Gejala Toxic Masculinity Pada Remaja; Merokok dan Miras

Budaya
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Usia remaja adalah masa peralihan. Dari masa kanak-kanak ke masa dewasa awal. Seorang remaja tidak akan suka jika dia dianggap ‘seperti’ anak kecil. Seorang remaja berusia 10 – 13 tahun, mulai mencari identitasnya.

Ia mulai membuat kelompok dengan teman-teman terdekat seusinya. Dan dalam kelompok itu, ia ingin diterima. Untuk diterima, ia ingn menunjukan ‘kelebihannya’ di antara teman-teman anggota kelompoknya.

Secara emosi remaja usia 10-13 tahun masih tergantung pada orang tuanya, sekaligus kedekatannya dengan teman sebaya semakin kuat. Ketergantungan pada orang tua, sekaligus kelekattannya pada teman sebaya memiliki tekanan yang sama kuat.

Rokok dan Segudang “Manfaatnya”

Usia 14-17 tahun dengan menguatnya identitas diri, seiring semakin jarangnya ia tergantung pada orang tua, membuatnya lebih ingin diterima oleh rekan-rekan sebayanya. Pada usia ini penerimaan dia di antara rekan-rekannya semakin menonjol. Ia ingin dihargai, dianggap hebat oleh rekan-rekannya.

Pada remaja pria, dia ingin tampil sebagai yang dominan, yang keren, yang kuat, yang maskulin, seperti orang dewasa. Ia mengidentifikasi semua “kesan” pria dewasa kemudian berusaha sekuat tenaga menjadi seperti kesan yang ia terima.

Celakanya, jika kesan “keren” yang ditangkap dari seorang pria dewasa adalah merokok dan miras maka kecendrungan ia meniru dan menjadikan yang “keren” itu identitasnya, akan semakin besar juga.

Seorang anak remaja ini diterima sebagai yang unggul, keren, kuat, mendominasi; semua ciri menojol hasil konstruksi masyarakat yang disematkan pada seorang pria dewasa. Seorang pria dianggap sejati jika ia berciri semua hal di atas.

Baca Juga: Selandia Baru Larang Anak Mudanya Merokok Seumur Hidup, Indonesia Kapan?

Sementara yang banyak dilihat oleh seorang anak remaja tentang ‘kesan’ pria dewasa yang keren adalah yang merokok dan pengkonsumsi miras.

Pada anak remaja perempuan, ia ingin diterima sebagai orang dewasa dengan menonjolkan kecantikan, maka ia bisa saja mencoba semua ‘make up’ walaupun itu belum tentu cocok dengan kulit tubuhnya.

Seorang anak remaja pria tidak mau dianggap anak kecil lagi, terutama di antara teman-teman sebayanya, karena itu ia akan tampil ‘meniru’ pria dewasa dengan rokok dan minuman minuman keras.

Bagi dia minimal dengan rokok rokok di tangan dan meneguk minuman keras, ia telah bergabung dalam kelompok ‘orang dewasa’, bukan anak-anak lagi.

Baca Juga: Hebat; Anak Remaja sudah Merokok

Kesan ini diperolehnya dari mana? Dari semua iklan, terutama iklan rokok, yang bisa dia akses bebas, di manapun di sekelilingnya. Tidak hanya dari iklan, ia meniru semua orang dewasa di sekitarnya; di rumahnya, di lingkungan sekitarnya; mereka yang merokok dan suka minuman keras.

Merokok dan minum minuman beralkohol pada anak remaja adalah puncak dari gunung es toxic maskulinity yang dikonstruksi oleh masyarakat.

Yang terlihat di puncak gunung es ini hanyalah sedikit dari begitu banyak konstruksi sosial masyarakat yang diterima seolah menjadi budaya. Terutama pada masyarakat yang memaklumi sifat-sifat patriarkis, terutama di dalam rumah.

