Menjawab Tiga Tantangan Pariwisata Mekko

Bisnis
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Ada tiga tantangan besar yang harus dijawab oleh Mekko sebagai destinasi pariwisata. Terlebih kerena Mekko menjadi salah satu ikon wisata yang masuk dalam nominasi Anugerah Pesona Indonesia tahun 2020 ini.

Dalam tulisan kemarin di media ini, sudah saya uraikan bahwa, Anugera Pesona Indoesia baru bisa menjadi berkah bagi masyarakat Dusun Mekko, Desa Pledo, Kecamatan Witihama, ketika semua geliat pariwisata di Mekko memberi kontribusi secara langsung pada masyarakat setempat.

Pariwisata di Mekko, baik langsung maupun tidak langsung, harus bisa meningkatkan pendapatan, terutama bagi masyarakat Dusun Mekko.

Baca Juga: Mekko Masuk Nominasi API 2020: Untuk Siapa?

Untuk itu maka sebagai salah satu destinasi pariwisata, Mekko harus bisa menjawab tiga tantangan yaitu : Pertama; Bagaimana membuat semakin banyak banyak orang datang ke Mekko. Kedua Bagaimana caranya menahan orang yang datang untuk tinggal lebih lama di Mekko.

Dan tantangan ketiga adalah Apa yang harus dilakukan agar mereka yang sudah datang, memutuskan untuk kembali datang dilain kesempatan dengan mengajak lebih banyak orang.

Pertama : Bagaimana membuat semakin anyak orang datang ke Mekko?

Sebelum pertanyaan ini dijawab, barangkali kita terlebih dahulu harus menjawab: Faktor apa yang membuat wisatawan begitu tertarik mengunjungi Mekko?

Pertanyaan ini pasti mendapat jawaban spontan dari siapa saja yang ditanya. “Karena panorama pasir putih yang berada (timbul) di tengah laut”. Daya tarik utama inilah yang membuat Mekko begitu diminati wisatawan.

Pertanyaan berikutnya yang bisa saja muncul adalah : Apakah cukup Mekko mengandalkan pasir putihnya itu untuk menarik banyak wisatawan? Pertanyaan ini tentu sedikit sulit. Butuh dipikirkan sejenak untuk memberi jawaban yang pas.

Baca Juga: Tujuh Kawasan Wisata Baru di NTT dikembangkan bersama Masyarakat Desa

Kemudian yang ada di dalam pikiran kita, apakah Mekko adalah destinasi wisata utama di Adonara atau di Flores Timur? Apakah ia menjadi daya tarik utama wisatawan mengunjungi Flores Timur?

Ataukah Mekko menjadi objek wisata penyanggah atas destinasi wisata utama lainnya di Flores Timur? Pertanyaan ini menuntun kita untuk mengidentifikasi ikon pariwisata lain di Floes Timur yang bisa saling mendukung satu sama lain.

Sebab bagaimanapun Mekko tidak cukup hanya “dijual” sebagai satu-satunya daya tarik wisata. Ia butuh saling mendukung dengan ikon pariwisata lain. Entah dengan ikon wisata religius Semana Santa yang telah mendunia atau ikon pariwisata lain yang dengan sengaja dikreasikan.

Dalam Surat Dari Adonara yang dimuat di media ini pada Desember 2019 lalu, saya menulis bahwa Mekko bisa saja didukung oleh ikon wisata penyanggah lain. Wisata edukasi mangrove yang luas di dekatnya.

Baca Juga: Surat dari Adonara; Desember 2019

Bisa juga wisatawan diajak untuk melihat tambak garam lewobuto, juga ke sentra budi daya mutiara. Atau barangkali diajak beragrowisata ke kebun-kebun sorgum di sekitar Mekko. Kemudian sambil bermalam, wisatawan diajak ke”Metin” bersama warga.

Wisatawan juga barangkali diajak menjelajah sambil menyelam menikmati panorama bawah laut. Tentu ini bisa sekaligus menghentikan praktek penangkapan ikan secara takramah lingkungan. Kita butuh serius merehabilitasi trumbu karang di sekeliling Mekko.

