Eposdigi.com – Pandemi COVID-19 adalah jeda peradaban. Sebuah perhentian sebentar, yang mengoreksi metode berbisnis, cara berelasi, dan watak kancah perpolitikan kita; sekaligus mengekspos kerentanan kita terhadap berita palsu, informasi yang salah, disinformasi, dan harapan palsu.
Mempertimbangkan bahwa wabah tersebut merupakan masalah global yang membutuhkan respon global, reaksi cepat seperti menutup perbatasan negara tampak tidak masuk akal jika hanya beberapa negara yang melakukan ini dan yang lain tidak, atau malah bereaksi jauh lebih lambat, terlalu lambat.
Sebaliknya, komunitas internasional perlu mengembangkan regulasi multi-aspek dan holistik untuk memastikan akses publik ke sumber informasi saintifik terpercaya tanpa mencederai nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Kebijakan yang tergesa-gesa karena didorong oleh kepanikan dan histeria massa menyebabkan beberapa pemerintah dianggap membajak krisis kesehatan masyarakat sebagai kedok untuk merebut kekuasaan baru yang tidak ada hubungannya dengan wabah.
Persis di situ, Freedom House (2020) mencatat bahwa demokrasi telah mengalami resesi lebih dari satu dekade, dan lebih banyak negara telah kehilangan daripada memperoleh hak-hak sipil dan politik setiap tahun terutama dalam masa pandemik ini (selengkapnya bisa diakses pada https://freedomhouse.org/countries/freedom-world/scores).
Ayo Baca Juga: Kekuatan Sentuhan dalam Dunia ‘Physical Distancing’
Di Hongaria misalnya, undang-undang baru telah memberikan Perdana Menteri Viktor Orban wewenang untuk menghindari Parlemen dan dapat memerintah berdasarkan dekrit.
Demikian pula di Inggris yang memiliki sejarah panjang demokrasi di mana RUU Coronavirus yang dikeluarkan secara cepat melalui parlemen, memberikan kementerian kekuasaan untuk menahan dan mengisolasi orang tanpa batas, melarang pertemuan publik termasuk protes, dan menutup pelabuhan dan bandara.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu bahkan telah menutup pengadilan dan mulai mengawasi warga yang dianggap melakukan intrusi dan memberikan wewenang kepada agen keamanan internal negaranya untuk melacak warga menggunakan rahasia data ponsel yang dikembangkan untuk kontra-terorisme.
Di Yordania, setelah berlakunya UU Pertahanan darurat, Perdana Menteri Omar Razzaz menegaskan bahwa pemerintahannya akan ‘berurusan dengan tegas’ dengan siapa saja yang menyebarkan “desas-desus, berita palsu yang menabur kepanikan.
Di AS, Departemen Kehakiman meminta kongres untuk menghilangkan perlindungan hukum bagi pencari suaka dan menahan orang tanpa batas waktu tanpa pengadilan (New York Times, 30 Maret 2020).
Tidak ketinggalan, di Asia, Kongres Filipina mengeluarkan Undang-Undang yang memberi Presiden Rodrigo Duterte kekuatan darurat untuk menangani pandemi. Anggota parlemen bahkan mempermudah rancangan undang-undang sebelumnya yang memungkinkan presiden untuk mengambil alih bisnis swasta.
Demikian juga Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha diberi wewenang memberlakukan jam malam, menyensor media berita, dan mengintimidasi wartawan yang mengkritik respon pemerintah terhadap wabah.
Ayo Baca Juga: Universitas Islam Internasional Indonesia Jadi Kiblat Riset Islam Moderat
Berhadapan dengan krisis demokrasi semacam itu, termasuk tentu saja krisis ekonomi dan kesehatan, dibutuhkan pendekatan multilateral. Disebut demikian karena beberapa contoh di atas memperlihatkan bahwa selama pandemi, beberapa negara di belahan dunia justru mempraktekkan unilateralisme, bahkan dengan watak otoritarian yang hampir murni.
