Eposdigi.com – Total uang tabungan 17 orang murid kelas VI sebesar Rp. 112.576.000 tidak dapat dikembalikan oleh Sekolah Dasar Negeri 2 Kondangjajar, Kecamatan Cijulung, Kabupaten Pangandaran Jawa Barat, pada saat kelulusan murid dari sekolah tersebut.
Fakta tersebut menyulut protes ke-17 orang tua murid tersebut. Widiansyah, salah satu orang tua murid yang anaknya memiliki tabungan terbesar yakni Rp. 45 juta, menyatakan kecewa dengan sikap sekolah.
Sejak anak mereka dinyatakan lulus, mereka berpikir uang tabungan akan dikembalikan bersama dengan kelulusan anak mereka. Namun sampai kini uang tabungan tersebut belum juga dikembalikan. Widiansyah bahkan sudah menagihnya sebanyak tiga kali.
“Tapi, jawaban pihak sekolah katanya, belum ada uang. Pihak sekolah beralasan bahwa uang tabungan anak-anak berada di koperasi dan dipinjam oleh perorangan guru yang sudah pensiun,” kata Widiansyah.
Ahyanto Setiadi, orang tua lainnya, yang anaknya menabung selama 6 tahun sebesar Rp. 6.050.000, merencanakan akan menggunakan uang tersebut untuk melanjutkan studi anaknya ke tingkat SMP. Kini seperti Widiansyah ia pun bingung karena uangnya tidak keluar.
Baca Juga:
Anak Ini Dipaksa Belajar Ibunya Tanpa Istirahat, Hingga Mengalami Nasib Naas Ini
Menurut Ahyanto, ia menabungnya ke sekolah, artinya uang itu harus berada di pihak sekolah yang bersangkutan. Ia minta pihak sekolah bertanggungjawab kepada orang tua murid dan mengembalikan uang tersebut.
Ternyata kasus ini tidak hanya terjadi di SD Negeri 2 Kondangjajar. Uang tabungan murid kelas VI yang belum dikembalikan juga terjadi di SD Negeri 1 Cijulang dan SD lain di wilayah Korwil Cijulang. Di wilayah ini kasus terjadi di banyak sekolah.
Di sekolah-sekolah tersebut, tabungan murid selain disimpan di koperasi Tugu Cijulang yang saat ini dalam keadaan kolaps, juga dipinjamkan oleh oknum pribadi guru. Di antaranya dipinjam oleh guru-guru yang sudah pensiun.
Tadinya aktivitas menabung ini adalah bagian dari upaya sekolah membiasakan sikap menabung bagi para murid. Namun karena tidak dikelola dengan baik maka bukan hanya gagal menanamkan sikap menabung, melainkan juga melorotkan wibawa guru di mata murid.
Apa yang kita pelajari dari kasus ini?
Sekolah adalah lembaga tempat pewarisan nilai. Oleh karena itu harusnya semua kegiatannya didesain dengan baik, dilaksanakan dengan baik, karena hanya dengan demikian proses pewarisan nilai dapat berlangsung.
Namun karena guru sebagai aktor proses pewarisan nilai bukanlah manusia yang sempurna, maka pewarisan nilai muncul melalui proses belajar dari kesalahan, bahkan kesalahan fatal seperti yang dilakukan oleh guru pada kasus ini.
Baca Juga:
Apa Dampak Pola Asuh Permisif Orang Tua Pada Anak, Ketika Anak Dewasa?
Berikut ini hal-hal yang dapat kita pelajari, sebagai bagian dari proses belajar untuk terus membangun iklim sekolah kita sebagai area pembentukan dan pewarisan nilai.
Pertama, kasus ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah negeri kita belum dikelola dengan visi pengelolaan pendidikan yang visioner. Oleh karena itu, gagasan yang baik, tidak selalu mencapai tujuan yang baik pada akhirnya.
Seperti dalam kasus ini, gagasan menabung tidak diurus oleh guru yang punya visi yang sama, sehingga yang terpenting adalah ada uang terkumpul dan uang tersebut digunakan, bahkan untuk kepentingan pribadi, tidak hanya oleh guru tetapi juga oleh komite sekolah.
Kedua, kasus ini juga menunjukkan bahwa cara kita mengelola pendidikan tidak berdasarkan pemahaman yang utuh tentang pendidikan, tidak mempertimbangkan urgensi dan esensi pendidikannya.
Baca juga :
Kondisi ini seringkali diperburuk oleh kondisi guru sendiri termasuk moral pribadi dan motivasi guru sendiri. Oleh karena itu kegiatan menabung anak justru dibelokkan menjadi bancakan pinjam meminjam guru yang celakanya tidak kunjung dikembalikan oleh guru.
Keadaan ini kemudian sangat merusak iklim pendidikan yang harusnya menjadi sangat urgen dan esensial, yang wajib dibangun guru.
Ketiga, kasus ini juga menunjukkan buruknya kerja birokrasi pendidikan kita di daerah-daerah terutama dalam hal pengawasan. Padahal kita ketahui bahwa pengawas sekolah secara rutin mengunjungi sekolah-sekolah.
Pertanyaannya, bagaimana proses pengawasan itu dilakukan? Apa yang dilakukan ketika pengawas sekolah berkunjung ke sekolah? Bagaimana mungkin masalah pendidikan terus muncul menjadi kasus yang merusak iklim pendidikan? Pembinaan apa saja yang diberikan pada sesi kunjungan tersebut?
Keempat, kasus ini juga menggambarkan buruknya tingkat kesejahteraan guru, atau paling tidak literasi finansial guru. Oleh karena itu diperlukan terobosan dan upaya serius pemerintah untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan guru.
Baca Juga:
Jika guru tidak sejahtera secara finasial, jangan mengharapkan mereka dapat menjadi agen pewarisan nilai-nilai moral secara efektif. Apalagi jika guru tidak dilatih, tidak didampingi dan tidak diawasi dengan baik oleh atasannya.
Itulah pelajaran yang dapat kita petik dari kasus ini. Jika kita hendak menjadikan sekolah-sekolah kita sebagai area pewarisan nilai, maka kita wajib memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut. Itu bahkan merupakan tantangan eksitensial sekolah kita saat ini.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com / Foto: tribunnews.com
Leave a Reply