Eposdigi.com – Apa kesan perdana yang nongol dalam isi kepala Anda tatkala mendengar istilah “kesehatan mental”? Apakah isi pemikiran Anda serentak tertuju pada mereka yang kerap disebut sebagai penderita penyakit mental atau yang lazim disebut orang dengan gangguan jiwa? Atau barangkali Anda bahkan belum pernah bertautan sama sekali dengan isu kesehatan mental?
Menuturkan bab kesehatan mental secara gamblang memang acapkali jarang kita jumpai, bahkan eksistensinya nyaris tak pernah terdeteksi. Topik tentangnya cenderung sangat eksklusif. Tak banyak menjadi konsumsi publik. Jangan heran mengapa keberadaan tajuk kesehatan mental terkadang masih jauh dari jangkauan mata kita.
Membicarakan perkara kesehatan mental sudah barang tentu sangat sukar dilepaspisahkan dari persoalan bunuh diri. Bagaimana tidak, tabiat bunuh diri merupakan puncak tertinggi dari rangkaian problematika kesehatan mental, kendati cakupan kesehatan mental tak melulu soal bunuh diri.
Baca Juga: Lebih Parah, Covidiot Juga menyebabkan Gejala Kesehatan Mental Serius
Sayangnya, sejumlah stigma negatif akan diskursus soal kesehatan mental masih cenderung sulit kita bongkar, atau bahkan runtuhkan. Seolah siapa saja yang berani mengangkat wacana tentangnya ke permukaan adalah pasti orang-orang kurang kerjaan yang sudah tidak waras lagi.
Sebut saja demikian, pernahkah Anda mendapati secara langsung kasus bunuh diri di sekitar Anda? Atau mungkin Anda pernah menandangi pasal bunuh diri melalui beragam pemberitaan yang dilancarkan pelbagai media massa, baik media konvensional maupun media digital?
Tak jarang para penyintas bunuh diri harus menerima aneka cercaan yang lahir dari rahim penghakiman sosial, seakan mengafirmasi bahwa penyintas bunuh diri ialah pelaku kejahatan yang melakukan penyimpangan dan mencoreng citra masyarakat.
Penelitian Membuktikan bahwa Anak yang Sukses, Mempunyai Ibu yang Bahagia
Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2014, setidaknya 1 orang meninggal dunia akibat bunuh diri setiap 40 detik di seluruh dunia, dengan total mencapai lebih dari 800.000 angka per tahun.
Itu hanya angka yang terdeteksi, atau yang terdata. Tak menutup kemungkinan, ada lebih banyak kasus yang terjadi di luar sana, bahkan diperkirakan setiap tahunnya, tindakan percobaan bunuh diri merangkak sampai 20 hingga 25 kali lipat dari angka bunuh diri yang tercacat.
WHO juga menyebutkan bahwa bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua tertinggi pada rentang usia 15-29 tahun di seluruh dunia. Lalu bagaimana dengan di Indonesia?
Diperkirakan pada tahun 2012 silam, terdapat sebanyak 9.106 kasus bunuh diri, yang pada tahun 2016 merosot menjadi hanya 8.580 kasus.
Baca Juga: Ini Strategi Atasi Bullying Menurut Menteri Pendidikan Nadiem Makarim
Tapi tunggu dulu! Jangan cepat berpuas diri, sebab sekali lagi, data-data tersebut hanya merepresentasikan kasus yang berhasil terlaporkan, sementara di negeri dengan 34 provinsi yang menyebar di bentangan zamrud khatulistiwa ini, tak ada satu pun sistem pencatatan bunuh diri.
Skandal bunuh diri bisa terjadi pada siapa saja, tanpa memandang latar belakang atau embel-embel tertentu yang melekat pada dirinya. Nyatanya, setiap orang dari berbagai kalangan bisa jadi pernah bergumul dengan tendensi bunuh diri dalam dirinya.
Mereka yang punya tendensi bunuh diri hampir selalu memendam sendiri, ketimbang membicarakannya dengan orang lain. Alhasil, risiko bunuh diri tak terdeteksi. Malahan penyintas semakin mengalami guncangan emosional dan tekanan psikologis yang dahsyat, sehingga kian memperparah kondisi mentalnya.
Sebagai kawula muda yang merupakan episentrum penentu arah masa depan dunia, semestinya kita bisa berkomitmen untuk mengawinkan media sosial dengan isu kesehatan mental.
Sebagai bagian dari kelompok muda yang memiliki mobilitas yang cukup tinggi di media sosial, kita perlu menyadari bahwa media sosial mempunyai sesuatu yang saya bahasakan sebagai invisible super power alias kekuatan super tak kasat mata, yang disrupsinya turut berdampak pada kehidupan di dunia nyata.
Oleh karenanya, kita harus meneguhkan komitmen untuk menggunakan media sosial sebagai salah satu wahana untuk membumikan tajuk kesehatan mental secara global, meluruhkan kelekatannya dengan kaki langit, dan membawanya menjadi bagian integral dari keseharian hidup kita.
Melalui media sosial, kita dapat memproduksi dan tentu saja menyebarluaskan konten-konten yang bersifat informatif, edukatif, dan konstruktif yang mengandung muatan soal kesehatan mental. Toh ada beraneka rupa platform media sosial yang dapat kita manfaatkan dengan algoritmanya masing-masing.
Baca Juga: Pendidikan Kontekstual dan Gerakan Pemberdayaan Perempuan
Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya isu kesehatan mental akan semakin tersebar secara luas dan menyeluruh, menyentuh siapa saja, tanpa terkecuali.
Tak berhenti sampai di situ, harapan akan tersingkirkannya stigma yang mematikan tentang lingkaran kesehatan mental juga akan terwujud.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com, kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Penulis adalah Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang/Foto: news.unair.ac.id
Leave a Reply