Menggali Esensi “Tanam Apa yang Kita Makan – Makan Apa Yang Kita Tanam”.

Ketahanan Pangan
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Sebagian besar dari kita di Flores Timur akrab dengan kalimat ini. “Tanam Apa yang Kita Makan, Makan Apa Yang Kita Tanam”. Karena sebagian kita akrab dengan ungkapan ini maka saya percaya bahwa kita sudah sungguh memahami esensi dari ungkapan ini.

Karena itu, tulisan ini barangkali hanya cocok ditujukan pada mereka yang belum tahu ungkapan tersebut. Minimal mengingatkan kita yang sudah tahu bahwa ungkapan tersebut ada diantara kita. Keberadaannya dalam berbagai ukuran.

Hemat saya, ungkapan di atas mengandung dua kalimat utama. Pertama kalimat “Apa yang Kita Tanam” Dan lainnya adalah “Apa Yang Kita Makan”. Kedua kalimat ini didahului dengan kata tanya “Apa”. Karena itu maka pertanyaan ini harus dijawab.

Bagi saya jawaban atas dua pertanyaan ini tidak sederhana. Butuh perenungan dan refleksi yang mendalam untuk menjawab pertanyaan ini sesuai konteksnya. Tidak boleh asal jawab. Tidak boleh dengan jawaban yang asal.

Sebelum menjawab dua pertanyaan tersebut maka yang paling awal kita lakukan adalah memahami konteksnya. Mendekati konteksnya, kita diantar dengan dua pertanyaan juga. Apa yang melatari ungkapan itu dan Apa tujuan dari pertanyaan itu diajukan.

Karena konteks harus dibingkai oleh batasan ruang dan waktu, maka ada baiknya jika kita juga membatasi konteks ungkapan tersebut diatas, dalam ruang Flores Timur dan sekitarnya dan pada waktu saat ini.

Baca Juga:

Gizi Buruk di NTT itu Ibarat “Tikus Mati di Lumbung Padi”

Sebagai masyarakat petani, kemarau yang panjang saat ini membawa konsekuensi yang tidak sederhana bagi masyarakat kita. Iklim kering NTT dengan curah hujan sedikit, pasti menjadi lebih kering di kemarau yang panjang. Konsekuensinya gagal panen. Setidaknya hasil panen berkurang.

Apalagi hingga kini kita belum menemukan cara-cara baru mengolah lahan pertanian di NTT. Cara-cara baru yang kemudian menjadi pilihan yang ditempuh oleh mayoritas petani di NTT termasuk di Flores Timur.

Kita menghadapi banyak tantangan baru yang rumit dan kompleks, namun tidak memiliki alternatif-alternatif baru untuk menyelesaikan masalah ini. Masalah baru dengan kompleksitas baru pasti tidak akan mempan jika kita masih menggunakan cara-cara lama untuk menanganinya.

Cara kita bertani, cara kita mengolah lahan, dari mayoritas petani kita masih sama saja. Mungkin masih sama dengan cara orang tua kita mengolah lahan pertanian 50 tahun bahkan 100 tahun lalu.

Tanam Apa Yang Kita Makan bukan hanya soal Apa yang Kita Tanam, melainkan juga menemukan cara-cara baru yang sesuai dengan tantangan hari ini untuk memastikan apa yang kita tanam tumbuh subur dan menghasilkan panen melimpah.

Sebelum itu; sebelum kita memastikan cara-cara baru mengolah lahan pertanian yang sangat penting kita jawab adalah APA YANG KITA TANAM hari ini? Menjawab pertanyaan ini membutuhkan banyak variabel.

Baca Juga:

Menjadikan Kelor Ikon NTT Seperti Ginseng di Korea

Ketersediaan benih, kemandirian terhadap benih, diversifikasi tanaman pangan, daya tahan terhadap kondisi kekeringan ekstrim, daya tahan pasca panen, resistensi tanaman terhadap iklim NTT menjadi variable-variabel yang harus dijawab terlebih dahulu.

Apakah kita masih memiliki cukup benih lokal? Apakah benih lokal kita adalah benih-benih unggulan? Seberapa banyak pilihan kita atas benih?  Hanya satu jenis, atau ada banyak pilihan lain yang bisa kita ambil dari apa yang kita miliki,

Apakah benih-benih ini bisa diakses dengan mudah oleh petani-petani kita?  Apakah benih-benih yang kita tanam ini bisa tumbuh baik, berbuah lebat dan bisa tahan disimpan hingga musim tanam berikutnya?

Setelah ‘selesai’ dengan urusan benih lokal, variable berikutnya adalah bagaimana cara kita mengolah lahan sebelum tanam, pada saat penanaman dan memastikan apa yang kita tanam tumbuh subur menghasilkan panen melimpah?

