Strategi Parenting dalam Dunia yang Berubah Serba Mendadak

Budaya
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Sebagai orang muda yang belum menikah, menulis tentang parenting merupakan cara saya menyiapkan diri untuk menata kehidupan berkeluarga yang lebih baik ketika saya membuat keputusan untuk menikah.

Ini bukan hal yang sulit namun tidak sesederhana yang dibayangkan oleh tidak sedikit generasi muda saat ini.

Bagaimana pun juga, menikah itu butuh persiapan yang matang karena saya dan Anda memiliki peran yang ganda baik sebagai suami atau istri maupun ayah dan ibu.

Bertolak dari alasan tersebut, tulisan ini bersifat paradigmatik, artinya membuat analisis antarparadigma parenting yang berkembang di Indonesia dan implikasinya dalam cara orangtua dan masyarakat mendidik anak-anak.

Baca Juga: Bukan Jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Ini Tugas Utama Nadiem Makarim

Dengan cara itu, pembaca dibantu merumuskan strategi parenting berdasarkan latar belakang geografis, sosial, politik, dan ekonomi yang melingkupi hidup pembaca.

Contohnya: secara geografis, pembaca yang tinggal di Desa Lewoawan, Flores Timur tentu memiliki strategi parenting yang berbeda dengan pembaca yang tinggal di Sleman, Yogyakarta.

Tulisan ini ditulis dengan panduan pertanyaan sebagai berikut:

Mengapa parenting identik dengan kaum perempuan? Bagaimana kaum lelaki mestinya mengambil peran dalam parenting? Apa saja problem dan tujuan parenting di dunia yang berubah cepat?

Baca juga: Bayi Tewas Kesedak Pisang: Salah Siapa?

Mengapa ada kecenderungan anak dididik untuk menjadi pintar dan hebat berkompetisi namun tidak diajarkan menjadi pribadi yang lentur dan negosiatif?

Bagaimana mungkin pembangunan di Indonesia baik di level pusat maupun daerah sama sekali tidak berkolerasi positif dengan pendidikan anak tapi cenderung fokus pada pertumbuhan ekonomi nasional semata?

Beberapa Hambatan Umum

Pertama, Equal Parenting.

Dimensi ini behubungan secara langsung dengan dua hal antara lain pembagian peran yang adil di satu sisi dan persepsi publik tentang peran gender tertentu.

Baca Juga : Peringatan Untuk Para Orang Tua, Remajamu Bukan Komoditi

Mengenai yang pertama, hampir semua orang cenderung sepakat bahwa pembagian peran dalam mendidik anak merupakan hal yang sangat penting guna menghindari ketimpangan perhatian terhadap anak.

Di daerah saya misalnya, diskusi semacam ini sangat jarang karena diasumsikan bahwa pembagian peran merupakan sesuatu yang bersifat otomatis tanpa perlu dibicarakan terlebihdaulu.

Sementara itu, mengenai persepsi publik, itu tampak dalam cara masyarakat pada umumnya mengidentikan parenting dengan peran gender tertentu khususnya kepada kaum perempuan.

Memang, secara kodrati, hanya perempuan yang diberi tanggung jawab melahirkan generasi masa depan. Namun, mengapa kaum perempuan pula yang cenderung memikul tanggung jawab lebih banyak dalam mendidik generasi tersebut?

Baca Juga: Orang Yahudi Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan

Ini juga membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat kita belum mampu membedakan antara gender sebagai pertunjukan dan gender sebagai identitas seksual.

Pada yang pertama, mengutip Butler, gender bersifat performatif dengan basis materialnya terletak pada peran-peran yang dimainkan dalam medan sosial.

Itulah mengapa setiap orang, dari hari ke hari, berjuang menjadi laki-laki/perempuan melalui gestur, pakaian, dan atribut-atribut yang diterima sebagai pakem dan abnormalitas dalam masyarakat.

Sementara itu, pada yang kedua, gender cenderung dikaitkan dengan identitas seksual yang menyebabkan peran keibuan cenderung disematkan hanya pada kaum perempuan yang secara biologis memiliki rahim.

Baca Juga: Orang Tua Penyebab Anak Kecanduan Gawai

Padahal kaum lelaki perlu memikul tanggung jawab yang sama. Menggendong anak, mencuci popoknya, mengajarkan anak belajar, dan berbagai jenis aktivitas lain tidak otomatis menjadi satu-satunya peran seorang perempuan.

Laki-laki juga mesti mengambil peran yang sama. Ini tentu saja tidak sama dengan menuntut perempuan mesti bisa melakukan aktivitas berat yang menguras tenaga sebagaimana yang biasa dilakukan oleh kaum lelaki, seperti memanjat pohon kelapa, menggali sumur, dan sebagainya.

Gagalnya feminisme liberal justru terletak pada tidak tersampaikannya pesan transformasi sampai ke level lokal yang umumnya masing sangat kokoh komunalismenya.

