Eposdigi.com – Indonesia, memang kaya akan banyak hal. Ribuan pulaunya. Ribuan juga suku dan budayanya. Tidak hanya itu. Ribuan kali dan berbagai jenis bencana, baik alam maupun bencana sosial sering terjadi di Indonesia.
Posisi unik Indonesia yang berada persisi diatas cincin api pacifik (ring of fire). Jalur gunung api paling aktif di dunia, inilah yang membuat Indonesia memiliki banyak gunung api aktif sekaligus banyak dari gunung api aktif ini sering meletus setiap tahun.
Tidak hanya gunung api. Indonesia juga dikelilingi oleh sabuk patahan kerak bumi, yang menjadikannya berada pada jalur gempa paling aktif nomor 2 di dunia. Belum lagi oleh karena pusaran angin yang kadang membentuk badai.
Baca Juga: Membidik Target Pendidikan Kebencanaan
Curah hujan yang tinggi di beberapa daerah, atau kekeringan ekstrim, langganan banjir dan tanah longsor, lahar dingin pun banjir badang, naiknya muka laut penyebab banjir rob, menjadi langganan bagi banyak tempat di Indonesia.
Belum lagi potensi bencana sosial yang kerap muncul karena latar belakang keberagaman budayanya yang sangat kaya.
Namun besarnya potensi bencana baik alam maupun sosial budaya ini belum diikuti oleh prespektif kebencanaan yang dipahami dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat. Dari kota-kota besar hingga ke pelosok kampung.
Baca Juga: Flores Timur Sigap hadapi Bencana?
Kesadaran akan bencana yang masih lemah diikuti oleh masih rendahnya kolaborasi sinergis, bahkan hanya sekedar kordinasi pihak terkaitpun masih belum tuntas dilakukan.
Belum ada kordinasi yang satupadu antara pemerintah, relawan, akademisi, dunia usaha, bidang kesehatan, bisnis, dan bidang lannya ketika bancana menimpa.
Adalah Sinam Sutarno dari Jaringan Radio Komunitas Indonesia, turut berbagi cerita pengalaman komunitasnya, terlibat aktif dalam memitigasi, penanggulangan gawat darurat hingga rehabilitas dan rekonstruksi pasca bencana.
Hal ini Sinam lakukan saat hadir sebagai pembicara dalam diskusi virtual dengan tema “Peran Komunitas Orang Muda dalam Kebencanaan” yang diselenggarakan oleh Jaringan Komunitas Flores (29/12/2021) barusan ini.
Baca Juga: Ketahanan Pangan dan Mitigasi Bencana
Tidak hanya itu, “kita juga masih belum memiliki panduan tanggap bencana yang bisa dipakai oleh siapa saat terjadi bencana,” kata Sinam kemudian.
Sinam kemudian melanjutkan, “belum ada sistem informasi dan komunikasi yang terintegrasi dan bisa dipakai semua pihak.”
Kenyataan seperti ini harus menjadi sintesa untuk menghadirkan antitesis-antitesis baru terkait kebencanaan di Indonesia.
Baca Juga: Bagaimana Gemohing terlibat dalam Mitigasi Bencana di Jepang?
Berangkat dari pemahaman akan berbagai potensi resiko (peta resiko) bencana secara utuh, kita kemudian baru bisa berpikir untuk meyususn sebuah rencana kontigensi (rekon) terkait bencana di Indoensia.
Setelah rencana kontijensi (rekon) bencana terdokumentasikan dengan baik, kemudian membangun berbagai kolaborasi sinergi dengan para pihak. Kolaborasi sinergis seperti ini akan menghasilkan pembagian peran yang tepat sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
Setelah rekon dilengkapi dengan kerja kolaboratif dan sinergis barulah kita membiasakan simulasi tanggap darurat. Langkah-langkah ini harus bisa disosialisasikan secara sengaja dan intens kepada seluruh lapisan masyarakat.
Baca Juga: Jika Gempa (lagi) Kita Harus Lari Ke Mana?
Salah satu peran yang harus disinergiskan dengan baik adalah pegelolaan data center atau pusat data kebencanaan.
Data-data dan berbagai informasi terkait bencana harus keluar dari otoritas terkait yang didistribusikan dan diterima sebagai satu-satunya informasi kredibel mengenai bencana alam dan dipastikan agar masyarakat hanya mengakses informasi pada satu pintu ini.
Jika tidak “Setiap terjadi bencana alam, selang beberapa detik kemudian muncul bencana baru yang lebih parah, yaitu beredar dan diterimanya serbagai informasi hoax terkait bencana tersebut”, kata Sinam.
Baca Juga: “Bencana” dan Bencana – Relawan dan “Relawan”
Apa yang disampaikan Sinam Sutarno diamini juga oleh Darius Boro Beda, narasumber lain dalam diskusi ini, yang menceritakan keterlibatannnya dalam penanganan badai Siklon Seroja di Adonara, Flores Timur April 2021 lalu.
Darius Boro Beda mengalami betul bagaimana pentingnya data-data kebencanaan yang terpusat, yang dikelolah secara akuntabel dan kredibel oleb pihak terkait. Data-data ini sangan diuperlukan agar penanggulangan bencana dapat tepat sasaran.
Data-data ini akan sangat memudahkan berbagai komunitas relawan penanggulangan bencana dapat berpartisipasi secara efektif sesuai denga keterampilannya masing-masing.
Baca Juga: Soal Mitigasi Bencana: Jepang lakukan ini, Bagaimana dengan Kita?
Boro Beda mengungkapkan bahwa pasrtisipasi kaum muda saat terjadi bencana sangat dibutuhkan. Bentuk-bentuk partisipasi ini antara lain, berupa pemkiran, penggali dan pengumpul informasi dan data, sumbangsih tenaga sebagai petugas efakuasi korban, kealhian memanage posko, juga menjadi ujung tombak penggalangan dan distribusi berbagai macam dan jenis sumbangn.
Namun yang terjadi dilapangan selalu tidak sesederhana yang dibayangkan. Karena itu membangun prespektif kebencanaan yang sama dan yang bisa menyentuh setiap lapisan masyarakat membutuhkan kerja serius.
Prespektif kebencanaan melahirkan mitigasi bencana yang berkearifan lokal. Baik Sinam mupun Boro Beda senada, bahwa berbagai pengalaman empiris masyarakat lokal yang tertuang dalam berbagai kearifan lokal, yang diwariskan turun temurun sebagai bagian dari mitigasi bencana perlu diangkat kembali dan didokumentasikan dengan baik.
Pendokumentasian ini jelas berguna untuk membangun prespektif kebencanaan kepada generasi-generasi yang akan datang.
Baca Juga: Belajar Mitigasi Bencana Alam dari Jepang
Tentu ini juga bukan perkara mudah. Karena itu Sinam mengusulkan agar dalam membangun prespektif kebencanaan ini, harus dimulai dari komunitas lokal terkecil masyarakat, yaitu di tingkat desa.
Mulai dari memetakan desa mana yang memiliki potensi bencana tinggi, kemudian pendampingan untuk menyusun rencana kontijensi (rekon), meempatkan sumber daya manusia sesuai keahlian mulai dari mitigasi, penanggulangan bencana, hingga rekonstruksi pasca bencana, hingga simulasi bencana secara berkala.
Foto: dok Jaringan Komunitas Flores
Leave a Reply