Mengatasi risiko itu, multilateralisme perlu mencerminkan kesadaran untuk mengakomodasi mereka yang tertinggal oleh globalisasi. Maksudnya, meningkatkan inklusivitas, keragaman, kesetaraan, dan efisiensi dalam kerja sama multilateral adalah cara untuk mengakhiri pandemi sekaligus memulihkan kepercayaan pada multilateralisme sebagai pendekatan yang meyakinkan untuk mengatasi masalah global di abad ke-21.
Kuncinya Adalah Parlemen
Piagam PBB pada tahun 1945 yang menandai lahirnya multilateralisme merupakan landasan internasional untuk membangun sistem universal institusi di bidang politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Namun, tantangan yang kita hadapi saat ini jauh lebih kompleks daripada 50 tahun lalu, mulai dari persoalan perubahan iklim, migrasi massal, dan revolusi industri baru yang hanya dapat diselesaikan dengan upaya bersama oleh semua negara.
Persis di situlah, tugas konvensional parlemen atau DPR diantaranya mengawasi kerja pemerintah, menyusun UU dan 𝘣𝘶𝘥𝘨𝘦𝘵𝘪𝘯𝘨 tidak cukup memadai lagi dalam menghadapi tantangan nasional, regional, dan internasional.
Dibutuhkan konsep baru diplomasi yang lebih lentur dan berdaya gedor dengan melibatkan banyak stakeholders yakni Multi-Track Diplomacy.
Maksudnya, tugas diplomasi bukan hanya didominasi pemerintah (Kementerian Luar Negeri), tetapi juga menjadi tanggung jawab stakeholders yang lain, termasuk parlemen.
Dengan kata lain, dimensi kerja sama sebagai sebuah komunitas multilateral, bukan hanya untuk bertahan hidup dari pandemi tetapi untuk secara responsif mengembalikan dimensi kesetaraan yang hampir hilang dalam relasi antarnegara.
Pendekatan ini penting untuk mengatasi permasalahan terkait politik, ekonomi, sosial budaya, dan menolak segala bentuk unilateralisme yang mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan dalam hubungan internasional antarnegara di Asia khususnya dan dunia pada umumnya.
Penting untuk dicatat bahwa multilateralisme tidak membatasi kedaulatan nasional melainkan meningkatkannya.
Disebut demikian karena, menyitir Sekretaris Jenderal International Telecommunication Union (ITU) Hualin Zhao, pemangku kepentingan multilateral ITU bukan hanya mencakup negara anggota tetapi juga perusahan swasta, akademisi universitas, dan aktivis (Dig.watch, 24 April 2020).
Sementara itu, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam webinar yang diselenggarakan bersama dengan Inter-Parliamentary Union (IPU), WHO dan UNDRR mengatakan bahwa di saat krisis seperti sekarang, parlemen memiliki tugas untuk memastikan bahwa semua tindakan yang diambil menghasilkan peningkatan perlindungan dan dukungan bagi yang paling rentan (UNDRR, 28 April 2020).
Ayo Baca Juga: Krisis Pangan Mengintai di balik Punggung Corona
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Presiden International Parliament Union (IPU) Gabriela Cuevas bahwa setiap anggota parlemen memiliki tanggung jawab untuk menjadikan planet ini sebagai tempat yang lebih baik bagi orang-orang yang diwakili, terutama wanita dan pemuda.
“Kita adalah orang-orang yang bisa menghentikan perubahan iklim, kita dapat membangun ekonomi yang lebih inklusif dan hijau, kita bisa menjadi pendukung yang gigih untuk kesetaraan gender, dan kita dapat memastikan bahwa kita mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi COVID-19 dengan tegas, sambil menjunjung nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Dalam menghadapi tantangan ini, kita juga harus mempertahankan multilateralisme dan menerjemahkan komitmen internasional ke dalam realitas nasional dan lokal,” katanya (IPU, 14 Juli 2020). Bersambung…..
Foto: liputan6.com
[…] Ayo Baca Juga: Diplomasi Seperti Apa Yang Paling Pas Untuk Mengatasi Masalah Global? […]
[…] Baca Juga: Diplomasi Seperti Apa Yang Paling Pas Untuk Mengatasi Masalah Global? […]