Eposdigi.com – Jalanan kota Larantuka mendadak ditutupi batu bata. Demikian postingan ama Ryko DE Buser. Dua kampung di kota Larantuka terlibat konflik hingga aparat keamanan mesti harus turun tangan.
Bupati sebagai kepala daerah pun tidak tinggal diam dengan menghimbau agar masyarakat menjaga ketertiban dan sudah barang tentu, himbauan ini berkaitan dengan perayaan Semana Santa yang hingga kini menjadi ikon kota Larantuka.
Konflik antar kampung di kota Larantuka saat ini bukan hal baru bagi kita. Saya melihat konflik yang demikian pun terjadi di kota Ende ketika 3 tahun saya menghabiskan pendidikan tingkat menengah atas. Bahkan tiap kampung ada geng-geng yang suka malak, suka buat onar, dan lainnya.
Baca juga: Warga Woten Dan Saosina Di Adonara Sepakat Damai
Mengikuti diskusi kasus ini, perspektif kita masih sangat moralis bahkan sampai mengkategorikan masyarakat yang terlibat konflik tersebut disebut sebagai setan. Barangkali sebutan ini pun ada kaitan dengan bentrok ini terjadi menjelang pekan suci bagi umat Katolik kota Larantuka.
Konflik yang melibatkan dua kampung di kota Larantuka ini saya kategorikan sebagai konflik kampung kota. Kampung menggambarkan kawasan yang difungsikan sebagai tempat untuk bermukim.
Kampung menandakan peradaban di mana manusia mulai memilih menetap di sebuah wilayah yang artinya mengakhiri periode nomaden (berpindah-pindah). Kampung menggambarkan karakteritik masyarakat yang masih guyub-rukun bahkan antara satu dengan yang lain masih bisa ditarik garis kekerabatan.
Sementara kota merupakan pemusatan aktivitas ekonomi antar kampung yang kemudian secara perlahan berkembang menjadi pusat administrasi ketika kondisi objektif memungkinkan berdirinya sebuah kekuasaan yang kemudian kita kenal dengan kerajaan.
Baca juga: Mencegah Konflik Antar Warga Di Adonara Sebelum Terjadi (Lagi)
Kota dalam perkembangan sebagai pusat administrasi kekuasaan ini kemudian saat ini kita kenal sebagai ibukota baik kecamatan, kabupaten maupun provinsi. Tarolah paling mudah memahami kota Jakarta yang dulu dikenal sebagai Batavia sebagai pusat kekuasaan koloni Belanda.
Karakteristik masyarakat kota dilihat secara historis tentu sangat berbeda dengan masyatakat kampung. Masyarakat kota lebih heterogen dari berbagai latar budaya. Dari sinilah konflik kampung kota itu menemukan relevansinya ketika mulai ada benturan satu atau dua budaya yang berbeda karakteristik.
Perbedaan antara kampung dan kota ini secara historis dapat kita pahami dari relasi sosial yang terbentuk yakni relasi sosial yang terbentuk secara alami (hubungan saudara) dan relasi sosial terbentuk secara mekanistik (hubungan bisnis atau kepentingan).
Lantas seperti apa kampung kota? Sebuah kawasan dimana satu atau lebih kampung terhubung melalui relasi kekuasaan (relasi mekanistik) ketika kondisi objektif mengharuskan relasi tidak hanya terbangun dalam batasan kampung tetapi mesti harus menerobos keluar kampung ketika terjadi over produksi.
Baca juga: Mencegah Konflik Di Daerah Dengan Dialog
Over produksi dimana komoditas yang dihasilkan mengalami surplus sehingga mesti harus dibarter dengan komoditas dari kampung yang lain.
Keharusan adanya interaksi ekonomi antar kampung ini kemudian melahirkan apa yang kita kenal dengan pasar dan secara lambat laun, pemusatan aktivitas ekonomi ini menemukan syarat objektif terbangun sebuah struktur kekuasaan.
Makanya jangan heran kalau kemudian kita kenal ada retribusi-retribusi di pasar bahkan retribusi itu sampai saat ini masih ada dan menjadi salah satu sumber pemasukan Pendapatan Asli Daerah.
