Eposdigi.com – Kemajuan pesat di bidang teknologi dan informasi memberi banyak dampak. Salah satunya adalah kemunculan berbagai platform dan grup kepenulisan. Bahkan, saat ini, mudah bagi kita untuk menemukan grup menulis berbasis media sosial.
Grup menulis tersebut tentunya memiliki kekhasan masing-masing. Baik dari latar belakang anggota, genre tulisan, sasaran pembaca, pengaturan grup (ada yang publik, ada yang privat), dan lain sebagainya.
Dengan munculnya berbagai grup menulis ini, seseorang dengan mudah membaca berbagai tulisan. Termasuk menyalin rekat tulisan dari satu grup untuk diunggah di grup yang lain. Tentu yang saya maksud adalah mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan milik sendiri.
Baca Juga: Menulis Menjadikanmu Abadi
Tidak hanya terjadi pada tulisan di grup kepenulisan, tindakan salin rekat juga terjadi di bidang akademik. Kasusnya tidak lagi murni plagiasi tapi juga bisa berupa self plagiarism. Kita bisa menelusuri berbagai kasus yang melibatkan akademisi terkait tindakan salin rekat ini.
Sebagaimana kita ketahui, kegiatan menulis (terutama kegiatan menulis dalam kerangka pembelajaran di sekolah) selalu dihubungkan dengan literasi. Literasi kerap disederhanakan dengan kegiatan membaca dan menulis, meski sejatinya literasi memiliki makna yang lebih luas lagi.
Persoalan tingkat literasi ini memang cukup meresahkan. Survei literasi menunjukkan Indonesia berada di tingkat (hampir selalu) terbawah dari negara-negara yang disurvei. Terlepas pro dan kontranya, survei tersebut kemudian dianggap menjadi gambaran dunia pendidikan kita.
Kita lalu meletakkan persoalan ini pada rendahnya keterampilan membaca dan menulis, sekaligus menunjukkan rendahnya kemampuan analitis.
Baca Juga: Membaca itu Piknik. Kok Bisa?
Tindakan plagiasi sebagai bagian dari persoalan literasi ini disebabkan oleh berbagai hal. Salah satunya adalah adanya kesulitan dalam mencari atau menentukan ide tulisan.
Kalau hanya sekadar kekurangan ide mungkin masih bisa dibantu dengan melaksanakan diskusi yang membuka peluang munculnya ide baru. Jika ide tersebut dieksekusi dengan baik, tulisan berkualitas pun akan dihasilkan.
Masalah yang cukup besar muncul jika seseorang kekurangan ide sekaligus kurang jujur. Bagaimana pun kita saat ini berada pada masa kemudahan mengakses informasi memungkinkan munculnya tindakan curang.
Tingginya angka plagiasi juga dikaitkan dengan berbagai hal. Salah satunya anggapan kurang seriusnya kita dalam kegiatan menulis. Salah satunya, praktik menulis di sekolah.
Baca Juga: Menumbuhkan Minat Baca; Harus Mulai Dari Mana?
Jujur saja, ada berapa banyak sih pendidik yang sungguh-sungguh memberikan tugas menulis sebagai benar-benar tugas menulis? Maksud saya, tugas itu diberikan bukan untuk mengisi waktu atau karena sedang malas/ tidak mood mengajar.
Lebih lanjut, di pendidikan dasar dan menengah kita, tentu ada saja oknum pendidik yang menilai hasil menulis tanpa adanya kriteria yang jelas. Hal itu yang membuat peserta didik tidak paham mengapa mereka mendapatkan angka tersebut sebagai nilai tugas menulis.
Lebih parahnya peserta didik tidak tahu letak kesalahan tulisan mereka. Dampaknya, mereka tidak pernah sungguh-sungguh belajar dan menganggap bahwa kemampuan menulisnya sudah baik.
Akibatnya jelas, ketika berhadapan dengan tugas menulis yang lebih kompleks, mereka bermetamorfosa. Mereka menjadi orang yang mahir mengolase potongan tulisan untuk disodorkan sebagai tulisan baru atau mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan milik sendiri.
Baca Juga: Bagaimana Bisa Memberdayakan Murid Jika Gurunya Tidak Berdaya?
Kesulitan dalam menuangkan gagasan dalam sebuah tulisan kerap dianggap disebabkan karena kurang latihan menulis. Ironisnya, jika para pendidik (yang nota bene kerap memberi tugas menulis tadi) justru enggan menulis.
Namun, saya menyepakati pemikiran bahwa pendidik adalah manusia biasa dan tidak harus bisa segalanya. Lagipula perkembangan teknologi telah sangat membantu.
Kita bisa melihat ada banyak penulis yang bukan berasal dari kalangan akademisi atau berlatar belakang pendidikan kebahasaan.
Sadar atau tidak, para penulis tersebut kemudian menjadi role model baru bagi peserta didik kita. Dengan demikian, tugas pendampingan menulis menjadi lebih kompleks.
Meski hal ini bisa dipandang sebagai sebuah peluang adanya kesempatan bagi para peserta didik untuk mendapatkan informasi selain dari guru.
Oleh sebab itu, beban peningkatan kualitas literasi generasi muda kita rasanya tidak bisa dibebankan pada satu pihak saja.
Baca Juga : Asesmen Nasional Sekedar Basa Basi?
Kita seluruhnya punya kewajiban dan diharapkan punya kesadaran bersama tentang hal ini. Hal sederhana yang bisa kita lakukan salah satunya dengan menjaga diri dari godaan melakukan salin rekat itu.
Siapapun bisa menjadi role model kegiatan menulis dengan aktif menulis dan memproduksi berbagai karya tulis yang bermanfaat dan berkualitas.
Di ruang kelas, pendidik sebaiknya tidak menuntut banyaknya produk tulisan tetapi lebih menekankan proses menulis yang utuh. Peserta didik juga dituntut untuk menyelesaikan suatu tulisan hingga benar-benar selesai.
Dengan demikian, kita bisa memiliki kepercayaan diri dalam menghasilkan tulisan. Di kemudian hari, mimpi Indonesia sebagai bangsa yang terampil menulis dan bangga pada karyanya bisa terwujud. Semoga segera.
Penulis adalah Dosen Universitas Katolik Musi Charitas Palembang.
[…] Baca juga: Perkembangan Teknologi, Godaan Salin Rekat, Dan Literasi Kita […]