Tentu ikon-ikon wisata penyanggah Mekko ini perlu mendapat sentuhan yang serius dari semua stakeholder pariwisata di Flores Timur. Mereka harus didandani dengan rencana yang matang, kemudian dipoles agar rupanya elok se cantik pasir  putih tengah laut Mekko.

Ketika wisatawan melihat dan mengalami sesuatu yang lain yang melebihi ekspetasi mereka terhadap Mekko, barang kali itu berarti kita sudah berani menjawab pertanyaan pertama.

Kedua: Bagaimana menahan wisatawan untuk tinggal lebih lama di Mekko?

Pesona utama Mekko adalah pasir putih timbul di tengah laut miliknya. Ini tentu suatu paradox. Kita mengharapkan banyak yang datang mengunjungi hamparan pasir putih yang terbentuk oleh gelombang tersebut.

Baca Juga: Membaca “ Turis Miskin Dilarang ke NTT”

Bukankah semakin banyak yang berkunjung bisa saja mengakibatkan hamparan pasir itu tenggelam ke dalam laut karena terinjak-injak? Semakin banyak orang berkunjung semakin cepat ia tenggelam. Jika demikian apa lagi yang kita andalkan sebagai ikon utama pariwisata Mekko?

Lantas bagaimana caranya ini dikelolah dengan baik? Mempertahankan dan meningkatkan jumlah pengunjung pasir putih Mekko, sambil mempertahankan keasrian lingkungannya. Pengunjung tetap banyak, pasir terjaga tak tenggelam.

Karenanya wisatawan harus diajak ke daratan utama Dusun Mekko di Pulau Adonara. Sambil mereka disuguhi dengan ikon wisata lain yang menyanggah hamparan pasir putih tengah laut yang tak seberapa luas itu.

Mengajak mereka ke daratan utama ini juga sekaligus menjawab tantangan nomor dua. Apa yang didapat wisatawan pada hamparan pasir putih tengah laut Mekko?

Barangkali mereka mengambil beberapa foto. Butuh paling lama 1 jam disana. Kemudian mereka naik perhu dan menghilang entah kemana. Jika demikian masyarakat Dusun Mekko dapat apa?

Baca Juga: Memberdayakan desa-desa penyangga wisata Taman Nasional Kelimutu

Dengan mengajak mereka ke daratan utama, kita bisa menyuguhi mereka yang kelaparan dengan kuliner lokal. Menahan mereka untuk menginap dengan janji dibawa serta ke”Metin” mencari ikan. Metin itu ikonik, berkearifan lokal, unik, khas. Tentu memiliki nilai jual.

Setelah menginap semalam, ke esokan harinya diajak berargowisata sejauh mungkin masuk ke kebun-kebun sorgum milik warga. Di sana disuguhi berbagai jajanan olahan sorgum. Sambil sarapan dengan mie sorgum. Kemudian makan siang dengan nasi dari sorgum.

Jika haus, wisatawan bisa disuguhi dengan manis perasan batang sorgum, segar buah kelapa dan “belehek” (buah lontar) yang menghilangkan dahaga.

Jangan lupa menahan mereka lebih lama. Semakin lama tinggal. Semakin banyak uang yang dikeluarkan.

Malam kedua, suguhi mereka dengan berbagai kesenian lokal. Ada gambus, sole oha, lili naman, dan semua kesenian atraktif lainnya. Jauh malam, ajak mereka ke “metin” lagi. Buat mereka begadang semalaman mencari ikan.

Karena begadang semalaman hari berikutnya biarkan mereka istirahat sambil jalan jalan santai ke hutan mangrove. Sertakan mereka dalam kegiatan sosial. Menanam bakau misalnya. Kemudian ajak mereka melihat tambak garam di Lewobuto.

Baca Juga: Mewujudkan Pasar Premium Tenun Ikat NTT

Wisatawan harus menginap di homestay-homestay milik warga. Makan makanan lokal yang diolah oleh komunitas warga. Kemudian ketika akan pamit mereka membeli berbagai buah tangan yang disediahkan warga.

