Tapera di Mata Pekerja Pabrik: Antara Mimpi Punya Rumah dan Cekikkan Harga Properti

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) jadi perbincangan hangat satu dua hari ini. Demikian juga di pabrik tempat kami kerja. Dalam perbincangan tersebut sebagian besar melihat Tapera sebagai sesuatu yang merugikan karyawan.

Apalagi bagi kami para pekerja di pabrik. Dengan penghasilan sesuai UMR, katakanlah lebih kurang Rp5 juta rupiah, itu berarti setiap bulan bakalan dipotong pemerintah untuk iuran Tapera sebesar 2,5% atau sebesar Rp125 ribu setiap bulan.  Bagi kami yang berpenghasilan demikian, potongan ini tentu besar.

Bagi pekerja pabrik dengan gaji 1,5 (baca: satu koma lima) “gajian tanggal satu, tanggal lima sudah koma”, iuran Tapera yang bakalan menambah pengeluaran sebesar itu tentu bukan kabar gembira. Sebagian beranggapan bahwa pemerintah sedang “memeras” rakyat.

Suara-suara protes itu, sedikit banyak mempengaruhi saya. Jelas sama seperti yang lain, ada keengganan untuk menerima begitu saja iuran sebesar itu. Itu berarti pengeluaran baru yang tak terencanakan, sementara gaji belum bertambah.

Apalagi jika kenaikan pendapatan tahun lalu tidak melebihi 7 % dari gaji, maka pemotongan 3 % dimana pekerja menanggung 2,5 % dan majikan menanggung 0,5 %  jelas membebani. Pemotongan ini belum termasuk iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, iuran pensiun dan juga pajak penghasilan.

Baca Juga:

Menanti ‘Bonus’ 5 kali Gaji

Mengingat inflasi di tambah pertumbuhan ekonomi, maka akumulasi dari semua iuran yang ditagih pemerintah ini bisa saja adalah beban yang tidak ringan bagi para pekerja.

Semua argumentasi negatif itu kemudian mendorong rasa penasaran saya untuk menelisik lebih dalam, dengan pengetahuan awam saya untuk mencari alasan baik apa di balik Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP No 25 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Dari banyak media online, tersedia informasi bahwa : seperti halnya tabungan lain, tapera juga akan mendapatkan hasil pemupukannya yang besarnya sekitar 4,5% hingga 4,8 %., ketika masa kepesertaannya usai.

Diketahui bahwa masa kepesertaan adalah selama masa usia produktif, jika pension maka Tapera bisa dicairkan seluruhnya.

Detik.com (28.05.2024) juga menulis bahwa bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang menjadi peserta Tapera bisa mengajukan untuk memperoleh Kredit Renovasi Rumah (KRR), dan juga Kredit Bangun Rumah (KBR).

Baca Juga:

Diantara Distopia dan Utopia: Menanti Respon Gen Z di Dunia Kerja

Bagi peserta yang ingin membeli rumah pertama, diberi akses untuk mendapatkan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun, dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.

Konon katanya, Tapera adalah cara pemerintah mensubsidi silang untuk memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk memiliki rumah. Skema pembiayaan gotong royong ini dimaksud agar masyarakat yang berpenghasilan tinggi membantu pembiayaan rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Begitu idenya.

Niat ini tentu baik adanya. Namun kemudian saya juga berpikir bahwa, Tapera adalah berkah bagi bisnis properti. Hukum permintaan dan penawaran akan bergerak bebas di pasar. Lalu berlaku hukum klasik ekonomi.

Permintaan yang meningkat akan membuat harga terdorong meningkat pula. Ada skema pembiayaan yang terjamin oleh Tapera adalah angina surga menurunkan resiko kredit macet para pengembang.

Pembiayaan yang tersedia, membuat permintaan akan property; rumah baik rumah baru, maupun kavling akan meningkat. Permintaan meningkat maka harga juga akan meningkat dengan sendirinya. Itu hukum ekonomi klasik yang tidak terbantahkan.

Baca Juga:

Hakordia 2023 dan Mimpi Indonesia Tanpa Korupsi

Tapera memang untuk tujuan baik. Namun itu tidak cukup. Subsidi silang dan pembiayaan gotong royong yang diinginkan pemerintah dari Tapera bisa juga diganti dengan hal lain.

Naikan saja pajak pembelian rumah kedua dan seterusnya menjadi ber-ratus-ratus lipat. Orang kaya yang membeli properti untuk investasi adalah “perampok” dari masyarakat miskin yang tidak mampu secara finansial untuk memiliki rumah.

Mereka punya penghasilan tetap. Namun itu tidak cukup untuk uang DP dan atau cicilan KPR, bahkan jika tenornya seumur hidup. Di beberapa kota di Indonesia, harga properti sudah tidak masuk akal, namun permintaan tetap tinggi.

Tingginya permintaan walaupun harga tidak masuk akal karena ada kesempatan untuk menimbun properti atas nama investasi oleh mereka yang kaya.

Jika orang-orang yang menimbun property ini dipajaki 300% hingga 500% dari harga maka ada selisih pendapatan pemerintah yang begitu besar dari pajak penjualan properti. Uang pajak inilah yang boleh kita anggap sebagai bentuk subsidi dari mereka yang kaya kepada yang miskin. Pembiayaan gotong royong.

Baca Juga:

Sewindu Undang-Undang Desa, Saatnya Desa Berbenah?

Jika tidak dikenakan pajak progresif, atau jika pajak progresif atas kepemilikan properti tidak tinggi maka permintaan akan properti tetap tinggi, dibarengi dengan ketersediaan pembiayaan dari Tapera, namun hanya dinikmati oleh orang kaya.

Apalagi properti-properti di lokasi terbaik sudah dikapling oleh perusahaan properti besar. Pemerintah bisa saja menyediakan perumahan dari Tapera namun tentu lokasinya jauh dari mana-mana. Pada saat yang sama akses transportasi menuju rumah dan tempat kerja kebanyakan pekerja pabrik belum memadai

Mereka yang penghasilannya pas-pasan, tetap saja tidak bisa menjangkau rumah pertama, sebab bisa saja harga naik hingga tidak masuk akal dan bahkan sudah dibantu Tapera pun cicilannya mungkin akan mencekik hingga nafas terakhir para pekerja pabrik.

Jadi, Tapera menguntungkan siapa? Pemerintah yang mendapat uang segar dari masyarakat? Perusahaan Properti karena kesempatan mendapatkan konsumen terbuka luas? Atau Rakyat miskin yang bermimpi memiliki rumah pertama? Digiers yang menjawab….

Foto ilustrasi dari kompas.tv

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of