Eposdigi.com – Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan, yang diadopsi secara global oleh seluruh anggota PBB, menyadari bahwa untuk mengakhiri kemiskinan harus berjalan seiring dengan strategi peningkatan pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan dan bidang ekonomi serta perubahan iklim.
Oleh karena itu isu kesehatan menjadi isu dan menjadi perhatian global. Seringkali, masalah kesehatan identik dengan kesehatan fisik. Isu kesehatan mental jarang menjadi perhatian. Padahal kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Misalnya terbukti dari angaran yang disiapkan untuk agenda penanganan isu tentang kesehatan mental. Secara global, angaran yang disiapkan hanya mencapai 1 persen dari total anggaran global. Sedangkan secara nasional anggaran yang disiapkan hanya sebesar 2 persen dari total anggaran kesehatan.
Hal ini disampaikan oleh Karina Stefanie, dalam seminar yang diselenggarakan oleh mahasiswa S2 Hubungan Internasional, Angkatan 12, Universitas Pelita Harapan (UPH), pada tanggal 29 April 2023 di Kampus UPH Semanggi.
Seminar ini merupakan bentuk aksi nyata untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan implementasi dari Deklarasi Bali tentang Kesehatan Global.
Menurut Karina, dari anggaran yang tersedia, dapat disimpulkan bahwa perhatian global, maupun nasional pada isu kesehatan mental masih rendah. Padahal orang dengan gangguan kesehatan mental rentan terkena penyakit fisik kronis.
Baca juga :
Lanjut Karina, isu kesehatan dan isu kesehatan mental yang merupakan agenda ke-3 yakni Good Health And Well-Being kemudian di introduksi dalam agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan secara global dari PBB. Sejak 1992 PBB bersama 178 negara anggota menyelenggarakan Earth Summit untuk menyusun agenda 21.
Dilanjutkan pada September 2000 melalui millennium Summit, yang menjabarkan 8 tujuan pembangunan berkelanjutan untuk mengurangi kemiskinan ekstrim di tahun 2015. Menyusul tahun 2002 PBB menyelenggarakan World Summit on Sustainable Development yang menghasilkan deklarasi Johannesburg tentang pembangunan berkelanjutan untuk menegaskan komitmen pada agenda 21.
Upaya mendorong pembangunan berkelanjutan kemudian dilanjutkan dengan konferensi PBB untuk pembangunan berkelanjutan yang menghasilkan pembentukan Forum Politik Tingkat Tinggi untuk Pembangunan Berkelanjutan yang menghasilkan dokumen The Future We Want.
Lanjut Karina, pada tahun 2013 Majelis Umum PBB membentuk 30 anggota kelompok kerja terbuka untuk pengembangan proposal Pembangunan Berkelanjutan. Dalam upaya lanjutan, pada September 2015 PBB mengadakan Sustainable Development Summit. Melalui negosiasi agenda pembangunan pasca 2015, pada awal Januari 2015 tersusun proposal Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
PBB kemudian mendorong implementasi berkelanjutan tersebut pada negara-negara anggota termasuk Indonesia dengan berbagai cara. Misalnya mendorong negara anggota untuk mengembangkan strategi nasionalnya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
PBB juga mendorong partnership baik dengan mitra, pemerintah organisasi masyarakat sipil sektor swasta, akademisi, untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Kemitraan sangat penting untuk memobilisasi sumberdaya dan keahlian, untuk mencapai tujuan.
Selain itu PBB juga memantau perkembangan dengan menggunakan indikator dan sumber data, untuk mengidentifikasi perkembangan, masalah yang muncul untuk menyesuaikan strategi dan melakukan intervensi yang diperlukan. PBB juga memobilisasi sumber pembiayaan inovatif dan melakukan kampanye-advokasi untuk menjangkau berbagai pemangku kepentingan
Indonesia sebagai negara penting angota PBB termasuk menjadi negara yang sangat aktif dalam implementasi Agenda 2030 PBB untuk pembangunan berkelanjutan. Di antaranya selain agenda dalam negeri, sebagai Presidensi G-20 Indonesia mengangkat isu kesehatan termasuk kesehatan mental untuk menjadi pembahasan dalam forum G-20.
Kesehatan Mental dan Cita-cita Indonesia 2045
Pembangunan baik secara nasional maupun secara internasional ternyata tidak hanya mengupayakan perubahan dari kondisi miskin ke kondisi kaya, ekonomi tradisional ke ekonomi maju, namun memberdayakan semua dimensi yang ada, termasuk kondisi kesehatan dan kesehatan mental di dalamnya.
