Eposdigi.com – Ratusan pelajar di Ponorogo Jawa Timur, belakangan ini mendatangi Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mengusahakan dispensasi nikah karena usia mereka masih di bawah umur untuk boleh melangsungkan pernikahan.
Ini rupanya tidak hanya terjadi Ponorogo melainkan terjadi juga di berbagai daerah pada tahun-tahun belakangan ini. KUA di berbagai daerah mencatat pada tahun 2021 jumlah pasangan di bawah umur yang mengajukan dispensasi pernikahan sebanyak 226 pasang.
Sedangkan sepanjang tahun 2022, jumlah pasangan yang mengajukan dispensasi pernikahan sebanyak 191 pasang. Dan di bulan Januari 2023, awal tahun ini, sudah ada 7 pasangan di bawah umur berupaya mengajukan dipensasi menikah.
Dari data tersebut, 100 persen alasan mereka mengajukan dipensasi adalah karena pasangan yang sedang pacaran tersebut telah melakukan hubungan seks di luar nikah hingga menyebabkan hamil, padahal mayoritas mereka masih duduk di bangku SMP dan SMA, berusia 12 hingga 16 tahun.
Baca Juga:
Karena hamil di luar nikah merekapun memutuskan untuk berhenti dari sekolah. Seperti keputusan untuk melakukan hubungan seks di luar nikah, keputusan untuk berhenti dari sekolahpun mengambarkan alpanya pendampingan orang tua.
Apa yang sedang terjadi dalam masyarakat kita?
Ini tidak hanya menggambarkan rusak dan bergesernya tatanan nilai dalam masyarakat kita. Hubungan seks yang sebelumnya hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang telah menikah menurut hukum agama, kini telah bebas dilakukan, bahkan oleh pasangan yang masih di bawah umur.
Fakta ini bahkan juga menggambarkan telah terjadi krisis dalam lembaga pendidikan kita; keluarga dan sekolah. Karena dua lembaga ini, nampaknya telah gagal dalam upaya pewarisan nilai.
Baca juga :
Bahkan lebih parah lagi, mungkin sudah tidak ada lagi upaya pewarisan nilai, melalui proses pendidikan, baik di rumah maupun di sekolah. Krisis yang sama nampaknya juga melanda lembaga-lembaga keagamaan kita.
Nampaknya kehadiran teknologi informasi termasuk internet, menjadi penyebab awal dari krisis ini. Meratanya penguasaan teknologi informasi dan kemudahan mengakses internet di satu sisi.
Di sisi lain, dengan kemudahan memprodusi konten informasi, semua orang dapat menjadi produsen informasi dan bebas menyiarkan informasi dengan motivasi yang berbeda-beda. Situasi ini menyebabkan banjir informasi yang tidak dapat dibendung dan mendorong perubahan yang sangat cepat.
Semua jenis konten, baik konten yang paling bernilai secara moral, maupun konten yang amoral, konten yang paling berguna maupun konten kategori sampah, dapat kita jumpai di jaringan, dan sama-sama berebut peluang untuk mempengaruhi dan mengubah individu.
Dan individu bebas memilih memakai informasi tersebut. Persoalan manfaat dan arah perubahan; positif atau negatif, kemudian sangat dipengaruhi oleh kesiapan dan kematangan masing-masing individu.
Baca Juga:
Jika individu tidak siap dan salah memilih, banjir informasi bisa menjadi awal malapetaka seperti terjadi pada anak-anak muda yang kita bicarakan di awal tulisan ini. Tapi jika individu siap dan memilih menggunakan informasi yang benar maka akan menjadi awal pertumbuhan individu ke arah yang positif dan humanis.
Namun celakanya bukan hanya individu yang tidak siap, hampir semua lembaga mulai dari lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, bahkan negara yang ditopang oleh sumber daya terbaikpun tidak siap menghadapi gelombang perubahan.
Apa yang harus dilakukan?
Ke depan perubahan yang dipicu oleh banjir informasi akan semakin gencar terjadi, oleh karena itu, remaja perlu disiapkan agar mereka lebih siap menghadapi perubahan yang dipicu oleh perkembangan teknologi dan banjir informasi tersebut.
Berikut ini, beberapa agenda yang harus dikerjakan agar remaja dapat bertumbuh di tengah perubahan yang dipicu oleh banjir informasi:
Pertama, lembaga-lembaga pendidikan harus mengubah metode pendidikan karakternya. Pendidikan karakter tidak lagi berbasis materi pengetahuan saja melainkan berbasis klarifikasi nilai.
Baca Juga:
Lima Pekerjaan Tak Tergantikan Robot Berikut Bisa Jadi Pertimbangan Memilih Karier
Pada metode ini para murid dibantu melakukan krarifikasi nilai, hingga mereka menemukan nilai mereka sendiri, meskipun nilai-nilai tersebut pada dasarnya bertolak dari nilai yang bersumber pada nilai-nilai agama atau ideologi yang berlaku.
Setelah nilai mereka ditemukan, tugas pendidik dan orang dewasa terkait adalah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk memungkinkan para murid mewujudkan nilai tersebut.
Nilai-nilai yang mereka temukan dan mereka wujudkan dalam kehidupan mereka inilah, yang nanti akan menjadi pedoman dalam mengambil keputusan moral mereka serta dalam menghadapi banjir informasi dan tawaran nilai dalam hidup mereka. Sehingga mereka tidak tengelam dalam amukan gelombang tawaran nilai dan banjir informasi.
Kedua, secara keseluruhan metode pengajaran di sekolah-sekolah kita, harus mengarah pada pembentukan sikap kritis, yang berasal dari kemampuan mengolah informasi dan kemampuan merumuskan informasi secara mandiri.
Dengan metode ini, para murid tidak hanya menguasai informasi melainkan dapat juga mengikuti perkembangan informasi dan tidak larut dalam gelombang arus informasi yang terus berkembang.
Mereka akan mengetahui arah perubahan terjadi bahkan dapat mengendalikan perubahan, dapat memilah informasi yang bermanfaat dan informasi yang tidak bermanfaat dalam pertumbuhan mereka.
Baca juga :
Indeks Kualitas Hidup Kota Jakarta Rendah. Peringkat 12 dari Bawah, dari Berapa Kota di Dunia?
Ketiga, pada akhirnya efektivitas seluruh proses pendidikan dan pengajaran akan sangat bergantung pada seberapa hebat semua pendidik; guru dan orang tua, juga orang dewasa lainnya, berkenan dan setia menjadi teladan kebaikan.
Jika keteladanan ada dalam hidup harian kita maka, kasus seperti yang kita bicarakan di awal tulisan akan jarang terjadi. Bagi saya, kasus hamil di luar nikah adalah representasi dari upaya anak mencari perhatian anak.
Oleh karena itu, hanya terjadi pada anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orang tua mereka. Itu berarti orang tua tersebut tidak sedang menjadi orang tua yang baik bagi anaknya. Tidak menghargai anaknya.
Bagaimana anak dapat menghargai diri dan masa depannya jika orang tuanya tidak menghargainya. Orang tua tidak sedang menjadi teladan yang baik dalam menghargai.
Tulisan ini sebel;umnya tayang di depoedu.com / Foto:sindonews.com
Leave a Reply