Eposdigi.com – Hari ini (17 Agustus) ketika artikel ini saya kerjakan, Indonesia sedang merayakan hari ulang tahun kemerdekaan yang ke 75. Usia 75 tahun seharusnya menjadi usia yang cukup matang.
Usia di mana kita sebagai bangsa telah berkali-kali belajar dari kegagalan pembangunan kita. Hasil belajarnya adalah membangun secara lebih esensial dan berdaya guna, sehingga semua warga negara, harusnya sudah hidup lebih sejahtera.
Namun hingga kini, warga miskin masih sangat banyak. Pembangunan yang kita saksikan hampir lima dekade hanya dinikmati oleh segelintir warga.
Ini terjadi karena korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kini seperti telah menjadi gaya hidup para birokrat dan penguasa negeri. Skandal demi skandal korupsi terjadi sejak jaman reformasi.
Baca Juga : Sinergi Menuju Indonesia Jaya
Ada skandal bank Bali, skandal BLBI, ada skandal pembobolan Bank BNI, ada pula skandal Bank Century, dan yang terbaru ada skandal asuransi Jiwasraya.
Di samping skandal besar terkait perbankan, terjadi juga skandal penyelewengan dana pembangunan yang digunakan untuk membiayai kerja politik, pribadi atau kelompok tertentu, terkait pemilihan umum atau pemilihan ketua umum partai.
Salah satu kasus yang terbongkar adalah kasus E-KTP yang melibatkan mantan ketua DPR Setya Novanto. Dana untuk proyek E-KTP dikorupsi sehingga proyek yang dianggarkan pada jaman Presiden SBY tersebut tidak tuntas hingga 10 tahun kekuasaannya berakhir.
Korupsi model ini sebetulnya terjadi sangat marak di hampir semua departemen, sehingga mutu pelaksanaan program menjadi buruk, mutu bangunan terkait pembangunan fisik menjadi buruk, bahkan mangkrak.
Baca Juga : Merdeka dari Pandemi, Merdeka dari Intoleransi
Sehingga pembangunan sepertinya terus berjalan namun berjalan secara semu. Meskipun pembangunan menghabiskan anggaran, namun pembangunan sesungguhnya tidak membuahkan kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, pemerataan kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan tertinggi dari pembangunan tidak kunjung tercapai. Negara terus dibangun, tetapi malah terpuruk secara ekonomi.
Belum lagi penyelewengan kebijakan publik yang merugikan negara, dilakukan oleh para politisi dan pimpinan birokrasi, yang berkolusi dengan para pelaku bisnis hitam.
Dua contoh kolusi tersebut misalnya terkait PT Freeport, atau import BBM melalui Petral. Dua kebijakan ini berlaku selama hampir 50 tahun, padahal kebijakan ini sangat merugikan negara dan dinikmati oleh oknum atau kelompok tertentu.
Praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti inilah yang menyebabkan tujuan tertinggi dari pembangunan, yakni kesejahteraan rakyat, tidak kunjung terwujud. Ini membuat rakyat frustrasi dan menganggap negara tidak hadir.
Lahan subur radikalisme
Jika negara tidak hadir ketika rakyat kesulitan, maka nasionalisme warga negara tidak akan tumbuh pula. Situasi ini dapat menjadi lahan yang subur bagi hadirnya gerakan radikalisme.
Radikalisme dapat muncul baik sebagai gerakan pembebasan yang mengusung ideologi sekuler, atau gerakan yang mengatasnamakan agama, untuk mengubah tatanan kekuasaan yang ada, berdasarkan hukum agama tertentu.
Saat ini di Indonesia muncul gerakan radikalisme berdasarkan ajaran agama tertentu. Penelitian sejak tahun 2010 membuktikan pernyataan tersebut.
Penelitian-penelitian tersebut membuktikan bahwa sebagian gerakan radikalisme menggunakan lembaga-lembaga pendidikan sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran dan mendorong gerakannya.
Baca Juga : Antara Fahri Hamzah, Fadli Zon, Corona dan Demokrasi Jokowi
Pada bulan Oktober tahun 2010 hingga Januari 2011, penelitian dari Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian, seperti dilansir padsa laman BBC News, menyimpulkan bahwa hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal.
Data tersebut menyebutkan, 25% siswa dan 21% guru menyatakan bahwa Pancasila sudah tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam.
Penelitian yang sama juga menyimpulkan bahwa 52,3% siswa dan 14,22% guru membenarkan serangan bom jika itu diperlukan dalam perjuangan.