Hal ini disampaikan oleh Ida Ayu Bulan Utami selaku pembicara pada sesi ketiga dari seminar ini. Menurut Ida Ayu, kondisi kesehatan mental masyarakat menjadi fondasi yang sangat penting bagi pembangunan internasional.
“Kita pikir aja, kalau pembangunan hanya bergerak pada sisi material saja, padahal yang menggerakkan adalah individu masyarakat di dalamnya. Kalau mentalnya terganggu, produktivitasnya pasti terganggu,” jelas Alumni Hubungan Internasional Universitas Udayana Bali ini.
Baca juga :
Dorong Anak untuk Bermain di Alam Terbuka, Baik untuk Kesehatan Fisik Maupun Mental
“Bagaimana jika kaum remaja yang harusnya mempunyai inovasi dalam pembangunan dan menjadi penerus pembangunan suatu negara, ternyata mengalami gangguan dalam kesehatan mentalnya. Apa yang diharapkan dari generasi muda seperti itu?” lanjut mahasiswa S2 Hubungan Internasional UPH ini.
Mengutip WHO, Ida Ayu menampilkan 29,3 persen dari populasi global yang berusia 18 tahun ke atas, mengalami gangguan kesehatan mental berupa kecemasan dan depresi. WHO memperkirakan 1/3 populasi dunia menderita gangguan kesehatan mental yang diperparah oleh pandemi Covid-19.
Selama pandemi, 50 juta orang menderita depresi, dan 76 juta orang menderita kecemasan. Hampir semua negara menampilkan data yang memprihatinkan tentang gangguan kesehatan mental, Indonesia berada di urutan ketiga di dunia.
Menurut Ida Ayu, mereka adalah anak-anak muda usia. Dari data-data ini dilaporkan bahwa 1 dari 7 orang atau 14 persen tidak dikenali dan tidak diobati. Sehingga ironisnya 70 persen dari mereka tidak mengalami perawatan yang diperlukan. Bunuh diri kemudian menjadi penyebab kematian ke-4 di antara usia 15-19 tahun.
Ida Ayu menjelaskan bahwa kondisi ini diperburuk oleh minimnya penanganan profesional terhadap pasien gangguan mental, di antaranya karena terbatasnya Psikiater maupun Psikolog Klinis. Di Indonesia misalnya, hanya ada 1.563 psikolog klinis, 1 psikiater menangani 300-400 ribu pasien gangguan kesehatan mental.
Baca juga :
Data lain yang ditampilkan Ida Ayu adalah, selain 91 persen penderita gangguan kesehatan mental tidak berobat, 96.4 persen remaja usia 10-17 tahun dari 400 remaja, kurang memahami cara mengatasi stres.
Menurut Ida Ayu, gangguan kesehatan mental tersebut berdampak terhadap sektor ekonomi karena hilangnya produktivitas, individu tidak menampilkan performa terbaik. Kondisi ini dapat berdampak pada semua bidang kehidupan termasuk kemampuan berpartisipasi dalam masyarakat.
“Oleh karena itu Dirjen WHO menghimbau agar negara-negara anggota berinvestasi dalam kesehatan mental untuk kehidupan bersama yang lebih baik untuk semua. Data menunjukkan bahwa anak muda di seluruh dunia mengalami masalah terkait kesehatan mental,“ jelasnya.
“Ini harus menjadi perhatian bersama, pemuda yang menjadi harapan bangsa mengalami masalah kesehatan mental. Ini akan berdampak sangat panjang jika tidak ditangani. Bahkan tingkat kesehatan mental berbanding lurus dengan peningkatan dalam produktivitas masyarakat, contohnya Finlandia, masyarakatnya paling bahagia dan menikmati kualitas hidup yang tinggi,” lanjutnya.
Menurunnya kesehatan mental masyarakat suatu negara, tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga pada keamanan negara dan citra negara. Masa depan Indonesia juga upaya mencapai cita-cita Indonesia 2045 tidak hanya terletak pada sumber daya alam tetapi juga sumber daya manusia.
Investasi dalam hal kesehatan mental bagi remaja Indonesia menjadi hal penting karena tidak mungkin menjadi negara maju jika Indonesia tidak memiliki manusia yang berkualitas. Ini sekaligus menjadi aksi nyata upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan khususnya agenda ke-3 kesehatan mental.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com
Leave a Reply