Baca Juga: Pentingnya Empat Kebutuhan Dasar bagi Anak Usia Dini

Akibatnya, pesan pembebasan yang dianut justru dipandang sinis oleh komunitas masyarakat sederhana yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai lokal.

Kedua, Bias Kelas dalam Parenting

Pada umumnya, faktor ekonomi merupakan faktor utama yang menyebabkan adanya bias kelas dalam parenting.

Itu tampak misalnya dalam fenomena di mana diskusi tentang apakah perempuan mesti bekerja penuh sebagai ibu rumah tangga ataukah diberikan kebebasan menggeluti peran sebagai wanita karir.

Baca Juga: Menggali Akar Masalah Pernikahan Anak Usia Dini

Perspektif tersebut cenderung menemui jalan buntuk karena kurang peka terhadap kondisi kelas ekonomi masing-masing keluarga. Dengan kata lain, pembedaan semacam itu justru memperkeruh persoalan yang dihadapi oleh keluarga.

Mestinya, diskusi diarahkan pada memeriksa sejumlah problem ekonomi politik yang melatarbelakangi munculnya kecenderungan tersebut.

Ambil contoh: mayoritas perempuan di NTT misalnya, tidak menganggap perlunya berdebat panjang lebar tentang peran mana yang mesti diambil oleh seorang perempuan entah sebagai ibu atau sebagai perempuan karir.

Baca Juga : Gordon Ramsay : “Antara Memenuhi Keinginan atau Kebutuhan Anak”

Ketiga, Parenting tidak perlu dipelajari karena menjadi orag tua itu otodidak dan tentu saja mesti ikuti model parenring yang diwariskan turun temurun.

Ini kecenderungan umum yang terjadi di hampir semua masyarakat NTT misalnya. Bagi keluarga-keluarga NTT yang setelah menikah cenderung tinggal dekat orangtuanya, parenting merupakan hal yang asing.

Dugaan saya, ini karena keluarga besar memainkan peran penting dalam kehidupan keluarga muda paska mereka menikah.

Baca Juga: Muncul Gejala Phubbing Pada Anak Anda, Gejala Apa Ini?

Memang, hal itu bagus karena terdapat proses saling belajar diantara keluarga muda dan keluarga yang sudah lama menikah. Namun, kecenderungan ini justru menyebakan ketergantungan keluarga muda terhadap orangtua mereka dalam menghadapi beberapa problem tertentu diantaranya parenting.

Keempat, Dilema Dua Tujuan Parenting

Dilema ini terdapat dalam hampir semua keluarga di Indonesia pada masa ini. Ada dua pilihan yang sama-sama sulit dalam kaitannya dengan tujuan parenting: antara mendidik anak menjadi pintar dan mendidik anak menjadi seorang manusia.

Baca Juga: Ini Lima Prinsip Bill Gates dan Melinda Gates dalam Mendidik Anak

Pada yang pertama, itu disebabkan oleh intervensi berlebihan dari karakter masyarakat kita yang sangat teknokratis.

Masyarakat jenis ini membuat tidak sedikit orang tua dewasa ini menjejali kepala anak-anaknya dengan pelbagai jenis keterampilan dan pengetahuan kognitif sebagai bekal untuk mengahadapi dunia di masa depan.

Dalam benak orangtua, dunia masa depan akan jauh lebih kompleks dan karena itulah anak perlu memahami semua hal sedini mungkin. Anak diberi les privat, kursus sana sini, ikut kegiatan diskusi dan seterusnya.

Baca Juga: Berapa Banyak Waktu Anak Anda Bermain?

Sementara itu, pada yang kedua, terdapat juga kesadaran dalam diri para orangtua yang jumlahnya tidak terlalu banyak bahwa tujuan pendidikan anak adalah membuatnya menjadi manusia.

 Mengenai hal ini, satu-satunya parameter yang dapat digunakan adalah bersosialisasi dan berelasi dengan sesamanya dalam suasana intimasi dan solidaritas.

Implikasi lanjutan dari dua model di atas yakni anak yang dididik untuk berkompetisi akan cenderung individual. Itu saya amati ketika berkuliah di salah satu kampus di Yogyakarta.

Baca Juga: Penelitian Membuktikan bahwa Anak yang Sukses, Mempunyai Ibu yang Bahagia

Hampir semua mahasiswa kelihatan sibuk dan serius belajar dan berkompetisi menjadi yang terpenting dan nomor satu di mata birokrasi kampus.

Seolah-olah kecerdasan hanya bisa diperoleh dengan cara membaca buku dalam ruangan yang sepi dan bukan melalui aktivitas diskusi dan obrolan santai dengan teman-teman di kantin, pedagang angkringan, penjual pakaian di pasar, dan masyarakat umum.

Sementara itu anak yang didik dengan model kedua cenderung akan lebih bersolider dengan orang lain karena sejak kecill sudah dilatih untuk bersolider dengan temannya….(Bersambung..)

Foto dari: id.pinterest.com

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of