Eposdigi.com – Untuk mendukung pelaksanaan program-program yang telah dirancang, sejumlah kebijakan penting telah ditetapkan oleh pemerintah Kabinet Merah Putih periode 2024-2029. Salah satu kebijakan tersebut adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan berlaku pada awal tahun 2025, dari 11% menjadi 12%.
Namun, sebelum membahas lebih jauh, pernahkah Anda bertanya, apa itu pajak? Mengapa pajak perlu diberlakukan? Mengapa pajak terus mengalami kenaikan dan apa dampaknya secara langsung bagi masyarakat?
Sebagian besar penerimaan negara kita berasal dari pajak. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan, yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung, dan digunakan untuk kepentingan negara demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pajak.go.id/id/pajak).
Baca Juga:
Bercita-cita Menjadi Pegawai Pajak, Ini 8 Perguruan Tinggi yang Memiliki Program Studi Perpajakan
Dari pengertian tersebut, kita dapat melihat bahwa pemberlakuan pajak tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan bersama. Pemerintah mewajibkan pajak secara adil untuk menciptakan subsidi silang antara golongan kaya dan golongan miskin di Indonesia.
Pemberlakuan pajak ini jelas bertujuan untuk membiayai program-program Kabinet Merah Putih dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun, di sisi lain, pemerintah juga memastikan bahwa penerapan pajak perlu tepat sasaran dan tidak terjadi penyelewengan dalam penggunaan APBN.
Tentu ini menjadi pengingat bagi Menteri Keuangan agar pengelolaan anggaran negara dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Jangan sampai muncul rasa ketidakpuasan di kalangan masyarakat, yang bisa berujung pada komentar-komentar yang tidak mengenakkan. Seperti yang dilontarkan oleh Hasanudin Abdhurakhman, yang mengatakan:
“Sri, uang pajak kami dipakai untuk: Menggaji orang-orang tolol yang jumlahnya seabreg menjadi menteri, wamen, dan pemimpin lembaga yang ngga jelas apa fungsinya. Membayar fasilitas mewah para pejabat negara. Menggaji ASN yang kebanyakan ngga kerja, mereka menghabiskan anggaran saja. Membangun infrastruktur yang segera rusak. Kalau bisa pergi sih kami memang pengen banget pergi dari hisapan para bedebah itu, Sri.”
Baca Juga:
Mengapa Pajak Pertambahan Nilai Akan Berlaku untuk Jasa Pendidikan?
Dilansir dari sumber Youtube Kompas, Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam Istana Kepresidenan menegaskan bahwa pemberlakuan kenaikan pajak hanya akan dikenakan pada barang-barang mewah, baik yang diproduksi dalam negeri maupun diimpor. Langkah ini diambil agar kenaikan tersebut tidak berdampak pada rakyat kecil.
Peraturan pemerintah nomor 61 tahun 2020, telah menetapkan barang-barang yang tergolong mewah dan dikenakan pajak tersebut antara lain: kendaraan bermotor kecuali kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan kepentingan kenegaraan, kelompok hunian mewah, apartemen, kondominium, totan house dan sejenisnya, kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga, kelompok balon udara, kelompok peluru senjata api, dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara, kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum atau usaha pariwisata.
Jika dilihat dari kategori barang mewah, apakah benar bahwa pemberlakuan kenaikan pajak ini sama sekali tidak berdampak pada masyarakat? Mari kita telaah lebih lanjut!
Baca Juga:
Tapera di Mata Pekerja Pabrik: Antara Mimpi Punya Rumah dan Cekikkan Harga Properti
Perusahaan yang memproduksi barang mewah umumnya tidak ingin menanggung kenaikan PPN tersebut sendiri, sehingga salah satu solusi yang diambil adalah menaikan harga barang dan jasa yang diproduksi. Jika harga barang mengalami kenaikan, kemungkinan besar daya beli masyarakat akan terpengaruh dan menurun.
Jika daya beli menurun, omzet perusahaan juga akan ikut terdampak. Untuk menjaga kelangsungan operasional perusahaan agar tetap stabil, penurunan jumlah produksi sangat mungkin untuk dilakukan. Dalam situasi ini, perusahaan tidak jarang mengurangi tenaga kerja, baik dengan pengurangan jam kerja, merumahkan karyawan, atau bahkan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Selain itu, dampak tidak langsung juga dapat terlihat pada rantai pasok produksi. Industri barang mewah biasanya melibatkan rantai pasok yang luas, mulai dari pemasok bahan baku, distributor, hingga toko ritel. Penurunan omzet di tingkat produsen dapat memengaruhi banyak pihak di sepanjang rantai pasok tersebut, termasuk mengurangi tenaga kerja di sektor-sektor terkait.
