Merdeka dari Pandemi, Merdeka dari Intoleransi

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini terasa berbeda. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang berlangsung meriah, HUT RI ke 75 ini,  di Istana Negara  rencananya berlangsung sederhana.

Pandemi corona jadi alasan. Hingga hari ini, corona telah menginfeksi 139.549 orang. Dalam 16 hari di bulan Agustus ini, rata-rata harian penambahan sebesar 1.948 kasus positif corona.

Pandemi corona rupanya membuka mata banyak orang, bahwa 75 tahun usia kemerdekaan kita, tidak lantas telah membuat fundamentalisasi pembangunan dibidang kesehatan, telah berlangsung baik.  Pun demikian, ini menguji tanggap darurat kita terhadap berbagai potensi bencana.

Dibidang kesehatan kita masih butuh penguatan sumber daya manusia, pengembangan fasilitas kesehatan dasar dan rumah sakit-rumah sakit. Begitu juga dengan industri obat dan alat kesehatan. Ketahanan dan kapasitas pelayanan kesehatan butuh peningkatan secara serius.

Baca Juga: Tiga Momentum Pembangunan, Korupsi, dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Jika corona adalah penjajah, maka hari ini kita hampir kalah total. Bukan karena keganasan ia menyerang, lebih karena kita tidak benar-benar serius memeranginya. Padahal dampak yang diakibatkan benar-benar mengguncang banyak sendi kehidupan.

Padahal kita mudah menaklukannya , tidak harus dengan senjata perang modern. Tidak harus berdarah-darah.  Hanya menerapkan kebiasaan baru yang sederhana. Memakai masker, menjaga jarak dan lebih sering mencuci tangan dengan sabun.

Musuh lain yang lebih merusak kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sikap intoleransi.

Negeri yang membentang dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote, dianugerahi 17.491 pulau yang telah terverifikasi. Pertiwi ini dianugerahi keberagaman yang luar biasa. Ada 1.340 suku bangsa (BPS Sensus 2010), berbicara dalam 718 bahasa ibu (kompas.com,22/02/2020)

Selain 6 agama besar, berdasarkan data kemendikbud tahun 2017, terdapt 187 kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia.

Hal ini bukah hanya sekedar angka-angka statistik. Ini adalah kodrat bangsa Indonesia. Kekayaan luar biasa yang dianugerahkan bagi bangsa. Sejak negara ini diproklamirkan 75 tahun silam.

Keberagaman ini sudah final. Tidak untuk diperdebatkan lagi. “Bhinneka Tunggal Ika”.

Nyatanya, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dirilis oleh Kementerian Agama Desember 2019 silam menempatkan lebih dari separoh provinsi di Indonesia, yang memiliki angka indeks di bawah rata-rata nasional.

Dari 34 provinsi hanya 16 provinsi yang memiliki angka indeks lebih dari 73,83. Menariknya, angka indeks KUB rata-rata di Pulau Jawa berada di bawah rata-rata nasional.

Tidak sulit menemukan berbagai berita tentang tindakan intoleransi sekelompok kecil orang, namun benar-benar mencoreng wajah bangsa yang bhinneka ini.

Tentu sekelompok kecil orang ini bukanlah gambaran dari sikap bangsa secara keseluruhan. Namun sikap intoleransi ini harus dilawan, demi  semangat Satu Indonesia dalam Kebhinnekaan yang diproklamirkan 75 tahun silam.

Corona memang tidak ganas. Sikap intoleran juga hanya ada pada sekelompok kecil orang. Namun keduanya adalah musuh serius. Dayanya bisa merusak banyak sendi kehidupan bangsa dan negara. Menghadapinya butuh keseriusan.

Pertama, Pendidikan.

Jika perilaku berasal dari pola pikir, dan pola pikir ditentukan oleh pendidikan, maka kita harus benar-benar serius membenahi pendidikan kita.

Baca Juga: Faktor Apakah yang Membuat Pendidikan dan Pengajaran Jadi Rumit?

Kita baru benar-benar merdeka, jika kita semua, menyadari sungguh bahwa corona bukan hanya soal mengatasi satu wabah penyakit. Perang melawan corona adalah perang untuk mempertahankan kelangsungan ras manusia.

Pandemi Corona bisa saja mewakili berbagai penyakit endemik di Indonesia. Penyakit-penyakit yang setiap tahun memakan korban ratusan bahkan ribuan jiwa di Indonesia.

Corona adalah tantangan yang menguji seberapa cepat tanggap darurat kita terhadap berbagai wabah penyakit.

