Kekuatan Sentuhan dalam Dunia ‘Physical Distancing’

Budaya
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Pandemi covid-19 merupakan sebuah jeda peradaban yang mempertanyakan kembali sejumlah asumsi kita tentang manusia sebagai makhluk sosial-politik. Ia mengoreksi hasrat, fantasi, harapan, kegelisahan, dan bagaimana cara kita berelasi dengan universalitas.

Dibahasakan secara berbeda, pandemi ini hendaknya membuka medan pembahasan baru bahwa manusia bukan hanya makhluk yang memiliki dimensi interpersonal melainkan juga dimensi politik.

Dan justru melalui sentuhan, dimensi politik itu menemukan relevansinya secara imanen dan transenden. Hal ini juga akan menjawab pertanyaan mengapa jumlah kasus KDRT meningkat selama masa pandemi diikuti isolasi mandiri.

Ya, karena orang tidak diberikan perangkat atau metode bagaimana bernegosiasi dengan orang, lingkungan, dan suasana yang sama dan monoton dalam waktu yang lama. Inilah dimensi politik itu!

Ayo Baca: Corona dan Kemanusiaan Kita

Sialnya, saat ini, kita berada dalam sebuah masa di mana sentuhan merupakan tindakan yang dilarang oleh keputusan-keputusan sebuah rezim politik.

Ia menjadi apa yang dalam kosa kata biopolitik, disebut sebagai mekanisme kepengaturan rezim yang mengontrol tubuh warga negara, termasuk menyeleksi apa yang pantas dan tidak pantas disentuh.

Dan kita, sebagai warga negara yang dipercaya rasional dalam register demokrasi liberal, mengikuti semuanya tanpa diberikan kemungkinan lain untuk berpikir secara kritis atau bahkan mengkritik kebijakan tersebut.

Sampai di situ, mengapa refleksi tentang isolasi dan karantina wilayah tidak membuat kita memikirkan kembali penjarakan sosial (social distancing) dalam arti sebenarnya yang justru kita lakukan setiap saat, bahkan sejak dalam pikiran?

Kita membangun rumah dengan pagar yang tinggi dengan kintal tetangga, membangun gedung kampus yang menyerupai mall sehingga tidak ada tempat bermain bagi mahasiswa, membangun batas-batas antarkabupaten dan provinsi bahkan negara.

Kita menciptakan batas konseptual antara ruang privat dan ruang publik, batas arsitektural antara kamar tamu dan kamar keluarga, batas figuratif antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa, batas ekonomis antara usia produktif dan usia non-produktif.

Ayo Baca: Cahaya Menyeruak di tengah Kelam Corona

Tidak hanya itu, pun kita melahirkan batas kewargaan antara nasionalis dan fundamentalis, batas religiusitas antara Kristen dan non-Kristen, batas gender antara heteroseksual dan LGBTQ, batas antara orang Indonesia Barat dan orang Indonesia Timur, batas antara spektrum orang pintar dan orang bodoh, kita yang rajin baca dan mereka yang malas baca buku, dan seterusnya.

Persis di situ, bukankah kita adalah makhluk yang terlahir dengan bakat pintar berpura-pura?

Tanpa bermaksud terlalu lama mengelaborasi hal di atas, argumen pokok saya adalah bahwa sampai kapan pun, sentuhan tidak akan pernah bisa tergantikan!

Dalam arti yang luas, sentuhan itu sama pentingnya dengan makanan dan keamanan. Dikatakan demikian karena pengalaman pertama semua manusia yang paling fundamental adalah sentuhan.

Ia adalah bahasa pertama sebelum otak kita diajarkan menghafal kata-kata dan bibir kita didikte mengeja aksara.

Bahkan, Direktur the Touch Research Institut di University of Miami School of Medicine, Tiffani Field mengatakan bahwa sentuhan memiliki dampak yang lebih langsung dari kata-kata karena sentuhan fisik merujuk pada hubungan perubahan bioelektrik dan kimiawi yang pada dasarnya mengendurkan sistem saraf (The Power of Touch, Especially for Men, New York Times, 5 Desember 2017).

