Kenapa Caleg Harus Melangkah di Jalan Politik Gagasan?

Sospol
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Sebenarnya pertanyaan ini sifatnya retoris belaka. Tidak serius-serius amat, sehingga tidak harus dijawab. Kenapa? Selama kita masih menganggap bahwa gagasan itu hanya berarti program kerja maka secara terang kita akan menjawab bahwa program kerja itu domainnya eksekutif. Bukan legislative.

Jika demikian, apa yang dilakukan seorang legislator? Apakah hanya sebatas memelototi anggaran dari eksekutif dan membuat aturan-aturan hukum saja?

Media Indonesia (16.11.2019) menulis bahwa Politik Gagasan adalah sebuah praktik politik yang mengedepankan ide-ide atau gagasan sebagai komoditas utama. Ciri khas utama politik gagasan adalah tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan. Kekuasaan hanyalah alat untuk mewujudkan gagasan-gagasan.

Cara sederhana untuk membedakan politik gagasan dengan yang lain, katakanlah ‘politik kuantitatif’ berdasarkan istilah Media Indonesia, adalah apakah tujuan berpolitik hanya demi kekuasaan semata. Karena kekuasaan adalah tujuan maka gagasan menjadi nomor urut kesekian yang bukan prioritas.

Baca Juga:

BUMDes dan Gerakan Politik Gagasan

Politik kuantitatif ini hanya mengandalkan popularitas, mengekspos identitas dalam artian negatif, mengedepankan likeabilitas-suka atau tidak suka, membanggakan ‘isi tas’ seolah hal-hal inilah yang menentukan elektabilitas, yang membuat mereka bisa terpilih.

Dalam sebuah diskusi terbatas belum lama ini, muncul wacana bahwa politik gagasan adalah domainnya eksekutif, bukan legislative. Di eksekutif lah gagasan-gagasan akan dieksekusi. Ide-ide dan program-program-program kerja dilakukan dan menjadi tugas utama pemerintah. Sebagai wacana dalam diskusi, hal seperti ini sah-sah saja.

Tetapi sebagai sebuah pemikiran, membatasi ruang politik gagasan dalam kotak eksekutif dan legislatif adalah sebuah kekeliruan.  Bahwa di tangan eksekutif lah program-program kerja dilaksanakan untuk menjamin kesejahteraan jiwa dan raga masyarakat.

Ini adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Gagasan ditangan legislatif adalah alat komunikasi bagi konstituennya. Gagasan yang ada di tangannya adalah cara untuk mendidik masyarakat agar menentukan pilihan berdasarkan akal sehat.

Buah dari akal sehat ini adalah elektabilitasnya. Bahwa seseorang caleg yang mengkomunikasikan gagasan-gagasannya berhasil meyakinkan para pemilih bahwa melaluinya – caleg ini-, gagasan-gagasan pembangunan jiwa dan raga masyarakat itu bisa diwujudkan oleh pemerintah.

Baca Juga:

BUMDes Sebagai Ekosistem Ekonomi Produktif

Caleg ini meyakinkan konstituennya bahwa ketika terpilih nanti ia akan mendorong gagasan-gagasan yang ada di tangannya menjadi program kerja prioritas eksekutif demi pembangunan jiwa dan raga masyarakat.

Gagasan-gagasan yang menjadi program kerja tentu teruji karena memang datang dari kebutuhan yang ada di dalam masyarakat. Sesuatu kerinduan masyarakat yang harus segera dipenuhi oleh pemerintah.

Gagasan-gagasan adalah sesuatu yang real terjadi di masyarakat, yang dikomunikasikan seterang-terangnya, sesuatu yang ditemu-kenali di tengah masyarakat, sesuatu yang dapat dilakukan, sesuatu yang kalau terwujud akan membawa dampak baik bagi masyarakat sekaligus dampak baik ini dapat diukur oleh siapa saja.

Tulisan yang tayang kemarin di media ini, mengangkat kisah seorang Ismail Bachtiar. Pada Pemilu tahun 2019 lalu Ismail Bachtiar mengkomunikasikan gagasan-gagasan dan bukti-bukti bahwa gagasannya berdampak baik bagi masyarakat, yang kemudian membuatnya berhasil merapu lebih dari 16 ribu suara.

Gagasan tentang pemberdayaan masyarakat yang dieksekusinya lewat pendampingan kepada komunitas pedagang kecil dan menjadikan mereka basis pendukung yang kuat. Kemudian bersama para pedagang kecil ini Ismail Bachtiar melebarkan sayap memberi pengaruh baik kepada masyarakat lewat gerakan “Agen Kebaikan” yang digagasnya.

Baca Juga:

Belajar dari Ismail Bachtiar: Lolos DPRD Provinsi Tanpa Baliho

Ia melipatgandakan basis pendukungnya yang sebelumnya hanya pada para pedagang kecil, menjadi meluas kepada siapa saja masyarakat yang tersentuh, langsung maupun tidak langsung, oleh para “Agen Kebaikan”.

Saya kemudian membayangkan bahwa ribuan caleg, entah berjuang untuk DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi maupun DPR-RI membawa gagasannya ke pelosok-pelosok untuk membantu masyarakat mengenali kebutuhan prioritas mereka.

Berangkat dari kebutuhan prioritas yang sudah ditemu-kenali ini, kemudian muncul alternatif-alternatif jalan keluar menyelesaikan berbagai persoalan tersebut, dengan pendampingan.

Pemilu legislatif masih sekitar 8 bulan lagi menuju Februari 2024 nanti, artinya masih ada waktu untuk membantu dirinya meraih elektabilitas sebanyak-banyaknya dengan mendampingi masyarakat di pelosok desa.

Jika belum terbantu pun, niat baik yang sudah tersalurkan dengan mendatangi masyarakat dan mendengarkan berbagai persoalan mereka pasti akan dibalas berkali lipat oleh semesta. Jika bukan dengan elektabilitas maka ada banyak balasan baik yang mungkin jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sekedar sebuah kursi legislatif.

Baca Juga:

Ruddy Tokan: Saya Siap jadi ‘Alat’ Perjuangan bagi Lewotanah

Karena itu momen kampanye bukan lagi kesempatan untuk para caleg berbicara mengenalkan diri kemudian memohon dukungan. Caleg yang melangkah di jalan politik gagasan tidak mengenalkan diri.

Caleg yang melangkah di jalan politik gagasan mengenalkan ide-ide, mengkomunikasikan gagasan-gagasan kemudian memohon kerjasama semua pihak agar gagasan tersebut bisa dieksekusi demi pembangunan jiwa dan raga masyarakat.

Bisa jadi, bonusnya adalah, ketiga gagasan ini diterima dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat maka sebagai bentuk ucapan syukur dari masyarakat berupa keputusan untuk mendukung si empunya gagasan dengan memberikan suara mereka kepada caleg tersebut. Jadi begitu, kira-kira.

Ilustrasi dari medcom.id

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of