Masyarakat yang terdidik tentu tahu bagaimana menanggapi setiap potensi bahaya. Tahu persis bagaimana menanggapi berbagai bencana alam yang begitu besar potensinya terjadi di Indonesia.

Sama seperti bahaya yang diakibatkan oleh wabah penyakit maupun bencana alam, pun demikian dengan sikap intoleransi.

Salah satu ukuran keberhasilan pendidikan kita adalah menerima dan mencintai perbedaan. Perbedaan adalah kodrat manusia. Kebhinnekaan adalah kodrat Indonesia. Ia harus diterima. Ia harus dicintai.

Salah satu hal yang menarik dari survey indeks Kerukunan Umat Beragama adalah pendidikan keluarga  yang skornya 81,12 dalam menentukan angka indeks.

Bukan hanya soal teori, menghargai dan mencintai perbedaan harus benar-benar menjadi karakter baik yang ditumbuhkan dari ruang-ruang pendidikan pada tingkat manapun.

Sekolah sebagai institusi formal, di rumah-rumah, hingga di setiap institusi keagamaan harus mendorong sikap menghargai dan mencintai perbedaan. Sama seperti mencintai kodrat kemanusiaannya, sebagi pribadi yang berbeda dengan orang lain.

Kedua, Kesetaraan.

Sama seperti pendidikan keluarga, pendapatan rumah tangga pun menjadi salah satu skor yang menenutukan angka indeks KBU.

Survei KUB yang dilakukan oleh Kementerian Agama memang melihat beberapa berpengaruhnya pendidikan keluarga dan pendapatan rumah tangga serta peran kementerian terhadap sikap rukun di Indonesia.

Baca Juga: Tantangan Pemerintahan Baru; Memperbaiki Indeks Kemudahan Bisnis Indonesia

Ketiga hal ini menentukan bagaimana toleransi, kesetaraan dan kerjasama antar umat beragama; tiga faktor yang disoroti dalam dalam survei KUB.

Sikap intoleran muncul ketika seseorang tidak mempercayai orang lain. Ia merasa dieksploitasi secara ekonomi oleh orang yang tingkat ekonominya lebih baik.

Ketidakpercayaan ini semakin menjadi-jadi pada tingkat pendidikan yang rendah. Semakin rendah tingkat pendidikan, semakin ia tidak rasional.

Ketidaksetaraan dibidang ekonomi juga bisa dilihat dari rasio pengusaha per populasi  penduduk. Indonesia bahkan kalah dari Vietnam yang memiliki rasio 3,3 %. Sementara Indonesia hanya 3,1 % dibandingkan dengan Singapura 7 % dan Malaysia 5 %. (katadata.id, 1/10/2019)

Dan ternyata tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah wirausaha di suatu negara.

Ketiga, Kepahlawanan sehari-hari.

Banyak orang berpendidikan di negeri ini. Namun sangat sedikit menemukan mereka yang menjadi teladan. Penegakan hukum yang tidak maksimal, banyak sikap intoleran hanya selesai dengan materai 6 ribu.

Baca Juga: Menjadi Pahlawan hari ini

Banyak juga pejabat publik, tokoh agama, politisi yang justru tidak meneladankan sikap toleransi. Padahal negara ini butuh keteladanan.

Butuh sikap kepahlawanan dalam setiap kesempatan. Orang orang yang konsisten mencontohkan sikap toleransi dan kemauan bekerjasama dengan orang lain yang berbeda darinya.

Corona menang merenggut banyak kebebasan, namun sikap intoleran lebih berbahaya merong-rong NKRI. Selama kita masih intoleran, kita belum benar-benar merdeka. Medeka sebagai pribadi. Merdeka sebagai bangsa. (Foto: bpip.go.id)

Sebarkan Artikel Ini:

7
Leave a Reply

avatar
7 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga : Merdeka dari Pandemi, Merdeka dari Intoleransi […]

trackback

[…] Baca Juga: Merdeka dari Pandemi, Merdeka dari Intoleransi […]

trackback

[…] Ayo Baca Juga: Merdeka dari Pandemi, Merdeka dari Intoleransi […]

trackback

[…] Ayo Baca Juga: Merdeka dari Pandemi, Merdeka dari Intoleransi […]

trackback

[…] Baca Juga : Merdeka dari Pandemi, Merdeka dari Intoleransi […]

trackback

[…] Baca juga: Merdeka Dari Pandemi, Merdeka Dari Intoleransi […]

trackback

[…] Baca juga: Merdeka Dari Pandemi, Merdeka Dari Intoleransi […]