Eposdigi.com – Saya selalu tertegun memperhatikan pramugari menyampaikan pesan keselamatan penerbangan saat pesawat akan tinggal landas. Meskipun terdengar klise, masih saja kalimat-kalimat tersebut menarik perhatian saya.
“Apabila tekanan udara di kabin berkurang secara tiba-tiba, masker oksigen akan keluar secara otomatis. Tetaplah duduk dan gunakan sabuk pengaman. Tarik masker oksigen ke arah Anda, pasang menutupi mulut dan hidung, kaitkan karet di kepala, dan bernapaslah seperti biasa. Bagi Anda yang bepergian bersama orang tua dan anak-anak, pakailah masker Anda terlebih dahulu, sebelum Anda menolong yang lain.”
Pada awalnya, saya merasa janggal dengan pesan tersebut. Tampak egois karena mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Meskipun demikian filosofi masker oksigen tersebut justru mengajarkan kita untuk membangun kepedulian secara benar.
Baca Juga:
Saat pesawat akan terbang terjadi proses pemberian tekanan udara di dalam kabin. Proses ini menyebabkan perbedaan tekanan udara di dalam dengan di luar pesawat. Tekanan udara ini akan dikurangi secara bertahap saat pesawat mulai melakukan pendaratan.
Kerusakan pada sistem maupun dinding pesawat yang bocor bisa menyebabkan tekanan dalam kabin menyesuaikan dengan tekanan di luar pesawat (dekompresi) seperti kejadian sebuah balon yang bocor. Berkurangnya tekanan udara di dalam kabin bisa menyebabkan ketersediaan oksigen yang awalnya dibuat sama dengan di daratan menjadi berkurang.
Oksigen yang tersedia lewat masker saat dekompresi hanya cukup selama kurang lebih 12 menit. Bahkan jika penerbangan berada di atas 20 ribu kaki bisa menyebabkan orang pingsan hanya dalam waktu 20 sampai 60 detik.
Baca Juga:
Filosofi Masker Oksigen
Fenomena fisika yang berkorealasi dengan biologi tersebut mengajarkan makna sebuah filosofi masker oksigen. Dengan waktu dan ketersediaan oksigen yang terbatas, seseorang tanpa masker sangat sulit untuk menolong orang lain.
Sang penolong tanpa masker tersebut bisa jadi malah pingsan tidak berdaya terlebih dulu karena mengalami hipoksia. Filosofi masker oksigen menyakinkan kita bahwa seseorang bisa memberi jika ia memiliki dan bisa menolong jika ia sendiri telah memiliki kekuatan terlebih dulu.
Sekolah adalah sarana untuk memberdayakan para individu di dalamnya. Berdaya dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Meskipun demikian, yang sering lupa adalah pemberdayaan guru. Sekolah kadang lebih fokus pada pemberdayaan murid dan melupakan pemberdayaan guru.
Para guru dianggap sebagai pribadi dewasa sehingga mampu memberdayakan dirinya sendiri, tanpa campur tangan lembaga. Cara berpikir ini bertolak belakang dengan filosofi masker oksigen. Bagaimana para guru mampu memberdayakan murid-muridnya manakala dirinya sendiri tidak berdaya?
Berdaya bukan sekadar mampu dalam ilmu pengetahuan tapi juga berdaya dalam moral, spiritual, dan sosial. Berdaya dalam ranah pengetahuan diperoleh dari kebiasaan meng-up grade (meningkatkan) dan up date (memperbarui) kemampuan diri.
Baca Juga:
Rutinitas guru telah banyak menyita waktu mereka untuk meningkatkan dan memperbarui kemampuan diri; bahkan hanya sekadar untuk membaca berita terkini. Selepas dari bangku kuliah, banyak kemampuan guru yang mandeg. Pengetahuan masa lalu masih saja dipakai untuk “menolong” para murid The iGeneration saat ini.
Sekolah bukan lagi tempat dinamis tapi dogmatis. Bagaimana guru bisa berubah memperbarui diri, jika rutinitas kesehariannya tidak pernah berubah? Bagaimana guru mengajarkan perubahan adaptif kepada murid agar bisa hidup di masa depan, manakala guru justru tidak mau berubah?
Berdaya dalam moral, spiritual, dan sosial tidak cukup dengan menambah bacaan pengetahuan. Ranah afektif tersebut ditularkan ke murid dalam bentuk suri teladan.
Guru miskin afeksi tidak akan mampu memberikan kekayaan afeksi kepada murid-muridnya. Nilai-nilai (values) hidup tidak bisa hanya ditransfer kepada murid melalui bacaan ataupun diceritakan, tapi harus dicontohkan melalui figur guru.
Semua proses memberdayakan guru juga menjadi tanggung jawab lembaga. Lembaga memberikan ruang, waktu, dan desain bagi para guru agar memiliki daya untuk memberdayakan murid-muridnya. Era pandemi COVID-19 ini memunculkan kesempatan bagi guru untuk berubah dan berdaya. Jangan sampai setelah pandemi berakhir, perubahan justru menuju arah kebiasaan sebelum pandemi.
Penulis adalah Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com / Foto: indonesiatimur.co
[…] Baca Juga: Bagaimana Bisa Memberdayakan Murid Jika Gurunya Tidak Berdaya? […]
[…] Baca Juga : Bagaimana Bisa Memberdayakan Murid Jika Gurunya Tidak Berdaya? […]
[…] Baca Juga: Bagaimana Bisa Memberdayakan Murid Jika Gurunya Tidak Berdaya? […]
Sepakat.