Eposdigi.com – Perhatian terhadap kesehatan mental mahasiswa kini menjadi prioritas lebih bagi banyak perguruan tinggi ternama, baik di Amerika maupun di Eropa, baik terhadap mahasiswa lokal maupun mahasiswa internasional.
Perhatian ini didorong oleh pemahaman bahwa sebagai remaja, para mahasiswa secara internal sedang mengalami krisis identitas dengan segala kompleksitasnya. Mahasiswa juga sedang mengalami berbagai tekanan bahkan ancaman, baik nyata maupun tidak nyata, akibat perubahan yang mereka hadapi.
Situasi ini menyebabkan banyak mahasiswa mengalami kecemasan. Kecemasan adalah rasa takut akan sesuatu yang belum terjadi. Mereka perlu dibantu mengatasi kecemasan-kecemasan mereka. Jika kecemasan tidak diatasi, dapat berlanjut menjadi kesedihan bahkan depresi.
Jika mahasiswa tidak dibantu menghadapi kecemasan, ketakutan, apalagi jika kecemasan dan ketakutan berubah menjadi depresi, maka akan menjadi gangguan mental. Dan ini secara potensi dialami oleh semua mahasiswa.
Potensi tersebut semakin besar pengaruhnya ketika mahasiswa mengalami berbagai ketidakpastian akibat perubahan yang dipicu oleh perkembangan teknologi informasi yang sekarang sangat dahsyat terjadi.
Baca juga :
Isu Kesehatan Mental Menjadi Isu Penting Untuk Mewujudkan Cita-Cita Indonesia 2045
Situasi inilah yang tampaknya menyebabkan hampir semua universitas di Amerika dan Eropa memberi perhatian pada issue kesehatan mental, juga pada mahasiswa internasional, karena selain menghadapi krisis identitas dengan kompleksitasnya, mereka juga harus menghadapi proses adaptasi budaya.
Lebih dari itu, kondisi mahasiswa dengan gangguan mental akan menghambat proses belajar bahkan pertumbuhan mereka ke arah yang lebih baik, yang seharusnya juga menjadi tujuan dari universitas.
Inilah yang membuat semua universitas di Amerika dan Eropa dan negara maju pada umumnya, memiliki direktur kesejahteraan mahasiswa untuk mengelola isu ini.
Bagaimana dengan universitas kita?
Belakangan ini, muncul berbagai kasus yang membuat kita menyimpulkan bahwa issue kesehatan mental mahasiswa kurang menjadi perhatian universitas kita. Kementerian kesehatan misalnya merilis data bahwa 1 dari 10 remaja mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Data lain misalnya seperti dilansir pada laman kompas.com mengambarkan bahwa dari 19 juta penduduk remaja berusia 15 hingga 20 tahun, 12 juta di antaranya mengalami gangguan mental. Bahkan berbagai kasus belakangan membuat kita mempertanyakan komitmen universitas terhadap pertumbuhan kesehatan mental mahasiswa mereka.
Baca juga :
Belum lama ini, NJW, mahasiswi Universitas Negeri Semarang, melompat dari lantai 4 mall Paragon Semarang hingga tewas di tempat kejadian. Ia diduga sedang mengalami depresi yang sebabnya belum diketahui.
Atau mahasiswi Kedokteran Hewan Universitas Negeri Airlangga yang ditemukan tewas di halaman apartemen di Sidoarjo, Jawa Timur. Ia juga diduga bunuh diri karena masalah depresi.
Kasus lain misalnya dialami oleh IMBS mahasiswa UNDANA Kupang yang tewas gantung diri hanya beberapa jam sebelum wisuda, juga diduga karena mengalami depresi. Atau ARB, juga mahasiswa di Kupang, yang ditemukan gantung diri di kamar kos.
Kasus paling akhir dialami oleh mahasiswa UI Syahrul Amru, yang ditemukan tewas di kosnya di Beji Depok. Kasus-kasus ini, sangat disayangkan terjadi.
Ini diakui atau tidak, menggambarkan bahwa universitas kita belum maksimal memberi perhatian pada issue kesehatan mental mahasiswanya.
Padahal issue kesehatan mental mahasiswa seharusnya menjadi salah satu issue sentral dan penting dalam pengelolaan pendidikan tinggi di tanah air, seperti universitas-universitas di negara-negara maju.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com , kami tayangkan kembali dengan izin dari penulis / Foto: prasetiyamulya.ac.id
Leave a Reply