Eposdigi.com – Omnibus Law adalah salah satu konsep produk hukum, yang dibuat untuk menyempurnakan beberapa produk hukum lain sebelumnya. Konsep produk hukum ini, sengaja dibuat untuk menyasar suatu isu besar yang dapat menyederhanakan beberapa undang- undang sekaligus.
Kata Omnibus sendiri berasal dari bahawa Latin yang artinya : “untuk semua”. Omnibus Law yang saat ini sedang ramai dibicarakan, disebut juga dengan Undang-Undang (UU) Sapu Jagat.
Laporan Bank Dunia tentang Indeks Kemudahan Berbisnis Dunia menempatkan Indonesia pada peringkat 73. Indonesia memperoleh nilai 69,6 dari rentang 100. Walaupun masih di peringkat yang sama dari 190 partisan, namun nilai indeks Indonesia tahun ini turun 1.64 poin dari tahun sebelumnya.
Baca Juga: Tantangan Pemerintahan Baru; Memperbaiki Indeks Kemudahan Bisnis Indonesia.
Laporan ini juga merilis bahwa untuk memulai bisnis di Indoesia rata-rata seseorang harus melewati 11 prosedur perizinan. Jauh diatas prosedur di negara lain di Asia Pasifik dan Asia Timur sebesar 6,5 prosedur.(eposdgi.com- 5/11/2019)
Lahirnya Omnibus Law dilatari oleh rumitnya alur perizinan dan ruwetnya persoalan pajak di Indonesia. Kedua hal ini disinyalir menjadi menjadi penyebab rendahnya daya saing Indonesia.
Tidak hanya menyederhanakan tumpang tindih aturan perundangan yang bersifat paralel. UU Sapu Jagat ini juga dimaksud untuk mencegah peraturan-peraturan yang lebih rendah kedudukkannya, saling bertentangan dengan produk hukum di atasnya.
Peraturan-peraturan di daerah yang dinilai tidak sejalan dengan undang-undang, akan disempurnakan dengan Omnibus Law. Omnibus Law ini bertujuan untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia.
Tidak tanggung-tanggung, produk hukum bernama UU Sapu Jagat ini akan merevisi 1244 pasal dari 79 undang-undang (detik.com – 20/01/2020).
Dua isu besar.
Ada dua isu besar yang menjadi tujuan Omnibus Law yaitu Cipta Lapangan Kerja. Ia menyasar 11 klaster dari 31 kementrian. Antara lain; 1) Penyederhanaan Perizinan, 2)Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan Berusaha, 5) Kemudahan, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM.
Kluster lainnya terdiri atas; 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Pengadaan Lahan, 8) Kawasan Ekonomi; 9) Administrasi Pemerintah, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, serta 11) Pengenaan Sanksi.
Sedangkan Fokus kedua Omnibus Law adalah Perpajakan, yang menyasar 6 (enam) isu utama. Yaitu: 1) Pendanaan Investasi, 2) Sistem Teritori, 3) Subjek Pajak Orang Pribadi; 4)Kepatuhan Wajib Pajak, 5) Keadilan Iklim Berusaha dan 6) Fasilitas.
Ditolak Serikat Pekerja.
Ribuan buruh berbendera Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) hari ini (20/01/2020) mendatangi DPR RI untuk menyampaiakn penolakan mereka akan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law ini.
Tidak hanya di Jakarta, penolakan juga dilakukan serikat pekerja di Aceh, Bengkulu, Riau, Sumatera Utara, Lampung; Jawa Barat, Jawa Tengah; Kalimantar Selatan hingga Gorontalo.
Alasan penolakan tersebut, seperti yang disampaikan oleh Presiden KSPI Said Iqbal kepada liputan6.com (20/01/2020); jika dalam praktek nantinya Omnibus Law menghilangkan upah minimum, menghilangkan pesangon, menghilangkan jaminan social, ketidakadilan system pengupahan serta menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Sanggahan Pemerintah.
Susiwijono, Sekertaris Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, seperti dilansir kompas.com (20/01/2020) menjelaskan sekaligus menglarifikasi isu penolakan terhadap Undang-Undang Sapu Jagat, yang meliputi:
Pertama: Upah Minimum, tidak akan turun dan tidak kan ditangguhkan apapun kondisi perusahaan. Kenaikannnya disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah.
Sistem pengupahan berdasarkan jam kerja hanya diterapkan pada jenis pekerjaan tertentu saja. Semisal jasa konsultan, pekerja paruh waktu dan jenis pekerjaan terkait ekonomi digital, tanpa menghapus ketentuan upah minimum.
Kedua: Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), pemerintah telah melindungi pekerja yang berpotensi kehilangan pekerjaan akibat PHK. Untuk pekerja kontrak ada kompensasi bagi pengakhiran hubungan kerja. Sementara JKP tidak tidak menggantikan jaminan social lain yang menjadi hak pekerja.
Baca Juga : Pemerintah Naikan Manfaat BPJS Ketenagakerjaan
Ketiga: Hak pekerja kontrak dan outsourcing. Sama seperti pekerja tetap, pekerja kontrak dan outsourching mendapat perlindungan dan hak yang sama seperti: upah, jaminan social, perlindungan K3, dan kompensasi atas pemutusan hubungan kerja.
Keempat: Waktu Kerja. Omnibus Law mengatur jam kerja maksimal 8 jam perhari atau 40jam per minggu. Lenih dari itu akan diberi upah lembur. Pelaksanaan jam kerja diatur dalam perjanjian kerja maupun peraturan perusahaan.
Untuk jenis pekerjaan tertentu yang memerlukan waktu kerja berbeda, lebih panjang maupun lebih singkat, akan dikecualikan, dengan tetap mengedepankan perlindungan terhadap pekerja. (Foto: harianterbit.com)
[…] Baca Juga: Mengapa harus Omnibus Law? […]