Ile Boleng, Siklon Seroja dan Athroposophy

Lingkungan Hidup
Sebarkan Artikel Ini:

Eposdigi.com – BAPELITBANG NTT merilis rekaman citra satelit pergerakan pusaran badai Siklon ‘Seroja’ di atas NTT secara amat mencengangkan, dapat dilihat dan dihitung arah pergerakannya dari menit ke menit: dasyat dan tak akan bisa dibendung manusia dengan cara dan ilmu apa pun juga.

Semuanya atau sepenuhnya nyata dan scientific!

Kehancuran ada di mana-mana, di luar pengalaman empirik manusia sehari-hari. Belum pernah ada curah hujan dan badai seganas itu.

Baca Juga: Mitos dan Gunung

Pada masyarakat Adonara, misalnya, berkembang narasi tentang kemarahan alam karena manusia memperlakukan alam yang sakral tidak secara semestinya. Banyak pantangan dan larangan dilanggar manusia, terutama terkait kesakralan alam di atas Ile Boleng.

Para scientists memiliki analisis dan kesimpulan sendiri. Masyarakat tradisional Adonara, entah yang tidak sekolah hingga sekolah amat tinggi, percaya bahwa alam sedang marah.

Oleh karena itu orang mulai melakukan upacara “hukut koda kiring” melihat kembali kata dan laku apa yang salah di masa lalu sehingga alam marah.

Baca Juga: Flores Timur Sigap hadapi Bencana?

Semua kejadian itu menemui penjelasannya pada perbuatan manusia di masa lalu. Siklon Seroja hanyalah pembawa pesan, bukan pesan itu sendiri.

Orang Adonara membaca pesan seroja dalam bahasa spiritual, bukan bahasa sains – walau muaranya akan ketemu juga: apa yang harus kita lakukan terhadap alam lingkungan kita agar alam tidak lagi datang dengan amarah murka.

Rudolf Steiner (1861-1925), bapak anthroposophy, menawarkan cara membaca bencana ini sebagai perjumpaan dan pergumulan spiritual.

Dan jalan tobat spiritual harus dimulai dari going back to collective memory, ke masa lalu masyarakat Adonara dengan dan tentang Ile Boleng, tentang pohon, tentang air, tentang merawat semua itu.

Baca Juga: Menanam Hujan, Menuai Air

Sayangnya, hukum kesadaran kembali kepada collective memory tentang semua yang sakral itu hanya terjadi ketika isi collective memory itu terusik, terganggu dan melahirkan bencana.

Seandainya semua masih baik-baik saja maka jarang orang bertanya (untuk merawat, menegaskan dan menguatkan kembali) kearifan lokal, social capital, tradisi hormat pada yang sakral, hubungan dunia orang terang dengan dunia orang gelap (ekang progeneng).

Tentang orang yang masih hidup dan mereka yang sudah mati, tentang hutan “dua wao on’eng dan rumah para leluhur, tentang , tentang, dan tentang …. kewajiban orang hidup pada mereka yang sudah meninggal, kewajiban pada alam gelap dan pada leluhur serta alam semesta ….

Baca Juga: Bambu untuk Revitalisasi Mata Air

Aku ingin minum kopi bersama Rudolf Steiner, tidak di atas puncak Ile Boleng tetapi di atas puncak bukit Kuma, tempat segala darah lelaki Adonara terbaik pernah ditumpahkan dalam perang Demong-Paji yang melahirkan kutuk tradisi permusuhan perang tanding ‘tubak belu wekika’ yang dibaptis sebagai “just war”.

Hari ini, di atas puncak hingga lereng dan celah Bukit Kuma, sumber air yang membasahi tenggorokan setiap bayi yang lahir di sebagian Adonara bagian Timur sedang terancam.

Orang membabat hutan hingga membakar rumput sampai ke sumber mata air seperti sedang mencekik dan membakar tenggorokan bayi-bayi Adonara masa depan.

Tetapi apakah ada yang peduli?

Yogyakarta, 22 April 2021

Sebarkan Artikel Ini:

2
Leave a Reply

avatar
2 Discussion threads
0 Thread replies
0 Pengikut
 
Most reacted comment
Hottest comment thread
0 Comment authors
Recent comment authors
  Subscribe  
newest oldest most voted
Notify of
trackback

[…] Baca juga: Ile Boleng, Siklon Seroja Dan Athroposophy […]

trackback

[…] Baca Juga: Ile Boleng, Siklon Seroja dan Athroposophy […]