Cara-cara baru apa saja yang bisa kita tempuh yang menjadi alternatif-alternatif untuk memastikan panen melimpah itu? Berapa banyak cara yang kita miliki? Teknologi tepat guna apa saja yang kita gunakan untuk memastikan semua proses berlangsung efektif sekaligus efisien?

Lalu kemudian setelah panen. Apakah ada cara-cara baru untuk memastikan hasil panen kita diolah dengan baik dan bertahan lama dan cukup untuk memenuhi kebutuhan lokal? Apakah hasil panen kita bisa dijadikan bibit yang bisa bertahan lama hingga musim tanam berikutnya?

Baca Juga:

Menakar Upaya READSI Daulatkan Petani NTT

Kedaulatan pangan bukan hanya soal swasembada. Bukan hanya sekedar hasilnya cukup dan terdistribusi secara berkeadilan hingga menjangkau semua masyarakat Flores Timur tanpa kecuali.

Kedaulatan pangan bukan sekedar ‘bohu seba’. Kedaulatan pangan adalah kedaulatan total atas semua mata rantai proses pertanian. Dari benih, tanah, alat produksi, proses pengolahan, panen, pasca panen, pengolahan hasil panen menjadi makanan terbaik, perawatan dan penyimpanan benih selanjutnya.

Kedaulatan petani sejatinya tidak boleh meninggalkan satu mata rantai sistem produksi pertanian ini. Dari input kemudian proses menjadi output kemudian berputar lagi dalam sebuah lingkaran.

Karena kedaulatan pangan juga adalah kedaulatan dalam proses maka, tentu kita juga melibatkan semua mata rantai industri yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi pada sistem pertanian kita. Mulai dari input, selama proses hingga menghasilkan output tertentu.

Mata rantai ini harus terintegrasi dan saling bersinergi untuk memberi output yang terbaik bagi masyarakat. Maka pilihan kita adalah integrasi mata rantai itu.

Jika demikian maka kita kan memasukan soal industri pupuk organic dan distribusinya, industri dan distribusi teknologi tepat guna pertanian, lembaga-lembaga keuangan, saluran-saluran pemasaran hingga industri-industri hilir. Apakah pertanian kita cukup menghasilkan untuk pangan atau kemudian bisa lebih untuk mendukung industri lain menyuplai pakan bagi ternak-ternak kita.

Baca Juga:

Indramayu Hasilkan Susu Ikan Pertama di Indonesia, Flores Timur Kapan?

Bagaimana menciptakan kebun-kebun kita menjadi bagian dari institusi pendidikan atau menjadi bagian dari industri pariwisata. Bagaimana mengintegrasikan semua kemungkinan ini dan menjadikannya satu-kesatuan sistem produksi yang saling menopang satu sama lain?

Makan Apa Yang Kita Tanam adalah salah satu alternatif di hilir sistem produksi pertanian kita. Bagaimana memastikan agar apa yang kita hasilkan dari lahan-lahan pertanian kita dapat terdistribusikan secara berkeadilan untuk semua piring di setiap waktu makan kita.

Memastikan bahwa hanya hasil-hasil terbaik yang masuk kedalam tubuh kita sebagai sumber nutrisi setiap hari. Memastikan bahwa kita sudah mengolah secara tepat semua bahan pangan ini sesuai dengan sasaran manfaatnya.

Memastikan dengan tepat sumber-sumber pangan mana saja yang kita ambil sebagai jawaban untuk mengatasi, mencegah stunting dan memastikan semua bayi dan anak-anak kita tumbuh dengan nutrisi yang cukup sekaligus nutrisi terbaik.

Memastikan anak-anak remaja perempuan kita dan terutama ibu-ibu hamil dan menyusui memiliki pilihan sumber pangan yang dihasilkan dari kebun-kebun kita untuk menjaga tercukupinya kebutuhan mereka akan gizi lengkap dan seimbang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Baca Juga:

Tantangan Kedaulatan Pangan di Tangan Ganjar Pranowo

Makan Apa Yang Kita Tanam adalah memastikan bahwa yang terhidang di setiap piring makan kita hanya terisi oleh hasil pangan lokal yang kita yakini proses mulai dari benih hingga pasca panen, yang kita yakini nutrisinya, yang kita yakini cara mengolahnya, yang kita yakini nutrisinya.

Akhirnya “Tanam Apa yang Kita Makan – Makan Apa Yang Kita Tanam” tidak lagi hanya menjadi sekedar kata-kata yang senang diucapkan. Ia harus menjadi filosofi, yang kemudian menggerakan cara hidup baru bagi masyarakat Flores Timur.

“Tanam Apa yang Kita Makan – Makan Apa Yang Kita Tanam” harus menjadi cara bertindak setiap masyarakat Masyarakat Flores Timur, kapanpun dan dimanapun mereka berada.

Foto jagung titi dari: ticmpu.id

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of