Indonesia adalah salah satu basis produksi kendaraan bermotor, termasuk beberapa model premium. Rantai pasok produksi seperti mobil melibatkan berbagai komponen, seperti ban (dari produsen seperti Gajah Tunggal), kaca kendaraan, dan beberapa suku cadang lainnya.
Baca Juga:
Jika suatu perusahaan ingin memutuskan untuk mengurangi jumlah produksi, secara otomatis permintaan barang terhadap rantai pasok produksi seperti ban dan kaca kendaraan akan menurun. Dampak yang sama kemungkinan besar akan terjadi pada pemasok bahan baku yang mengarah pada pengurangan jam kerja, merumahkan karyawan, atau bahkan melakukan PHK.
Contoh lain dapat dilihat pada industri furnitur mewah. Indonesia dikenal sebagai produsen furnitur premium berbahan kayu jati, rotan, dan bambu. Sentra produksi seperti Jepara (Jawa Tengah) dan Cirebon terkenal dengan kerajinan furnitur berkualitas tinggi. Bahan baku lokal yang umum digunakan adalah kayu jati dan rotan dari hutan-hutan di Jawa dan Kalimantan.
Jika permintaan barang mewah pada furnitur ini berkurang, maka jumlah produksi di Jepara ataupun di Cirebon kemungkinan besar juga akan berkurang. Dengan demikian, pemesanan terhadap rantai pasok kayu, rotan dan bambu juga akan mengalami penurunan.
Dampaknya, para karyawan pemasok bahan baku furnitur tersebut akan semakin rentan pada kemungkinan perilaku perusahaan pemasok bahan baku untuk melakukan pengurangan jam kerja, merumahkan karyawan, atau bahkan melakukan PHK.
Baca Juga:
Masih banyak produksi barang mewah yang ada di Indonesia. Dua contoh sebelumnya menilik lebih jauh bagaimana dampak dari kenaikan pajak ini terhadap masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah.
Lantas, bagaimana dampak kenaikan pajak ini terhadap bidang-bidang lainnya. Misalnya, bagaimana nasib para pekerja di bidang distributor barang tersebut? Sudah bisa ditebak, pengurangan karyawan pada dealer juga sangat mungkin terjadi jika terdapat gangguan terhadap rantai pasok produksi barang mewah seperti mobil, ataupun karyawan pada toko-toko retail terkait.
Siap-siap! Masyarakat kelas menengah bisa jadi sedang menunggu antrian menjadi masyarakat kelas bawah yang disebabkan karena adanya pengurangan jam kerja, atau bahkan mengalami PHK. Masih belum paham kenapa kenaikan pajak ini perlu dihentikan? Mari simak informasi di bawah ini.
Dahlan Iskan dalam tulisannya (08/12/2024), mengungkapkan bahwa Pak Hadi Purnomo, yang akrab disapa Pak Pung–seorang mantan Dirjen Pajak–menegaskan kenaikan pajak menjadi 12% perlu dianulir demi kebaikan negara.
Baca Juga:
Cukup menjalankan UU Pajak itu melalui sistem pemantauan yang terintegrasi dan konsisten. Faktor pemantauan itu yang menurut Pak Pung paling lemah. Kelemahan itu bisa ditutupi dengan cara mewajibkan semua lembaga untuk menyerahkan dokumen ke Kantor Pajak.
Misalnya perbankan, pasar modal, asuransi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dalam pengesahan perusahaan, dan Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai penerbit perizinan usaha. “Pajak itu boleh menembus pagar rahasia bank,” ujarnya.
Dengan cara seperti itu, pemantauan terhadap wajib pajak bisa dilakukan secara menyeluruh dan efektif. Tentu, hal ini bisa dicapai dengan pembangunan sistem teknologi informasi yang terintegrasi.
Dengan sistem yang terintegrasi itu (terhubung secara online), maka interaksi langsung antar individu dapat diminimalisir. Dan kala semua proses berlangsung secara digital, potensi terjadinya negosiasi yang berujung praktik korupsi dapat semakin ditekan.
Baca Juga:
Tantangan Pemerintahan Baru; Memperbaiki Indeks Kemudahan Bisnis Indonesia
Lebih jauh lagi, teknologi informasi mendorong perilaku yang transparan dan berakhlak mulia, bahkan tanpa bergantung pada ajaran agama atau kitab suci agama tertentu.
Mari kawal terus pemberlakuan kenaikan pajak tahun 2025. Jangan sampai lengah. Jangan sampai kenaikan ini sungguh-sungguh terjadi dan pelan-pelan menjamur pada barang lainnya!
Foto ilustrasi dari metrtvnews.com
Leave a Reply