Litani Perawat Nagi Tanah Di Lorong Sunyi Penuh Racun

Warga Peduli
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – “Ai Tuan e…kame yang keria, daerah (Pemda) yang senang” (Aduh Pastor e, kami para perawat yang kerja, Pemerintah Daerah yang senang), demikian jawaban dari seorang teman saya yang adalah seorang perawat di rumah sakit daerah kota Reinha Rosari atas pertanyaan saya soal kisruh jasa tenaga kesehatan di rumah sakit berpelat merah itu yang ramai di media sosial beberapa hari belakangan ini.

Dari jawaban teman saya ini, saya merasakan adanya gugatan bathin atas hak mereka yang dipasung di tengah kerja keras mereka yang tak kenal keluh dan letih.

Waktu untuk berbagi sukacita dengan keluarga menjadi sangat terbata oleh karena tugas dan pekerjaan mereka untuk memastikan kesembuhan dan keselamatan pasien.

Baca Juga: Indonesia??? Terserah!!!

Meskipun ada waktu libur, namun waktu itu dijadikan kesempatan untuk memulihkan letih mereka seraya berjaga-jaga jika ada panggilan emergency dari rumah sakit yang membutuhkan tenaga dan pelayanan mereka maka tak ada kata menolak dengan ragam alasan.

Sudah menjadi panggilan jiwa dan nurani mereka untuk siap sedia melayani dengan tulus.

Bahwa kadang ada keluh dari pasien atas pelayanan mereka, namun tidak membuat mereka berhenti untuk melayani. Mereka tetap menjadi garda terdepan kemanusiaan meski resiko tertular sangat rentan.

Meski kadang mereka menerima perlakuan dari oknum pasien yang tak sedap, entah dimarahi ataupun dilecehkan hanya derai air mata yang mengiringi ratap mereka.

“Kami selalu ikhlas melayani karena panggilan hidup. Tapi ternyata yang menjadi hak kami masih menjadi utang daerah (Pemda).” Teman saya itu kembali mengisahkan.

Mereka melaksanakan kewajiban mereka sebagai panggilan hidup, panggilan nurani kemanusiaan untuk nyawa banyak orang termasuk keluarga pemangku kepentingan dan kekuasaan di Nusa Bunga Flores Timur.

Namun mereka justru menjadi anak-anak “terlantar” oleh orang tuanya sendiri (Pemda) di rumahnya sendiri hanya karena kewajiban orang tua untuk memperhatikan kesejahteraan mereka tersesat dan tersumbat entah ke mana.

Baca Juga: HARDIKNAS; diantara Kejujuran Pasien dan COVID-19

Para perawat sedang menjalankan suara kenabian Kristus; “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat 22:21), namun para pemangku kekuasaan seakan sedang menarikan tarian cuci tangan Pilatus; “Itu urusan kamu, aku tidak bersalah atas kasus ini.” (Mat 27:24), dengan berbagai alibi pembelaan antara satu dengan yang lainnya.

Para perawat telah menjalankan hak-hak mereka dalam diam meski bathin mereka menggugat kewajiban pemerintah yang telah memasung hak-hak kesejahteraan hidup mereka.

Mereka bekerja dan terus bekerja bukan berarti mereka tak meratapi nasib mereka, masa depan keluarga mereka yang mengharapkan kebahagiaan dan kesejahteraan dari letih suami, istri dan anak atau saudara mereka yang terus berjibaku dengan keselamatan dan kehidupan manusia.

Mereka telah memberikan solidaritas bergandengan dengan semangat subsidiaritas untuk para pasien dan pemasukan bagi daerah, namun penguasa justru memberikan empedu dan cuka untuk jalan salib pelayanan mereka.

Dan ketika ratap dan gugatan mereka tumpahkan; liku-liku lorong sunyi penuh racun diberikan dalam rangkaian dalih dan pembelaan diri.

Baca Juga: Guru Honor Flores Timur Berharap Nasib Lebih Baik

Belum puas mendapatkan jawaban dari teman saya ini, saya kemudian mengontak sepupu kandung saya yang juga menjadi petugas kesehatan di satu-satunya rumah sakit daerah Nagi tanah.

“Kami banyak bersabar saja kak, meski sebagai sapi perah juga baiklah. Ketika kami terlambat pulang karena masih banyak yang dilayani, apakah mereka peduli dan tahu itu kak? Tapi ketika kami meminta hak kami, justru banyak alasan. Syukur kak, adikmu ini meng-ulek bumbu sambik juak untuk obatin kebutuhan hari-hari.”

Sabar adalah ibadah, namun kesabaran para perawat kemudian dimanfaatkan oleh sang penguasa dengan tidak mau peduli pada kesejahteraan mereka, maka sejatinya para perawat sedang menjadi korban homo homini lupus “manusia adalah serigala yang lain” dari yang diharapkan bisa melindungi dan mengayomi hak-hak kesejahteraan hidup para perawat.

Para perawat dengan segala kekurangan dan keterbatasan, mereka paling tidak menjadi seberkas cahaya lilin yang menerangi kegelapan para pasien, meluluhkan diri dan kebahagiaan mereka dan menghanguskan sebagian besar waktu mereka untuk keselamatan pasien. Maka jangan hanguskan juga hak-hak mereka.

Jika lorong sunyi penuh racun itu adalah jalanmu untuk membahagiakan dirimu, jangan jadikan para perawat sebagai tamengmu untuk menikmati racunmu itu. Manila: 30-April 2021.

Foto: Demo nakes di RSUD Pirngadi Medan menuntut insentif covid-19 / kompas.com

Sebarkan Artikel Ini:

2
Leave a Reply

avatar
1 Discussion threads
1 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
2 Comment authors
digi-ersChanyeol Yocin Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
Chanyeol Yocin
Guest
Chanyeol Yocin

Sedih sekali bacanya. Mereka berjuang mati-matian dengan mental pasien di nagi tanah yang tidak puas dikit, marah, tidak puas dikit ya marah. Dan mereka frontliner COVID, dan bahkan tidak digaji. Miris sekali.