Masih berkaitan dengan telaah objektif bahwa sebelum kolonialisme masuk, telah terbentuk kerajaan-kerajaan dari adanya relasi sosial secara mekanistik hingga membentuk sebuah struktur kekuasaan di pasar-pasar barter. Kita kemudian mengenal Kerajaan Larantuka, Adonara dan persekutuan watan lema.
Baca juga: Alangkah Lucunya Negeri Ini, Pembuat Masalah Kok Jadi Duta
Tahun 1512, Portugis menginjakan kaki di Nusantara yang terdorong oleh kondisi krisis merkantilisme di dunia barat. “Kalau mau selamat, bangun koloni ke wilayah lain.” Demikian gumam para raja di barat sana.
Portugis bergerak menguasai pusat-pusat pelabuhan bahkan dengan pengerahan kekuatan bersenjata. Portugis memporakporandakan aktivitas perdagangan nusantara hingga membangun legitimasi politik dengan kerajaan-kerajaan yang memiliki kesamaan kepentingan.
Ketika Portugis terpukul mudur dari Tidore, sebagian bergerak ke Solor lalu kemudian diserang oleh persekutuan Solor Watan lema atas dukungan kerajaan Tidore. Portugis akhirnya terpukul mudur ke Larantuka.
Larantuka merupakan sebuah kerajaan yang sudah terkenal sejak kerajaan Majapahit melalui Gresik mulai mengekspansi wilayah timur. Portugis walaupun mendapatkan perlawanan di Solor tetapi mampu membangun kekuasaan di Larantuka.
Ketika terjadi perjanjian antara Belanda dan Portugis yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari Portugis ke Belanda, perebutan kekuasaan Portugis itu mulai nampak.
Baca juga: Menggali Akar Masalah Pernikahan Anak Usia Dini
Hal demikian juga sebagai akibat dari kebijakan Portugis membebaskan para budak yang kemudian kita kenal dengan tupasi (Portugis hitam). Banyak pribumi kemudian menikah dengan Portugis hitam untuk bisa mendapatkan kemerdekaan.
Praksis, basis kekuasaan Portugis hitam mulai terbangun menjelang perpindahan Portugis dari wilayah Flores dan Timor ke Timor-timur bahkan Portugis hitam justru megorganisir pribumi melakukan perlawanan terhadap Portugis.
Tidak hanya Portugis, konflik antar kerajaan mulai mencuat dari adanya dorongan kenapa Portugis kemudian harus hengkang ke Timor-timur.
Praksis, kerajaan-kerajaan yang dahulu berelasi dengan Portugis satu sama lain terlibat konflik. Satu sama lain saling berebut memperluas wilayah kekuasaan.
Tidak pelak, konflik antar kampung atau dalam sebutan lewo dimanfaatkan untuk meperluas wilayah kekuasaan hingga struktur dan kekuasaan lewo makin keropos akibat politik pecah-belah nyaris ala Belanda.
Baca juga: Diplomasi Seperti Apa Yang Paling Pas Untuk Mengatasi Masalah Global?
Dalam kondisi yang demikian, Belanda kemudian menemukan sebuah strategi untuk bisa menggantikan kekuasaan Portugis yakni dengan menjalankan politik damai.
Politik damai kemudian ditindak lanjuti dengan pembentukan struktur baru sesuai kepentingan kolonial bahkan melakukan relokasi ke daerah subur dan pusat-pusat kekuasan.
Sampai disini, saya teringat akan kenapa konflik antara PKI dan TNI AD waktu itu mulai memucak hingga kepermukaan hanya karena Soekarno sudah mulai batuk-batuk. Hal demikian pun bisa terbaca dari geliat kerajaan-kerajaan begitu pun apa yang kita kenal dengan sebutan Tupasi dalam membangun dan memperluas wilayah kekuasaan.
Kembali pada politik damai Belanda, tahun 1904 terjadi perang yang kemudian kita kenal dengan perang Hongi. Perang ini bermula dari perseteruan keluarga yang kemudian membangun dukungan ke Raja Adonara dan persekutuan Hinga.