Ketika seorang ayah yang sangat dominan di rumah, menjadi penguasa tunggal, yang mendidik bukan dengan kasih sayang yang tegas, namun yang mencontohkan sifat keras dan kasar pada anak-anaknya, maka anak-anak laki-lakinya akan cendrung tumbuh menjadi seperti itu pula.

Popmama.com, merangkum lima (5) kebiasan di rumah ini yang membuat seorang anak remaja tumbuh dalam situasi toxic maskulinity.

Toxic Masculinity, Bias Gender dan Konstruksi Sosial Masayarakat Patriarkis

Pertama:  anak laki-laki tidak boleh menangis atau mengeluh. Menangis dianggap ciri orang cengeng, tidak boleh ada pada anak laki-laki. Anak laki-laki pun tidak boleh mengeluh. Itu tidak jantan. Akibatnya anak tumbuh menjadi pribadi yang memendam perasaannya. Ia menjadi pribadi yang tertutup dan sulit mengekspresikan diri.

Kedua: laki-laki harus menjadi penguasa yang disegani. Anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan seperti ini cendrung menjadi penguasa yang dominan dengan mengabaikan cara. Apapun caranya, baik ataupun buruk, yang penting ia menjadi penguasa.

Ia menunjukan kekuasaannya dengan membuli siapa saja di sekitarnya untuk menunjukan kekuatan dan dominasinya. Tidak hanya kepada teman-temannya, ia juga akan membuli saudari perempuannya, bahkan ibunya, atau kakek neneknya yang telah renta.

Baca Juga: Happy International Women’s Day: Selamat Merdeka PerEMPUan

Tiga: tidak boleh bersikap lembut. Sikap lembut, baik itu dalam kata-kata maupun perilaku dianggap sebagai sifat feminis. Bukan sifat seorang pejantan tangguh.

Jika anak laki-laki hidup dalam pandangan seperti ini maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang kasar, tidak hanya dalam ucapnnya namun juga dalam perilaku.

Menjadi toxic ketika perilaku itu dianggap sebagai cerminan seorang laki-laki. Ia menganggap sifat kasar itu ciri yang melekat pada seorang laki-laki.

Empat: anak laki-laki tidak takut pada hal-hal yang beresiko dan berbahaya. Ini bisa berakibat fatal. Tidak menjadi penakut dan menjadi nekat adalah dua hal yang sama sekali berbeda.

Baca Juga: Strategi Parenting dalam Dunia yang Berubah Serba Mendadak

Memiliki keberanian untuk mencoba banyak hal baru adalah sikap yang penuh perhitungan. Mengkalkulasi resiko agar terhidar dari bahaya. Sementara nekat adalah mengambil resiko tanpa perhitungan.

Tidak takut beda dengan nekat. Jangan sampai anak-anak tumbuh dengan kenekatan, bukan dengan keberanian yang diperhitungkan.  Apalagi sampai menunjukan kenekatan-kenekatan agar dibilang berani. Celaka besar jika kenekatan itu hanya untuk menujukan bahwa ia seorang laki-laki.

Kelima: tidak boleh melakukan tugas perempuan. Budaya kita menganggap bermain masak-masakan adalah mainan anak perempuan. Tidak boleh anak laki-laki main masak-masakan. Mainan anak laki-laki itu bola, mobil-mobilan, tembak-tembaan.

Bias Gender dalam Pendidikan

Seorang anak laki-laki yang tidak pernah melihat ayahnya merapikan tempat tidur, menyapu dan mengepel, mencuci baju, mencuci piring, memasak, mengasuhnya dari bayi, bisa saja menganggap bahwa pekerjaan itu hanya boleh dilakukan perempuan.

Tentu hal ini bisa menjadi racun yang membunuhnya, sekaligus menyebabkan semua perempuan di sekelilingnya, ikut keracunan. Kita akan membahas secara khusus poin nomor lima ini, pada tulisan yang akan datang…

Kompasian.com menulis bahwa sumber foto ini adalah : Oroddho Foundation

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of