Darurat Bencana Dan Manajemen Satu Pintu

Nasional
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Sebagian besar bencana, terutama bencana alam, merupakan peristiwa tak terduga walau sebagian bencana alam sesungguhnya sudah bisa diprediksi karena itu ada upaya mitigasi bencana jauh sebelum bencana itu terjadi.

Adalah magnitude atau tingkat kedahsyatan suatu bencana beserta kerusakan yang ditimbulkan yang tidak dapat diprediksi secara akurat. Keduanya sama-sama membutuhkan tindakan tanggap darurat secara tepat dan cepat.

Pengalaman terlibat langsung dari bencana ke bencana, dari konflik ke konflik, mengajarkan kepada saya tentang satu fakta pahit: bahwa masa tanggap darurat sudah selesai, bahkan sudah lama selesai, tetapi bahan bantuan di gudang logistik lembaga satu pintu atau lima pintu masih menumpuk, tidak tersalurkan, apalagi tersalurkan secara tepat sasaran, berkeadilan, transparan, dan akuntabel.

Baca Juga:

Peran Komunitas Orang Muda dalam Kebencanaan

Anda tahu apa yang dilakukan dengan sisa-sisa bahan bantuan yang gagal disalurkan tersebut? Cerita-cerita miris yang tidak cukup diungkapkan di sini.

Dalam situasi tanggap darurat bencana muncul keinginan, harapan, bahkan tuntutan adanya manajemen tanggap bencana satu pintu.

Tujuannya baik dan jelas: supaya ada koordinasi terpadu dan efektif dalam manajemen bantuan pada tiga tahapan kerja:

(a) input: tertib pendataan berbagai jenis bantuan dan sumber bantuan dengan membuat database logistik bahan bantuan yang masuk;

(b) processing: membuat daftar kebutuhan menurut jenis barang, peruntukan, tingkat urgensi, melakukan mapping atau pendataan sebaran korban untuk mengetahui siapa dan di mana butuh bahan bantuan apa dengan tingkat urgensi seperti apa, mengelola, memverifikasi dan memeriksa ketersediaan barang sesuai permohonan bantuan yang masuk ke posko,  mengelola manajemen gudang bantuan untuk siap menyalurkan bahan bantuan, dst;

Baca Juga:

Bagaimana Gemohing terlibat dalam Mitigasi Bencana di Jepang?

(c) output:  menyalurkan bahan bantuan tepat waktu, tepat sasaran, transparan, akuntabel, dan berperi-kemanusiaan dan peri-keadilan. Semua jenis bahan bantuan yang masuk dan keluar dapat dimonitor di layar komputer data base bantuan: persediaan bahan bantuan, bahan apa saja sudah keluar dari gudang, dikirim kemana pada tanggal berapa oleh siapa atau satgas apa, dst, sehingga stok barang bantuan di gudang bisa terpantau apa yang sudah habis dan apa yang masih tidak tersalurkan (transparansi).

Pekerjaan ini melibatkan banyak orang dengan berbagai keahlian dan kesukarelaan tingkat tinggi. Manajemen satu pintu amatir tidak mampu menangani kompleksitas pekerjaan seperti ini.

Niat baik saja tidak cukup, bahkan berpotensi menjebloskan banyak orang baik ke dalam penjara: bukan karena mereka tidak jujur tetapi karena mereka tidak paham manajemen logistik kebencanaan.

Baca Juga:

Soal Mitigasi Bencana: Jepang lakukan ini, Bagaimana dengan Kita?

Sampai di sini di atas kertas dan teori semuanya nampak baik. Apakah di lapangan juga semuanya berjalan semudah itu dengan manajemen satu pintu?

Suatu bencana alam atau konflik sosial dengan skala eskalasi yang luas dan dahsyat akan melibatkan banyak pihak, terutama dari luar komunitas yang terdampak bencana.

Ada Lembaga pemerintah seperti BNPB dengan perwakilannya di daerah, ada lembaga NGOs nasional dan internasional, ada lembaga agama, ada inisiatif kelompok atau perorangan,dll. Memaksa dan menggiring semua lembaga ini masuk melalui, atau membentuk, manajemen tanggap bencana satu pintu adalah mustahil.

Pertanyaan lebih menohok: Lembaga mana di daerah atau pada tingkat nasional yang memiliki kewenangan untuk mengklaim diri menjadi lembaga satu pintu untuk semua lembaga lain?

Baca Juga:

“Bencana” dan Bencana – Relawan dan “Relawan”

Atau dibalik: lembaga, kelompok, atau individu peduli mana yang mau bergabung dengan lembaga yang menghendaki agar dirinya diakui dan dijadikan lembaga satu pintu itu?  Saya tidak ingin menyebut nama-nama lembaga itu di sini sebab diskusinya bisa melebar keluar jalur.

Darurat Manajemen Satu Pintu

Lembaga lembaga yang merasa punya kredibilitas, otoritas, nama besar, pengalaman dan jaringan luas cenderung menuntut agar mereka menjadi lembaga koordinator satu pintu untuk semua mekanisme manajemen tanggap darurat.

Namun demikian, masalah-masalah berikut merupakan indikasi kedaruratan lembaga satu pintu yang pantas dipikirkan ulang:

1. Kolaborasi: Memiliki nama besar dan jaringan internasional luas tidak identik dengan memiliki jaringan, sumberdaya relawan, tim SAR yang handal mengakar di daerah.

Baca Juga:

Jika Gempa (lagi) Kita Harus Lari Ke Mana?

Apalagi jika suatu kegiatan tanggap darurat bencana meliputi suatu kawasan yang luas dengan medan jangkauan yang berat. Kolaborasi dengan banyak pihak jauh lebih efektif daripada memaksakan diri menjadi satu pintu untuk banyak agencies dan kelompok-kelompok inisiatif plus aktivis kemanusiaan.

2. Belum pernah ada cerita, habis masa tanggap darurat ada pertanggungjawaban penggunaan logistic bantuan kebencanaan secara transparan dan melalui proses audit.

Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga luar (harus) angkat kaki karena masa tanggap darurat sudah selesai, sementara pekerjaan mereka, juga barang-barang bantuan yang mereka ‘timbun’ di dalam gudang logistik kebencanaan belum tersalurkan semua.

3. Penelantaran dan penyalahgunaan sisa-sisa logistic yang tidak tersalurkan karena ketidakmampuan lembaga tanggap darurat (entah bernama yayasan atau apa saja) adalah bentuk tindak kriminal terhadap para korban yang masih menderita dan masih membutuhkan bantuan.  

Tentu masih ada banyak hak yang bisa didiskusikan di sini.

Foto ilustrasi dari rri.c.id

Sebarkan Artikel Ini:

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of