Pun kita juga dikisahkan bahwa komunikasi antara persekutuan Hinga dan raja Adonara lagi tidak beres. Perseteruan dua keluarga tersebut kemudian merembet menjadi perseteruan antara raja Adonara dan Persekutuan Hinga. Bahkan terus merembet ke perseteruan raja Adonara dan raja Laranruka.
Ketika terjadi persaingan antar kolonial atas komoditas-komoditas perdagangan dunia, Belada menaikan nilai tawar dengan membumi hanguskan sebagian tanaman perkebunan yang kemudian kita kenal dengan armada Hongi.
Baca juga: Pemadaman Listrik Tak Jadi Masalah, Jika Anda Sudah Mempersiapkan Ini
Raja Adonara kemudian membangun dukungan dari Belanda. Persekutuan hinga Terpukul mundur lalu Belanda, dengan memanfaatkan keterlibatan kakang Kiwangona sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan Larantuka, raja Larantuka ditangkap kemudian diganti dengan raja baru yang diangkat sendiri oleh Belanda.
Demikianlah Belanda menjalankan politik Damai untuk membangun relasi kekuasaan dari bekas wilayah kekuasaan Portugis. Dengan sekali dayung, Belanda mampu menguasai dua kerajaan besar sekaligus kerajaan-kerajaan yang berelasi dengan dua kerajaan ini.
Setelah mampu mengendalikan kekuasaan, Belanda kemudian membangun kekuasaan di Waiwerang ketika tahun 1930an kerajaan Adonara berpindah ke Waiwerang dan juga Larantuka setelah Belanda menemukan alasan yang tepat untuk menggantika raja Larantuka.
Cikal bakal kampung kota mulai dari sini. Mulai dari pemusatan kekuasaan Belanda. Dari adanya pemusatan kekuasaan ini, tumbulah kampung-kampung yang mana secara historis juga berkaitan dengan relasi kekuasaan Belanda dalam menjalanan politik damai.
Baca juga: Resesi Ekonomi Harusnya Tidak Jadi Masalah Jika..
Ini artinya, perseteruan antar kampung/lewo menjadi celah bagi Belanda untuk memperluas wilayah kekuasaan. Dalam arti, kampung kota adalah kampung-kampung yang berdiri diseputar pemusatan kekuasaan Belanda sebagaimana di waiwerang dan juga Larantuka.
Dari sinilah konflik antar kampung dapat kita konstruksi untuk mendapatkan pemahaman secara historis dialektik bin terang-benderang. Sampai disini saya kembali menganalogikan perseteruan antara Wiranto dan Prabowo menjelang dan setelah kejatuhan Soeharto.
Memuncaknya perseteruan antara Prabowo dan Wiranto menandakan kekuasaan Soeharto sudah batuk-batuk. Hal demikian pun terjadi menjelang dan setelah Belanda hengkang kaki dari Nusantara.
Sebagaimana di Adonara, konflim tanah berujung perang tanding adalah juga sebagai akibat dari keroposnya struktur kekuasaan lama yang kalau secara garis besar ditarik dari kekuasaan raja Larantuka dan raja Adonara. Dahulu, konflik tanah dengan mudah diselesaikan oleh raja.
Baca juga: Memiliki Lima Skills Ini Membuat Pekerjaanmu Tidak Dapat Diambil Alih Oleh Robot
Kembali pada pemusatan kekuasaan sebagai cikal bakal kampung kota, pemusatan kekuasaan mulai menjadi lahan perebutan sekutu-sekutu Belanda. Tidaklah salah bila kemudian nuansa politik kita sangat primordialis.
Warisan primordialisme berpolitik ini masih tetap dijaga oleh orang-orang yang haus kuasa bahkan bukan tidak mungkin, politik primordial yang kemudian saya sebut sebagai politik identitas itu hingga berdara-dara.
Diakhir cuap-cuap saya ini, saya mengajak kita membangun asumsi untuk kemudian akan kita diskusikan lebih lanjut hingga mendapatkan sebuah pemahaman berkaitan dengan sentimen priodial menjelang pilkada dari perseteruan antar kampung di kota Larantuka. Bahkan konflik ini menjelang pekan suci bagi umat Katolik.
