Pengantar
Eposdigi.com – Pencanangan konsep, model dan praksis Pendidikan Abad 21 – antara lain melalui pergantian kurikulum lama dan pemberlakuan Kurikulum 2013 – merupakan critical departing point dari arah kebijakan pendidikan nasional.
Kita meninggalkan konsep dan model pendidikan ‘klasik’ yang sarat dengan tuntutan dan penekanan pada pendidikan nilai-nilai luhur keadaban (sivilisasi) masa lalu dan berbagai keunggulan humanisme lainnya.
Sementata itu, di sisi lain, filosofi, tuntutan dan penekanan kurikulum baru memiliki karakter pragamatisme yang keras: mempersiapkan sebuah generasi baru – sering disebut dengan jargon ‘golden generation’ – generasi yang mampu hidup dan berkompetisi dalam sebuah dunia yang memiliki tuntutan dan tantangan yang sama sekali berbeda dari era sebelumnya.
Dan tentu saja ‘golden generation” itu hanya bisa lahir dari ‘golden process’ dengan tuntutan sangat tinggi. Pandai emas amatir, jika diberi bahan baku emas sebagus apapun, ia hanya akan nampu menghasilkan karya asal jadi, kalah bersaing di pasar.
Demikian pula dengan tuntutan dunia kerja abad 21 yang sangat tinggi: anak-anak golden generation itu harus memiliki beberapa kemampuan yang tidak bisa ditawar: creativity, critical thinking, collaboration, dan communication (the 4Cs).
Guru-guru dan LPTK sama sekali tidak dipersiapkan untuk perubahan drastis itu. Berbagai upaya emergensi berbasis kebijakan ad-hoc untuk membenahi kesiapan guru melalui berbagai pelatihan pun dikenalkan hingga dipaksakan agar guru mampu “mengoperasikan” kehendak kurikulum 2013 (baca: kehendak para pembuat kebijakan).
Ayo Baca Juga: Mutu Guru di Finlandia Dipengaruhi oleh Tiga Faktor Penting Ini
Dan kita semua tahu, guru yang dibentuk dari, dan bekerja dengan, tradisi mengajar abad 19 tiba-tiba dipaksa bekerja dengan sebuah tuntutan pendidikan abad 21 yang sangat kompleks.
Akhirnya rejim pendidikan negeri ini menyadari bahwa perubahan paradigmatis dan mendasar untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan di Indonesia itu harus dimulai dengan reformasi dari bawah dan dari dalam satuan pendidikan masing-masing: oleh para guru dan stakeholders pendidikan, terutama komite sekolah yang mewakili masyarakat.
Era penataran/pelatihan massal dan bersifat preskriptif (semua ditentukan dari atas dan dikendalikan oleh para ahli dan orang-orang pintar dari atas) hanya menjadi ‘proyek untuk proyek’ selama bertahun-tahun.
Proyek ini belum tampak memberi dampak perubahan berarti dalam tata kelola penyelenggaraan pendidikan dan kegiatan pembelajaran di ruang kelas. Gerakan perubahan tidak bisa dilakukan dan dihasilkan dari seminar atau oleh pihak luar.
Pemerintah akhirnya mencoba pendekatan lain: mencari dan menyiapkan tenaga penggerak perubahan dari dalam masing-masing satuan pendidikan. Inilah pilihan paling realistis – walau tidak tanpa catatan.
Untuk itu ada tiga hal mendasar yang perlu diperhatikan: (a) parameter kompetensi guru pengegrak, (b) deskripsi peran dan fungsi guru penggerak, dan (c) key performance index (KIP) sebagai indikator perubahan kompetensi dan kinerja guru penggerak maupun guru-gru dan sistem yang hendak digerakan.
Ayo Baca Juga: Reformasi Sistem Pendidikan di Tengah Pandemi
Mengikuti logika system theory, setiap guru penggerak berfungsi sebagai dinamo yang menggerakkan seluruh sistem penyelenggaraan pendidikan pada satu satuan pendidikan. Jika semua elemen sistem berfungsi dengan baik maka kerja dinamo menjadi lebih ringan.
Sebaliknya, jika ada elemen sistem yang sudah karat, tak sudi berubah (misalnya karena merasa diri senior) maka sehebat apapun sebuah dinamo ia akan mengalami apa yang dinamakan kelelahan material (material fatigue).
Oleh karena itu perlu ada kejelasan mana fungsi guru penggerak dan mana fungsi manajemen satuan pendidikan (kepala sekolah) dan mana fungsi dan tanggungjawab yayasan (untuk sekolah swasta), dan apa peran masyarakat melalui Komite Sekolah untuk berkolaborasi menggerakkan perubahan.
Guru penggerak itu pekerja utama – dinamo yang berada di ruang mesin, berkotor tangan dan berkeringat – bukan motivator, konsultan, tukang perintah, atau ‘tukang nasihat’.
Guru penggerak menerjemahkan motivasi, nasihat dan saran perubahan dari manajemen pendidikan (pimpinan sekolah, yayasan, dewan guru, komite sekolah, pemerintah daerah, dll) menjadi tindakan untuk berubah dari dalam (acts for changes from within) dalam sistem penyelenggaraan pendidikan pada satu satuan pendidikan.
Ayo Baca Juga: Digitalisasi Sekolah pada Tahun 2021, Bagaimana Kelanjutannya?
Oleh karena itu guru penggerak harus membenahi diri lebih dahulu dengan kompetensi yang mumpuni sebelum menggerakkan guru-guru lain sebagai elemen sistem pendidikan dan pengajaran pada satu satuan pendidikan.
Guru penggerak harus kompeten dalam dalam bidang (1) technological knowledge (TK), (2) content knowledge (CK), (3) pedagogical knowledge (PK). (4) pedagogical content knowledge (PCK), (5) Technological content knowledge (TCK), (6) Technological pedagogical knowledge (TPK).
(7) Technological pedagogical content knowledge (TPACK) (cfr. Denise A. Schmidt et.al. Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK): The Development and Validation of an Assessment Instrument for Preservice Teachers. Journal of Research on Technology in Education 42(2)/2009.p.125.), dan (8) etos kerja tenaga kependidikan.
Apa yang hendak kita ubah melalui guru penggerak? Dimulai dari mana perubahan ini hendak dilecut? Siapa saja yang harus dilibatkan dalam upaya menggerakan perubahan pada seluruh system penyelenggaran pendidikan pada satu satuan pendidikan?
Apakah kita butuh semacam road map agar upaya perubahan itu bisa fokus pada trayek utama upaya meningkatkan kinerja sistem (system performance) yang bisa diukur? bersambung…
Foto Ilustrasi dari kompas.com
Leave a Reply