomi neoliberal itu dan anda ingin turun dari atas punggung harimau tersebut, ada kemungkinan anda akan menjadi santapan pertama diterkam sang harimau.
Itulah sebabnya mengapa kita mencatat banyaknya gerakan kaum kiri dengan inspirasi (neo)marxisme untuk melawan harimau kapitalisme dan sistem ekonomi neoliberal.
Mereka harus berhadapan dengan rejim pembela kapitalisme di seluruh dunia. Amerika Latin dan Philipina, misalnya, adalah dua kawasan yang menjadi medan pelawanan kesadaran moral Gereja untuk melawan kapitalisme dalam segala bentuk.
Baca Juga: Setelah Pendidikan, Ini Suprastruktur Pertanian NTT Lainnya
Dan selalu terjadi pertumpahan darah pada mereka yang membela kedaulatan petani dan nelayan karena menghadang sang harimau.
Kemakmuran dan kenyamanan karena jasa punggung dan aum harimau itu mahal. Jadi, kalau bisa tunggang kuda milik kita sendiri, kenapa harus naik ke punggung harimau? Bersambung…
Tulisan ini adaalh kelanjutan dari tulisan tanggal 11-032021 . Pemikiran dalam tulisan ini disampaikan pada diskusi online Epu Oring Adonara, 9 Maret 2021 / ilustrasi: lingkarstudikerakyatan.wordpress.com
[…] Baca Juga: Ekonomi Neoliberal dan Lumpuhnya “System Saraf” Ketahanan dan Kedaulatan Pangan […]
[…] Baca juga: Ekonomi Neoliberal Dan Lumpuhnya “System Saraf” Ketahanan Dan Kedaulatan Pangan […]
[…] Baca juga: Ekonomi Neoliberal Dan Lumpuhnya “System Saraf” Ketahanan Dan Kedaulatan Pangan […]