Sedikit Cerita tentang “ADD, Gelekat dengan Senyap”

Warga Peduli
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Sekitar tahun 2012-2013, saya dikontak Bupati Flotim minta akses untuk bisa bertemu langsung Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) — saat itu dijabat oleh Helmy Faishal Zaini. Sebagai wartawan di Jakarta dan mantan aktivis Cipayung, awalnya saya merasa yakin bisa mengakses langsung untuk bertemu Menteri PDT ini.

Tapi ketika sadar bahwa ini harus bicara tentang kepentingan pembangunan daerah, rasanya butuh orang dengan kapasitas relasi, interaksi dan komunikasi di level elit nasional yang lebih berdaya. Saya lalu kontak Bang Anton Doni Dihen (ADD) minta bantuan. Pertimbangannya juga sederhana saja.

Menteri PDT dari latar belakang aktivis Cipayung (PMII: Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) organ NU (Nahdlatul Ulama). Sudah tentu Bang Anton punya kapasitas relasi yang lebih. Setelah saya sampaikan, Bang Anton langsung respons. “Nanti saya hubungi balik setelah ada konfirmasi jadwal Pa Menteri PDT,” jawab Bang Anton dari seberang telepon.

Baca Juga:

Budaya Politik Baru Berkearifan Lamaholot untuk Ketangguhan Peradaban

Tak lama setelah itu, dapat konfirmasi, “Pa Menteri PDT bersedia dan siap bertemu Bupati Flotim,” suara Bang Anton diseberang telepon. Dilanjutkan lagi, “Stanis, kita sibuk urusan di Jakarta ini tapi jangan lupa urus juga kampung halaman sendiri,” ujar Bang Anton di seberang telepon mengingatkan saya.

Sesuai jadwal yang ditentukan, saya ikut temani Bupati Flotim ke Kementerian PDT, Jakarta. Tiba di Kantor Menteri PDT, ternyata Bang Anton (ADD) sudah lebih dulu tunggu di lobby kantor. Kami pun sama-sama naik lift menuju ruangan Pa Menteri. Di depan ruang tunggu terlihat sejumlah tamu sudah antri.

Bang Anton hampiri ajudan Pa Menteri dan menyampaikan kalau sudah ada janjian dengan Pa Menteri. Ajudan Pa Menteri masuk sampaikan. Tak disangka, Pa Menteri PDT Helmy Faishal langsung keluar dari ruangannya. “Ini senior” (organisasi Cipayung). Yunior harus jemput,” ujar Pa Menteri sambil tersenyum bersalaman.

Baca Juga:

Kearifan Lamaholot (Demi Perkembangan Budaya Politik)

“Tolong sampaikan tamu lainnya mohon tunggu ya,” lanjut Pa Menteri kepada ajudannya.

Kami pun dipersilahkan masuk. Bang Anton dengan Bupati Flotim langsung ke ruang meeting Menteri PDT. Dalam audiensi dan meeting itu Bupati Flotim berkonsultasi dan minta untuk bisa akses program kegiatan serta bantuan untuk percepatan pembangunan di Flotim. Pa Menteri memanggil beberapa pejabat teras di PDT untuk jelaskan teknisnya.

Beberapa hal penting antara lain: Mengenai jenis-jenis program dan kegiatannya disesuaikan dengan kebutuhan Flotim sebagai daerah kepulauan, sampai tentang format Proposal yang harus dibuat khusus untuk Kementerian PDT.  Termasuk apa saja yang menjadi kewajiban daerah sebagai penerima program.

Keluar dari Gedung Kementerian, Bupati Flotim sempat nyeletuk. “Kalo Bang Anton punya akses langsung sebagus ini di kementerian pusat, kenapa selama ini bupati dan gubernur di NTT tidak bisa memanfaatkan?”  Sebuah pertanyaan yang retoris memang.

Selang beberapa bulan kemudian, saya dapat khabar Proposal proyeknya di-follow up via DPRD Flotim ke DPR RI. Setelah proses di DPR, Kemenkeu dan Kementerian PDT, realisasinya Flotim dapat cukup banyak item proyek/kegiatan.

Baca Juga:

Desa Berkearifan Adat: Menuju 3 Batu Tungku yang Saling Menggenapi (Bagian Pertama)*

Antara lain: Listrik Tenaga Surya (termasuk di Kalelu Solor), juga di beberapa tempat lain. Pengadaan sumur bor di sejumlah lokasi di Flotim (juga di Pamakayo, Solor). Perahu nelayan pesisir dan kapal ikan. Pelabuhan laut (Perintis) dan lainnya.

Boleh jadi banyak pihak tidak tahu kalau awal semua proyek dan program kegiatan itu bisa turun ke Flotim karena Bupati Flotim bisa bertemu, audiensi langsung dengan Menteri PDT.

