Soal Mitigasi Bencana: Jepang lakukan ini, Bagaimana dengan Kita?

Lingkungan Hidup
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – Hujan dengan intesitas tinggi, angin  kencang, gelombang tinggi yang dibawa oleh  Siklon Seroja mengakibatkan banjir badang, tanah longsor dan bajir rob air laut di banyak wilayah di NTT.

Masyarakat terkejut. Tak menyangka. Sebab kejadian bencana hidrometerologi dengan dampak sebesar ini baru kali ini terjadi. Kita tidak siap.

Ketidak siapan kita semua, pemerintah dan masyarakat, atas bencana hidrometeorologi awal bulan lalu meninggalkan banyak ‘PR’ buat kita semua.

Baca Juga: Flores Timur Sigap hadapi Bencana?

Sudah hampir sebulan, namun penanganan terhadap dampak dari bencana 4 April lalu masih jauh dari memuaskan banyak orang. Tulisan ini tidak sedang menguraikan satu demi satu hal-hal yang masih harus kita benahi terkait penanganan paska bencana.

Benar bahwa penanganan dampak bencana awal bulan lalu harus jadi prioritas, namun PR  besar sedang menanti kita kedepan. Mitigasi bencana alam secara menyeluruh juga penting jadi perhatian kita semua. Pemerintah dan masyarakat.

Soal mitigasi ini kita bisa belajar banyak dari Negeri Matahari Terbit. Jepang, terkait bencana alam, terutama gempa bumi, memiliki banyak kemiripan dengan Indonesia.

Baca Juga: Belajar Mitigasi Bencana Alam dari Jepang

Dalam konteks Gempa Bumi, mungkin tidak terhindarkan bila terjadi. Yang jepang lakukan adalah bagaiamana mencegah dan meminimalisir jatuhnya korban dan penanganan cepat dan tepat terhadap korban bencana.

Apa yang Jepang lakukan dalam mitigasi bencana mereka?

Pertama: Rencana Tata Ruang dan Bangunan tahan Bencana (Gempa)

Untuk meminimalisir jatuhnya korban, rumah-rumah di Jepang dibuat tahan terhadap gempa. Gedung-gedung publik direlokasi ke tempat yang aman dari tsunami. Pemerintah mensubsidi masyarakat untuk mendapatkan sertifikat tahan gempa atas rumah-rumah mereka.

Baca Juga: Bahaya Besar Menanti di balik Sumur Bor

Kita bisa belajar dari Jepang. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus bisa mengidentifikasi potensi-potensi dan kerawanan bencana. RTRW ini dikomunikasikan ke masyarakat agar pembangunan perkampungan dan atau hunian sedapat mungkin jauh dari daerah rawan bencana.

Kita bisa memulai dari sekarang, setiap pembangunan dan atau renovasi, hunian atau bangunan sarana publik harus mengantongi Ijin Mendirikan Bangunan (IBM) yang sekarang diganti dengan Persetujuan Bangun Gedung (PBG).

Dalam PBG ini harus bisa mengakomodir syarat-syarat bangunan tahan terhadap berbagai potensi bencana. Tahan gempa, tahan angin kencang, tidak berada di area rawan longsor dan banjir badang, jauh dari potensi rob air laut.

Perda RTRW memastikan daerah resapan air tidak beralih fungsi. Area mata air dan DAS dijaga kelestariannya. Gunung dan Bukit di hijaukan.

Selain upaya struktural lewat perda RTRW dan intervensi pemerintah lewat PBG, tahapan ini juga harus bisa mendorong upaya kultural.

Baca Juga: Mitos dan Gunung

Paradigma masyarakat harus bisa berubah. Ukuran perubahan paradigma ini salah satunya adalah ketika banyak orang memilih bahan-bahan bangunan tahan gempa sebagai bahan bangunan huniannya. Kayu dan bambu menjadi pilihan menggantikan beton untuk mengurangi dampak gempa.

Dan jika dengan beton pun, atas kesadaran dari masyarakat, semua hunian dipastikan tahan terhadap gempa berskala besar. Dan sudah banyak contoh arsitektur seperti ini yang bisa kita tiru.

Tidak hanya mengenai hunian. Gerakan kultural juga harus bisa diberdayagunakan kembali. Identifikasi dan penguatan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat terutama mengenai menjaga, merawat dan selaras dengan alam.

Kedua : Sistem Peringatan Dini.

Masyarakat Jepang menerima peringatan dini bencana alam gempa bumi di ponsel mereka, 10 hingga 5 detik sebelum kejadian. Rentang waktu krusial ini, diyakini cukup agar masyarakat dapat bertindak cepat, tepat dan tanggap terhadap bencana.

Baca Juga: Ile Boleng, Siklon Seroja dan Athroposophy

Kita tidak harus mengadipsi sistem informasi peringatan dini secanggih Jepang. Yang paling penting adalah masyarakat dapat mengakses informasi detail mengenai potensi bencana alam. Semisal bencana hidrometerologi baru-baru ini.

Peringatan dini mengenai bencana, misalnya dari BMKG harus bisa dikomunikasikan secara cepat dan tepat, untuk meningkatkan kesiap-siagaan, bukan kepanikan.

Apapun formatnya, apakah melalui broadcast lewat telepon genggam, atau menggunakan perangkat komunikasi lain, sistem peringatan dini harus dibuat satu pintu, oleh otoritas yang kredibel.

Baca Juga: Bambu untuk Revitalisasi Mata Air

Kredibilitas ini akan sangat membantu masyarakat mengakses informasi yang tepat. Bukan hoax yang kadang mengakibatkan korban lebih banyak dari pada bencana alam yang nyata.

Sosialisasi mengenai pemegang otoritas ini harus bisa menjangkau semua lapisan masyarakat tanpa kecuali. Otoritas inilah yang menjadi satu-satunya sumberi informasi resmi mengenai bencana alam hingga penanganan pasca bencana.

Otoritas inipulalah yang menjadi crisis center, yang menghimpun informasi mengenai korban jiwa maupun harta benda, memobilisasi berbagai tanggap darurat – relawan, logistik bantuan dan lainnya.

Otoritas struktural seperti ini memang harus dikendalikan langsung oleh pemerintah. Ini menyangkut akuntabilitas berbagai sumber daya dalam rangka tanggap darurat.

Baca Juga: “Bencana” dan Bencana – Relawan dan “Relawan”

Berbagai bantuan apapun bentuknya harus bisa didata dan dilaporkan secara transparan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral terhadap para donatur.

Otoritas struktural ini pula harus bisa menjangkau otoritas kultural masyarakat. Sinergi otoritas struktural dan kultural sangat bermanfaat untuk meminimalisir hingga mencegah para oportunis yang memancing di air keruh bencana alam.

Dalam sebuah kesempatan saya menulis mengenai upacara adat atas semua bantuan  bencana. Dalam konteks Lamaholot ritual adat seperti ini pasti memiliki karma yang mengikat semua masyarakat agar berperilaku baik selama penanganan bencana.

Tidak hanya terkait semua logistik bantuan dalam rangka penanganan bencana, otoritas kultural inipun berperan untuk mencegar semua orang mengambil untung dari bencana. Misalnya mencegah kenaikan ongkos transportasi, mahalnya upah buruh bongkar muat,  kenaikan harga sembako dan apapun yang menghambat tanggap darurat bencana. Bersambung…

Foto: Gempa Majene – dw.com

Sebarkan Artikel Ini:

1
Leave a Reply

avatar
1 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca Juga: Soal Mitigasi Bencana: Jepang lakukan ini, Bagaimana dengan Kita? […]