Yang pertama. Keberadaan kampung kota terkait erat dengan upaya Belanda membangun legitimasi kekuasaan atas bekas wilayah kekuasan Portugis dengan menjalankan Politik damai sebagai akibat dari makin keroposnya kekuasaan Portugis di Wilayah Flores dan Timor.
Yang kedua, konflik yang sudah terbangun jauh sebelum adanya pemudasan kekuasaan belanda di Larantuka kembali menemukan momentum ketika Belanda harus hengkang dari Nusantara. Lambatnya konsolidasi kekuasaan dari Jakart juga menjadi pemicu kembali munculnya perseteruan antar pribumi.
Yang ketiga, konflik antar kampung berelasi dengan kekuasaan mengingat tidak menutup kemungkinan, kampung-kampung kota jauh sebelum berelasi dengan kekuasaan Belanda sudah terlibat konflik.
Baca juga: Tragedi Susur Sungai Terulang Kembali, Kali Ini Terjadi Di Ciamis, Korban Tewas 11 Murid
Yang keempat, konflik antar kampung kota bukan hanya dipicu oleh perbedaan latar belakang berikut budaya yang melekat tetapi juga warisan konflik masa lalu.
Yang kelima, bukan tidak mungkin bahwa konflik akan mencuat menjelang hajatan pilkada.
Sebelum kita menarik solusi, kelima poin diatas mesti terlebih dahulu kita diskusikan untuk mendapatkan sebuah pemahaman bersama.
Walaupun demikian, saya teringat sebuah ungkapan yang dikutip oleh ama Kamilus Tupen Jumat sebagai sebuah ungpakan yang menggambarkan bahwa konflik jaman dulu sudah berlalu atau dalam ungkapan, “Paji nai kae, demon ake beto mure.”
Dengan demikian, ungkapan Titehena tidak bisa hanya sebatas enak dimulut tetapi menjadi tugas kita untuk mematangkan kondisi dimana ungkapan terebut tidak lagi idealis hanya sebatas manis dimulut.
Bagi kawan muda yang terlibat konflik, jangan mau diwarisi perseteruan yang tidak jelas juntrungannya. Kita Muda, merah dan militan.
Energi poitip ini bukan kemudian kita luapkan dalam bentuk pelitik identitas tetapi menjadi kekuatan kita untuk mendorong perubahan revolusioner. Basis perubahan adalah massa yang sadar.
Tugas kita adalah membangun kesadaran massa dari mahalnya BBM, asinnya air bersih, listrik yang mati hidup, rusaknya jalan, tercekiknya petani dan melambungnya harga barang kebutuhan.
Baca juga: Monash University Indonesia, Kampus Asing Pertama Yang Beroperasi Di Indonesia
Saya perna menyandang gelar tukang mabuk (ae pelate) tetapi kondisi berlebihan alkohol itu justru saya gunakan untuk membangun kesadaran bersama kawan minum. Melakukan agitasi dan propaganda gagasan.
Mabuk, bagi saya justru menjadi kesempatan untuk menarik sari dengan menimbang-timbang informasi yang melesak masuk ke kepala saya entah dengan mendengar, melihat atau membaca melalui diskusi bersama kawan minum.
Tentu saya pasti banyak bicara tetapi tidak sampai bicara dengan kaki dan tangan segala.
Terakhir, saya berterima kasih bukan karena dalam kondisi mabuk saya menulis cuap-cuap ini, tetapi hanya karena ada yang berusaha mengakses akun facebook saya dengan aplikasi yang kemudian merusak hardisk dan memori laptop.
Kemumetan otak karena akan ada banyak data penting yang hilang ini saya luapkan dalam bentuk ulasan historis konflik antar kampung kota di kota Larantuka; kota seribu kapel, Tuan!
Salam Gemohing!!. Gemohing itu Kita!!
(Ditulis dan di bagikan ke group Facebook Suara Flotim pada 23 Maret 2016). Foto : ublik.id
Leave a Reply