Dan urusan bertemu langsung Menteri, bicara terbuka untuk banyak program dan kegiatan bantuan seperti itu hanya bisa diakses oleh orang-orang yang punya kapasitas tertentu. Kapasitas itu antara lain profesionalisme, keilmuan juga kapasitas pertemanan dengan rekam jejak terukur pula.

Mengenalnya sejak di organisasi mahasiswa (PMKRI), Bang Anton memang jarang sampaikan ke pihak lain jika berbuat atau membantu sesuatu. Hampir tidak pernah juga menyatakan diri mengenal siapa atau pihak mana saja yang dapat diakses.

Tapi sekali lagi, karena cukup lama bersama, sedikit banyak, saya paham dan tahu, akses jaringan yang dimiliki Bang Anton. Baik di pemerintahan, legislatif, NGO, konsorsium dan penggerak pemberdayaan masyarakat dan lainnya.

Baca Juga:

Desa Berkearifan Adat: Menuju 3 Batu Tungku yang Saling Menggenapi (Penutup)

Dalam proses selanjutnya, kami sibuk masing-masing. Suatu ketika saya ditelepon Bang Anton menanyakan apakah bersedia ikut ke Flotim. “Kementerian pusat ada program kegiatan Pemberdayaan untuk Kelompok Tani di Flotim.” Saya pun bersedia ikut ke Larantuka. “Sekalian pulang kampung,” kata saya.

Sampai di Larantuka, sebelum turun ke lokasi kegiatan di wilayah Tite Hena (atau juga Demon Pagong ?) Bang Anton terlebih dahulu bertemu Bupati Flotim menyampaikan bahwa ada program kegiatan kementerian via Dinas Tenaga Kerja Flotim saat itu.

Kami pun sama-sama turun ke lokasi kegiatan. Karena kegiatan itu dari pemerintah pusat, Bang Anton harus memimpin acara protokoler kenegaraan sore-malam itu. Hadir Pa Camat, para kepala desa dan pemuka masyarakat.

Anggota Kelompok Tani di wilayah itu seperti Petani Mente, Petani Kopi, Petani Kelapa, Petani Kemiri dan lainnya.

Usai acara seremonial, Bang Anton tampak sibuk. Ternyata dia datangi satu per satu kelompok tani. Baik ke pendampingnya maupun para pengurusnya. Bertanya dan mengecek kegiatan mereka satu-satu. Dari berkas administrasi sampai kesiapan kerja lapangan. Ikut memberi petunjuk ini dan itu.

Baca Juga:

Gagasan Besar itu Bernama Business Development Services

Saya berdiri dengan salah satu pendamping kelompok tani agak ke pinggir di ruangan kegiatan itu sambil merokok dan minum kopi.

“Lihat sana itu…. Bang Anton sampai ikut atur ini dan itu. Dari administrasi, laporan sampai arahan untuk kerja lapangan. Kayaknya begini sudah kerja pemberdayaan bersama masyarakat kecil eeeee …” celetuk saya sambil geleng-geleng kepada teman ngobrol yang juga adik semasa kuliah di Kupang.

Tentu masih banyak program dan kegiatan lain dari kementerian pusat yang dilakukan untuk Flores Timur dan NTT umumnya yang tidak terpublikasi media. Begitulah pola Bang Anton, dalam jejak pembinaan dan perjuangannya semasa mahasiswa.

Para mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru tentu paham, betapa susahnya jadi aktivis Cipayung masa itu. Hanya segelintir mahasiswa yang berani mengambil resiko ikut organisasi.

Harus keluarkan biaya dari saku sendiri, habiskan banyak energi dan waktu hanya untuk membina, mendidik kader-kader baru bagi bangsa dan negara. Dan sejarah hingga hari ini membuktikan, para kader Ormas Cipayung paling banyak berperan di elit negara, baik di pusat maupun di daerah-daerah.

Baca Juga:

Desa Belajar : Lompatan Jauh Untuk Mendidik Mulai dari Desa

Menjadi Ketua PMKRI Kupang lalu Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI di Jakarta, Bang Anton Doni tentu punya peran signifikan, telah menghasilkan lahirkan begitu panjang barisan kader PMKRI, termasuk banyak dari anak-anak Lamaholot, Flores Timur. Kini semua berkarya di berbagai bidang profesi.

Dari jajaran birokrasi, jurnalis, LSM, akademisi, profesional, pengusaha dan lainnya adalah jenis “Gelekat” dalam konteks investasi sumber daya manusia. Pada aspek investasi SDM ini, tak bisa dikalkulasi secara matematis, apalagi diukur dengan nilai rupiah. Semua dilakoninya tanpa ekspos berlebihan.

Banyak langkah perjuangan dan pengabdiannya dilakukan dengan senyap. Bukankah leluhur, para tetua pun berpesan, cukup semesta Lewotana saja yang tahu apa yang dilakukan untuk Gelekat Gewayan Lewotana Suku Lango ? ***

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of