Sedangkan penelitian lain yang dilakukan oleh The Pew Research Center pada tahun 2015 mengungkapkan bahwa di Indonesia, sekitar 4% atau sekitar 10 juta orang mendukung perjuangan ISIS. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda; pelajar, dan mahasiswa.
Pada tahun 2017, Alvara Research Centre melakukan penelitian yang melibatkan 4.200 siswa dan mahasiswa di Jawa serta di sejumlah kota besar di luar Jawa.
Penelitian tersebut memiliki jumlah responden yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan semua responden penelitian tersebut beragama Islam. Mereka berasal dari kalangan ekonomi menengah, yang belajar pada perguruan tinggi negeri dan SMA negeri unggulan di Indonesia.
Baca Juga : Problem Parpol Sebagai Pilar Demokrasi
Penelitian tersebut menyimpulkan, 25% peserta didik siap berjihad untuk tegaknya Negara Islam. Kurang dari 20% peserta didik lebih memilih ideologi Islam dibandingkan Pancasila.
Penelitian tersebut juga menyimpulkan, hampir 20% peserta didik setuju khilafah sebagai bentuk pemerintahan yang ideal dibandingkan NKRI.
Hampir 25% peserta didik juga setuju dengan pernyataan bahwa Negara Islam perlu diperjuangkan, untuk penerapan Islam secara kaffah (menyeluruh).
Penelitian lebih baru dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta terhadap guru muslim TK hingga SMA., Penelitian ini menyimpulkan, lebih dari separuh atau 56,9% responden beropini intoleran.
Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa sebanyak 46,09% guru setuju dengan konsep Negara Islam. Mereka bahkan aktif menganjurkan agar orang lain ikut berperang mewujudkan Negara Islam.
Lembaga pendidikan telah disusupi ajaran radikal
Hasil penelitian pada pemaparan di atas menggambarkan bahwa guru dan murid tidak hanya telah terpapar gerakan radikal namun juga telah menjadi bagian aktif, dari gerakan tersebut.
Kesimpulan-kesimpulan penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa lembaga pendidikan yang oleh negara yang harusnya disiapkan menjadi tempat paling strategis untuk membina nasionalisme dan persatuan antar warga, kini telah berfungsi sebaliknya.
Melalui lembaga pendidikan, anak muda sebagai masa depan bangsa justru disusupi ajaran konservatif, ditanami benih intoleransi bahkan benih radikalisme.
Mereka secara konservatif menganggap ajaran mereka paling benar. Oleh karena itu, memaksa orang lain mengikuti kebenaran yang mereka yakini, bahkan dengan kekerasan, sehinga menimbulkan intoleransi dan disharmoni dalam masyarakat.
Dalam jangka panjang, jika ini tidak serius ditangani oleh aparatur pemerintah terkait, akan menjadi bom waktu bagi Indonesia.
Baca Juga : Menangkal Radikalisme dalam Dunia Pendidikan
Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus segera dibersihkan dari unsur-unsur gerakan radikal. Program deradikalisasi harus segera diupayakan. Guru dan peserta didik yang terpapar intoleransi dan radikalisme harus dibersihkan.
Pada saat yang sama, praktek-praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme, harus dibersihkan dari tubuh birokrasi pemerintahan di semua level.
Sehingga tujuan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat tidak lagi diselewengkan hanya untuk kesejahteraan pribadi dan segolongan kecil orang.
Pembangunan dengan demikian untuk mencapai kesejahteraan rakyat adil dan makmur. Ini adalah penangkal radikalisme yang paling sejati.
Inilah cara mempertahankan Indonesia sebagai negara bangsa bersama peradabannya, hingga menembus banyak jaman. Dirgahayu kemerdekaan Indonesia ke-75.
Tulisan ini sebelumnya tayang di depoedu.com dengan judul : “Gerakan Radikal di Lembaga Pendidikan, Indonesia dalam Ancaman, di Usia 75 Tahun?” / Foto : koranbogor.com
[…] Baca Juga : Radikalisasi di Lembaga Pendidikan Mengancam Indonesia? […]
[…] Baca Juga: Radikalisasi di Lembaga Pendidikan Mengancam Indonesia? […]
[…] Ayo Baca juga: Radikalisasi di Lembaga Pendidikan Mengancam Indonesia? […]
[…] Baca Juga: Radikalisasi di Lembaga Pendidikan Mengancam Indonesia? […]
[…] Baca Juga : Radikalisasi di Lembaga Pendidikan Mengancam Indonesia? […]