Ini adalah esensi dari pariwisata untuk kesejahteraan masyarakat di lokasi ikon sebuah destinasi wisata.

Akan berbeda jika wisatawan menginap di hotel-hotel di Larantuka. Mereka kemudian sewa perahu langsung menuju hamparan pasir putih di tengah laut Mekko. Setelah setengah jam asik berfoto, mereka kembali ke perahu, kemudian menghilang. Jika demikian masyarakat Mekko dapat apa?

Lain cetita jika wisatawan naik kendaraan umum dari Larantuka. Naik motor laut penyeberangan Larantuka  – Adonara, entah lewat Waiwerang atau Tanah Merah. Tentu transportasi laut ini mendapat berkah dari pariwisata.

Kendaraan yang mengantar mereka ke Mekko pun demikian. Ketiban durian runtuh pariwisata Mekko. Tinggal bagaimana desa-desa disepanjang jalan yang dilalui mempercantik diri.

Memoles wajah sedemikian rupa agar wisatawan rela berhenti untuk singgah, karena ada daya tarik dari desa tersebut  yang layak dijual kepada wisatawan.

Pada saat yang sama, siapapun ia wisatawan, dari manapun datangnya, ia akan betah ketika mendapat pelayanan yang mendamaikan hati, menyenangkan pikirannya. Pariwisata adalah bisnis “hospitality” Menjual keramah-tamahan.

Baca Juga: Gubernur NTT: Festival Pariwisata Harus Berdampak Terhadap Ekonomi Masyarakat

Seindah apapun panorama alam milikmu, jika tanpa menghadirkan keramahtamahan jangan harap wisatawan betah lamah berkunjung. Justru ini adalah tantangan paling berat. Namun juga paling bisa diupayakan.

Masyarakat pemilik ikon-ikon pariwisata harus disiapkan dengan serius. Goalnya adalah sikap sadar wisata. Keramahtamahan yang sudah mendarang daging. Hospitality yang menjadi cara bertindak. Bukan kesan yang sengaja dihadirkan namun penuh kepalsuan.

Ketiga: Apa yang harus dilakukan agar wisatawan datang kembali di kemudian hari?

Ketika kita sudah lulus ujian dari tantangan pertama dan kedua, tentu lebih mudah untuk menjawab tantangan berikutnya.

Panorama alam kita terjaga. Atraksi kesenian daerah kita rawat. Keramatamahan yang menyentuh hati. Adalah daya tarik yang menimbulkan kerinduan untuk perjumpaan kembali. Lagi dan lagi.

Baca Juga:Keaslian budaya kampung adat Wae Rebo bisa hilang tergerus moderenitas

Apalagi jika wisatawan dijanjikan sesuatu yang lebih. Entah event tahunan atau sesuatu yang berbeda, yang melebihi ekspetasi mereka pada kunjungan sebelumnya.

Tentu ketiga tantangan ini tidak mudah kita lewati. Ajang Anugerah Pesona Indonesia barang kali bisa menjadi batu loncatan. Namun pada akhirnya Mekko wajib berbenah agar bisa menaklukan tantangan ini.

Apa pun hasil poling API yang SMS-nya premium itu, tetap saja lebih baik jika membangun pariwisata Mekko lewat prinsip gemohin.

(Foto diambil dari Facebook)

Sebarkan Artikel Ini:

2
Leave a Reply

avatar
2 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
1 Comment authors
sinditokan Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
sinditokan
Guest
sinditokan

diharapkan masyarakat desa Meko untuk lebih menyadari pentingnya sektor pariwisata ini dan memanfaatkannya dengan baik, yang mana sebenarnya dapat membantu perekonomian masyarak desa Meko. Selain itu, untuk menghindari terjadinya penenggelaman hamparan pasir putih akibat banyaknya kunjungan, mungkin dapat diberlakukannya pembatasan wisata massal, yang mana jenis wisata ini dapat menjadi pemicu hilangnya hamparan pasir timbul Meko.

trackback

[…] Baca Juga: Menjawab Tiga Tantangan Pariwisata Mekko […]