Senada dengan argumentasi di atas, dalam bukunya Touch: The Science of Hand, Heart, and Mind, ahli saraf Universitas Johns Hopkins, David Linden menulis bahwa sentuhan menghilangkan rasa, sakit dan semua sensasi yang beragam mengalir dari kulit, otak, dan seluruh tubuh.

Dan ini berkaitan dengan kualitas imun tubuh manusia sebagai ujung tombak melawan pandemi. Tetapi mengapa wacana ini diabaikan dalam percakapan publik, terutama, negara?

Bandingkan analogi ini. Semua orang tahu bahwa stress adalah masalah psikologis namun tidak banyak yang sadar bahwa gejala itu juga merupakan fenomena biologis yang eksplisit.

Disebut demikian karena proses komunikasi dalam tubuh manusia dapat digambarkan secara sederhana seperti ini: tubuh berbicara ke otak, dan otak kembali memerintah tubuh.

Ayo Baca: Corona dan Ujian bagi Pendidikan Kita

Artinya, gagasan bahwa kondisi kekebalan seseorang dapat diubah oleh aktivitas di bagian otak yang peka pada sentuhan, sama sekali bukan ide yang gila. Orang pasti dapat membayangkan penjelasan di tingkat sel tentang bagaimana semua itu terjadi.

Oleh karena itu, semakin banyak kita belajar tentang sentuhan, semakin kita menyadari betapa pentingnya sentuhan itu dalam semua aspek kehidupan kita entah itu kognitif, emosional, perkembangan perilaku, dan seterusnya, sejak kita keluar dari rahim hingga usia tua.

Sekali lagi, mengapa penjelasan ini tidak ada dalam cara berpikir kita, terutama aparatus terdidik rezim?

𝐌𝐞𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐞𝐧𝐭𝐮𝐡

John Dalrymple dalam Longest Journey menulis, orang zaman ini tidak mempercayai apa-apa lagi selain pengalaman. Mereka tidak meminta Gereja membuktikan kebenaran ajaran-Nya, melainkan hendak mengalaminya, menyaksikannya dalam hidup gereja.

Mereka, seperti rasul Santo Thomas: ingin melihat dan menyentuh. Mereka ingin menemukan tugas Kristus yang bangkit dan menyentuhnya di dalam sekumpulan anggota-anggotanya, termasuk Anda dan saya.

Artinya, menyentuh adalah tanda keakraban, persahabatan, dan rasa hormat. Diketahui secara umum bahwa kita dapat mengenali emosi orang lain dari ekspresi wajah dan suara mereka.

Namun, kita juga dapat mengenali emosi seperti kemarahan, ketakutan, rasa jijik, cinta, syukur, dan simpati dengan beberapa keampuhan melalui sentuhan (bahkan ketika kita tidak dapat melihat orang lain yang menyentuh kita).

Hilangnya dimensi-dimensi sublim dalam sentuhan digambarkan secara tersirat oleh Paul Virillio dalam The Lost Dimension yang menulis bahwa masyarakat kota postmodern adalah komunitas manusia yang telah kehilangan berbagai dimensi arsitektural.

Inilah kota yang telah kehilangan dimensi interaksi, tatap muka, aura, dan ingatan. Tanpa sentuhan, tidak ada interaksi, tidak ada aura, tidak ada ingatan, tidak ada manusia.

Ayo Baca: Siapa Yang Diprioritaskan Untuk Mendapat Vaksin Corona?

Mengakhiri ulasan singkat ini, saya menyarankan, sering-seringlah menyentuh orang terdekatmu secara fisik dan emosional.

Belajarlah juga membuat pertimbangan tentang bagian mana yang perlu Anda sentuh, kapan waktu yang tepat untuk menyentuh, dan kepada siapa Anda memberikan sentuhan tersebut.

Ilustrasi dari Pinterest.

Sebarkan Artikel Ini:

1
Leave a Reply

avatar
1 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Ayo Baca Juga: Kekuatan Sentuhan dalam Dunia ‘Physical Distancing’ […]